Repatriasi Orang-Orang Belanda
Repatriasi orang-orang Belanda adalah pemulangan massal penduduk Indonesia yang berkewarganegaraan Belanda antara 1946-1958, sejak masa revolusi hingga ke masa perebutan Irian Barat. Di Belanda, keturunan mereka dikenal sebagai Indo atau Indisch dan merupakan minoritas terbesar. Sejak 1946, pemerintah Kerajaan Belanda memulai program pemindahan warga negara Belanda ke negeri Belanda, yang disebut repatriering (repatriasi). Pada tahun itu pula, terdapat 300.000 orang Indo dan warga negara Belanda lain dari Hindia Belanda mulai tiba di Belanda (Oostindie 2016: 273). Mereka diberi dua pilihan, pulang ke Belanda atau memilih kewarganegaraan Indonesia dan tetap tinggal di Indonesia. Opsi pertama sebetulnya hanya tepat bagi sebagian kecil orang Belanda di Hindia, khususnya ambtenaar (para pejabat). Sementara itu sebagian besar orang Indo yang lahir di Indonesia belum pernah menginjakkan kakinya di Belanda. Kondisi ini sepertinya cocok untuk opsi yang kedua. Namun demikian, sebagian Indo merasa gusar. Sentimen anti-Belanda telah menyebabkan mereka kehilangan segala-galanya di Indonesia (Riawanti 2020: 21).
Sebagian kecil dari mereka mempunyai latar belakang militer dan ini khususnya berlaku bagi 3.500 tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang berasal dari Maluku. Proses demobilisasi ini sempat terhenti pada September 1948, namun dijalankan kembali pada Mei 1949. Sementara itu, tentara terakhir kembali ke Belanda pada 1951 (Oostindie 2016: 273-274). Para repatrian adalah para pendatang yang tidak diharapkan karena Hindia-Belanda adalah tanah air mereka. Sementara itu, sebagian besar dari mereka hanya sedikit mengenal Belanda. Perpindahan dari Hindia-Belanda yang sangat luas ke negeri Belanda yang sempit, ditambah dengan persoalan dalam negeri Belanda, telah menyebabkan beberapa dari para repatrian pindah ke tempat lain (Oostindie 2016: 20).
Desakan repatriasi semakin menguat pada akhir 1950-an. Akibat dari kegagalan perundingan Irian Barat, pada 1 Desember 1957 pemerintah mulai melarang surat kabar berbahasa Belanda, melarang maskapai Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) mendarat di Indonesia, dan melarang warga negara Belanda memasuki Indonesia (https://historia.id/politik/articles/repatriasi-harga-mati-Drml6/page/1, diakses pada 2 Mei 2022). Terdapat dua alasan penting yang menguatkan tuntutan repatriasi orang-orang Belanda dari Indonesia. Pertama, pengunduran diri Moh. Hatta dari jabatan Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Kedua, pemberlakukan Stat van Oorlog en Beleg (SOB) atau keadaan darurat perang pada Maret 1957 (https://tirto.id/nasib-apes-orang-belanda-pasca-nasionalisasi-diusir-dipersekusi-egom, diakses pada 2 Juni 2022).
Pada 5 Desember 1957, melalui Kementerian Kehakiman, pemerintah Indonesia memerintahkan untuk merepatriasi semua orang Belanda di Indonesia. Tepat di hari Sinterklas, Sukarno mengultimatum semua orang Belanda untuk secepatnya meninggalkan Indonesia. Ia juga melarang siapa pun untuk mengadakan pesta Sinterklas karena dianggap budaya Barat. Pelarangan tersebut dikenal dengan nama Sinterklas Hitam. Setelah pelarangan tersebut, sentimen anti-Belanda mulai menjalar kemana-mana (https://historia.id/politik/ articles/repatriasi-harga-mati-Drml6/page/1, diakses pada 2 Mei 2022). Perintah repatriasi ini telah memaksa orang-orang Belanda untuk meninggalkan Indonesia. Pada 6 September 1958 telah tiba di Belanda kapal Waterman, kapal terakhir yang mengangkut orang-orang Belanda tersebut (Setiawan 2011: 6).
Penulis: Rabith Jihan Amaruli
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Oostindie, Gert, 2016. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah, terjemahan Susi Moeimam, Nurhayu Santoso, Maya Sutedja-Liem. Jakarta: Buku Obor dan KITLV-Jakarta.
Riawanti, Selly, 2020. “Orang Indo di Belanda: Identitas Campuran dan Pengelolaan Keragaman”. Umbara: Indonesian Journal of Anthropology, Vol. 5 (1), July, hlm. 16-29.
Setiawan, Rully, 2011. “Memudarnya Pengaruh Masyaraka Belanda di Jakarta pada 1950-an (Studi Kasus: Masalah Repatriasi)”. Skripsi pada Program Studi S1 Sejarah, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok.
https://historia.id/politik/articles/repatriasi-harga-mati-Drml6/page/1, diakses pada 2 Mei 2022.
https://tirto.id/nasib-apes-orang-belanda-pasca-nasionalisasi-diusir-dipersekusi-egom, diakses pada 2 Juni 2022.