Saifuddin Zuhri

From Ensiklopedia
Saifuddin Zuhri. Repro dari buku Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama 1955) di Republik Indonesia. 1956. Jakarta: Parlaungan


Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (lahir tanggal 1 Oktober 1919 di Banyumas, Jawa Tengah) adalah Menteri Agama ke-10 Republik Indonesia, anggota Parlemen Sementara, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat. Ayahnya, Haji Muhammad Zuhri, berasal dari keluarga petani santri, sementara ibunya, Siti Saudatun, berasal dari keluarga pedagang santri dan merupakan keturunan priayi. Pendidikan formalnya dimulai dengan Sekolah Rendah Nomor Dua Bumiputera atau yang dikenal juga dengan nama Sekolah Ongko Loro. Ilmu agama diperolehnya dari ayahnya sendiri serta dari beberapa pesantren yang ada di lingkungannya. Pelajaran agama yang lebih formal ia peroleh dari Madrasah NU, al-Huda, di Sokaraja, di mana ia mendapatkan pengetahuan tentang tata bahasa Arab, membaca Al Qur’an, fiqh, tafsir, hadits dan sejarah Islam. Selain bahasa Arab, ia juga belajar bahasa Jawa dan bahasa Belanda di madrasah ini (Zuhri, 2013). Pada tingkat terakhir di Al-Huda, ia diangkat menjadi musa’id (asisten guru) yang mengajar adik kelasnya (Zuhri, 2001).

Selepas menyelesaikan pendidikan di Madrasah al-Huda ia melanjutkan pendidikannya ke Kota Solo. Ia mengikuti dua sekolah selama di Solo, yakni Mamba’ul Ulum dan Madrasah Salafiyah. Di samping untuk belajar, waktunya di Solo ia gunakan untuk mengikuti berbagai kegiatan, seperti menghadiri ceramah pemuka agama (termasuk dari Muhammadiyah, serta dari pastor dan pendeta), mengikuti kongres wartawan dan kongres bahasa Indonesia, dan ambil bagian dalam kursus-kursus keterampilan, seperti menulis berita dan jual-beli.

Asosiasinya dengan NU bermula dari kedekatannya saat remaja dengan sejumlah tokoh NU, termasuk konsul NU untuk Banyumas, Raden Haji Mukhtar. Belakangan, melalui KH Wahid Hasyim ia banyak berinteraksi dengan para tokoh NU lainnya maupun dengan tokoh pergerakan nasional seperti Muhammad Yamin. Pada tahun 1951 ia diangkat sebagai Ketua Bidang Da’wah NU. Selepas itu, ia mencapai posisi lebih tinggi lagi di organisasi, yakni sebagai Sekjen NU.

Ia memiliki minat besar pada dunia kewartawanan. Semasa sekolah di Madrasah al-Huda ia mulai menjadi kontributor untuk media cetak yang terbit di Jakarta, Pemandangan dan Hong Po. Belakangan, tulisan-tulisannya juga mengisi media cetak lainnya, seperti Antara, Pesat, Berita NU, dan Suara Ansor. Di Berita NU, ia awalnya hanya merupakan seorang pembaca, yang berminat pada kajian keislaman dan ulasan masalah sosial-politik mutakhir yang dipublikasikan majalah itu. Ia kemudian turut menjadi kontributor (Zuhri, 2013: 141-142). Pada tahun 1939, atas permintaan Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) KH Wahid Hasyim, ia menjadi kontributor majalah pendidikan NU, Suluh Nahdlatul Ulama. Dalam kunjungannya ke Jombang untuk tugas barunya itu, ia bertemu dengan pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Puncak kariernya di dunia jurnalistik terjadi pada Desember 1960 ketika ia diangkat sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi di harian resmi NU, Duta Masyarakat.

Pada 1938 ia menjabat sebagai komisaris Ansor Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang, ia sempat diinterogasi opsir keamanan Jepang karena tidak meleburnya Ansor pada organisasi kepemudaan buatan Jepang, Seinendan dan Keibodan. Untuk mencegah ia ditahan Jepang, ia dipindahkan oleh PBNU ke Magelang, di mana ia mengemban tugas barunya sebagai Konsul NU wilayah Kedu. Tugas barunya ini, yang ia jabat antara tahun 1943-1948, memungkinkannya untuk ambil bagian dalam berbagai peristiwa penting di era revolusi yang terjadi di ibukota RI, Yogyakarta, dan sekitarnya. Di antaranya ialah menghadiri Kongres Wartawan Indonesia di Solo pada 9 Februari 1946 dan sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada 28 Februari 1946 di kota yang sama.

Kiprahnya mendapat atensi Menteri Agama pertama RI, HM Rasjidi, yang kemudian memintanya untuk membantu Kementerian Agama yang baru dibentuk. Sejak tahun 1946 ia menjadi pegawai di Kementerian Agama. Pada tahun 1949 kariernya meningkat ketika ia diangkat sebagai Kepala Jawatan Agama Provinsi Jawa Tengah. Beberapa jabatan lain di bidang pemerintahan ia duduki selama masa revolusi, mulai dari anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu, penasihat Pemerintah Militer Gubernur Militer Daerah Jawa Tengah, anggota DPRD Semarang, anggota DPRD Jawa Tengah hingga anggota KNIP. Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, ia meniti berbagai karier di pemerintahan dan parlemen, termasuk sebagai anggota Parlemen RI Sementara, anggota parlemen (setelah Pemilu tahun 1955), anggota Konstituante, anggota DPRGR, anggota DPA dan anggota Badan Pekerja Depernas.

Pengalaman dan kiprahnya di berbagai bidang menarik minat Presiden Sukarno. Sukarno memintanya untuk menjadi menteri agama menggantikan KH Wahib Wahab. Awalnya ia menolak. Tapi, setelah melalui diskusi dengan keluarga dan sejumlah tokoh NU, ia akhirnya menerima. Pada tanggal 2 Maret 1962 Presiden Sukarno mengangkatnya sebagai Menteri Agama RI. Dalam pidatonya saat mengukuhkan menteri agama baru tersebut Sukarno mengamanatkan tentang pentingnya agama dalam usaha pembangunan kebangsaan di Indonesia. Ia menjabat sebagai menteri agama sampai tanggal 11 Oktober 1967 (Ghofur dalam Azra dan Umam [ed.], 1998: 210-215).

Salah satu peran awalnya sebagai menteri agama adalah menyelesaikan pembangunan gedung baru yang lebih representatif bagi Kementerian Agama di Jalan Thamrin, Jakarta. Secara internal, ia meneguhkan visi dan misi Kementerian Agama melalui Peraturan Menteri Agama No. 1/1963. Peraturan ini berkaitan dengan tugas, fungsi dan susunan organisasi Kementerian Agama. Berdasarkan aturan tersebut, Kementerian Agama memiliki beberapa tugas, di antaranya menjalankan tugas negara sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 dan melaksanakan berbagai usaha untuk mengembangkan kehidupan kerohanian dan keagamaan sesuai dengan Manifesto Politik RI dan Pedoman Pelaksanaannya.

Di bawah kepemimpinannya, Kementerian Agama mendorong literasi beragama masyarakat, di antaranya melalui usaha untuk menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia agar isinya lebih mudah dipahami umat. Usaha itu dilakukan pada akhir 1962 melalui pembentukan Lembaga Penerjemahan Al Qur’an. Lembaga ini dipimpin oleh Prof. Sunaryo dan beranggotakan para ulama dan ahli di bidangnya, di antaranya Hasbi As-Shiddieqy, HA Mukti Ali dan Asrul Sani. Tim ini bertugas selama beberapa tahun, dan pada Maret 1966 jilid pertama edisi terjemahan ini dirilis ke publik. Di samping itu, ia menggiatkan usaha untuk mengimpor buku-buku agama dari Mesir dan Lebanon, guna memperluas cakrawala pengetahuan para santri di pesantren-pesantren. Kementerian yang dipimpinnya berupaya menghimpun dana umat melalui Yayasan Pembangunan Islam (YPI). Yayasan ini bercita-cita untuk meningkatkan dakwah dan pendidikan Islam, salah satunya melalui percetakan dan penerbitan Al Qur’an dan buku-buku agama. Usaha-usahanya yang lain di Kementerian Agama mencakup: 1) pengangkatan Guru Agama Honorer (GAH) untuk membina kerohanian masyarakat di berbagai tempat, seperti lembaga pemasyarakatan dan asrama kepolisian dan tentara, 2) pembangunan dan pengembangan IAIN, yang mulanya hanya di Yogyakarta dan Jakarta, ke berbagai daerah di Indonesia, dan 3) melanjutkan pengiriman pelajar dan mahasiswa Indonesia ke Mesir (Ghofur dalam Azra dan Umam [ed.], 1998: 222-228). Di masa jabatannya pula Kementerian Agama memberikan dukungan finansial pada produksi film Tauhid tahun 1964, yang proses pengambilan gambarnya dilakukan di Mekkah (HS dalam Lindsay dan Liem [ed], 2013: 99). Selepas menjabat, ia menulis dua buku autobiografi, Guruku Orang-Orang dari Pesantren (ditulis tahun 1974) dan Berangkat dari Pesantren (ditulis tahun 1984). Kedua buku tersebut menjelaskan kisah kehidupannya sekaligus, khususnya buku kedua, memberikan justifikasi atas pijakan politik NU pada dekade 1950-an dan 1960-an (Watson, 2000: 132)

Ia menerima berbagai penghargaan atas kiprah dan perjuangannya, baik di bidang keagamaan maupun perjuangan. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Oktober 1964 mengangkatnya sebagai guru besar di bidang dakwah. Beberapa bulan kemudian, ia mendapatkan penghargaan Tanda Kehormatan Bintang Gerilya atas peranannya dalam beberapa pertempuran menghadapi Inggris pada masa awal revolusi. Penghargaan ini dianugerahkan Presiden Sukarno pada tanggal 4 Januari 1965. Ia wafat pada 25 Februari 1986 dalam usia 66 tahun.

Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Ghofur, Muhaimin Abdul (1998). ‘KH Saifuddin Zuhri: Eksistensi Agama dalam Nation Building’, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS, PPIM dan Badan Litbang Departemen Agama RI.

HS, Hairus Salim (2012). ‘Indonesian Muslims and Cultural Networks’, dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965. Leiden: KITLV Press.

Watson, C.W. (2000). Of Self and Nation: Autobiography and the Representation of Modern Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Zuhri, Saifuddin (2001). Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS.

Zuhri, Saifuddin (2013). Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS.