Sekolah Raja

From Ensiklopedia
Kweekschool (Sekolah Raja) Fort de Kock, 1908. (Koleksi Suryadi, https://niadilova.wordpress.com, diakses 11 Juli 2022)


Sekolah Raja adalah nama lain untuk KweekschooI yang didirikan oleh pemerintah Belanda tanggal 1 April 1856 di Bukittinggi (Fort de Kock). Tujuan pendiriannya adalah untuk menyediakan tenaga guru bagi Sekolah Nagari (Sekolah Dasar) yang telah berdiri dan tersebar di pusat-pusat pemerintahan dan daerah-daerah penghasil kopi di Sumatera Barat. Sekolah ini merupakan pendidikan guru pertama di luar Jawa  dan kedua di Hindia Belanda (setelah Kweekschool Surakarta (Amran 1985: 164). Sayangnya, selama 10 tahun pertama berdiri, dari 50 lulusan Kweekschool Bukittinggi hanya 12 orang yang memilih profesi guru, sisanya bekerja sebagai juru tulis, pakhuismeester (kepala gudang kopi), mantri kopi, dan mantri cacar. Mutu lulusannya pun tidak jauh beda dengan Sekolah Nagari (Amran 1985: 165; Zulqaiyyim 1996: 126).          

Untuk membenahi keadaan tersebut, pada tanggal 16 Desember 1872 Gubernur Jenderal mengeluarkan peraturan pelaksanaan Kweekschool di Seluruh Hindia Belanda. Para pengajar di Kweekschool harus terdiri dari guru kepala, guru kedua, dan guru ketiga yang berasal dari bangsa Belanda, serta ditambah dengan seorang atau beberapa orang guru bangsa Melayu (pribumi). Untuk menjadi guru kepala dan guru kedua  harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti akta Hoofdonderwijs, pandai Bahasa Melayu, Ilmu Mengukur Tanah, dan Ilmu Bertanam. Persyaratan menjadi guru ketiga dan guru Melayu boleh di bawah itu. Pemerintah juga melakukan serangkaian perbaikan mulai dari fasilitas sekolah, gedung, hingga kurikulum (Amran 1985: 166; Zulqaiyyim 1996: 130).

Sekolah guru gaya baru ini dimulai pada tanggal 1 Maret 1873. Pola penerimaan murid tidak hanya berdasarkan asal usul, seperti anak-anak bangsawan lokal, orang kaya, anak pejabat bumi putra atau pegawai pemerintah, tetapi juga berdasarkan kemampuan intelektual (Amran 1985: 166; Asnan 2003: 296). Kweekschool juga menerapkan disiplin ketat pada murid-muridnya, termasuk menjaga penampilan di tempat-tempat umum. Pakaian mereka rapi, baju dan celana putih, pakai peci atau destar, selempangan, dan sepatu. Keadaan ini melahirkan citra berbeda di tengah masyarakat, sehingga para murid memiliki kebanggaan tersendiri. Lulusan Kweekschool Bukittinggi tidak saja bekerja sebagai guru, tetapi pada kantor-kantor pemerintah dan mendapat apresiasi yang tinggi (seperti raja) di tengah masyarakat, sehingga masyarakat pun menamai lembaga pendidikan itu Sekolah Raja (Zulqaiyyim 1996: 131; Asnan 2003: 296).

Pada tahun 1894, lama belajar di Sekolah Raja Bukittinggi ditingkatkan dari 3 tahun menjadi 5 tahun. Pada tahun 1901, secara resmi kurikulum Sekolah Raja tidak hanya mendidik calon guru, tetapi juga calon pegawai. Tiga tahun pertama para murid mengikuti mata pelajaran yang sama, setelah itu mata pelajaran dibedakan antara murid calon guru dan calon ambtenaar (pegawai). Perbedaan lainnya, murid calon ambtenaar tidak diberikan beasiswa dan membayar seluruh biaya sekolahnya, tetapi dapat tinggal di asrama. Penerimaan murid calon pegawai dihentikan pada tahun 1908, kecuali murid dari Aceh yang baru dihentikan tahun 1916.

Penghentian ini terkait telah mencukupinya kebutuhan guru Sumatra Barat, kerena lulusan terbanyak Kweekschool atau Sekolah Raja Bukittinggi memang berasal dari Sumatra Barat. Dari 233 lulusannya selama 1873-1900, tercatat 183 orang berasal dari Minangkabau, sisanya dari Bengkulu, Tapanuli, Lampung, Riau, Palembang, dan Bangka. Pada tahun 1933, Sekolah Raja ditutup, dan murid-muridnya disuruh memilih antara melanjutkan ke Hollandsche Inlandsche Kweekschool di Bandung atau tetap di Bukittinggi melanjutkan ke MULO. Pilihan lainnya pindah ke Sekolah Guru Swasta di Padang atau di Padang Panjang (Zulqaiyyim 1996: 143-146). Banyak tamatan Sekolah Raja yang menjadi orang besar tanah air, diantaranya Tan Malaka, Marah Rusli, dan A.H. Nasution.

Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan

Referensi

Amran, Rusli. 1985. Sumatra Plakat Panjang.  Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM).

Mestoko, Sumarsono, dkk. Pendidikan di Indonesia Dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Balai Pustaka

Zed, Mestika. 1994. “Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah”, dalam Zed, Mestika dan Amri, Emizal (Eds.). Sejarah Sosial Ekonomi. Jilid II. Padang: Labor Pendidikan Sejarah-FPIPS IKIP Padang.

Zulqaiyyim. 1996. “Sejarah Kota Bukittinggi (1837-1942)”, Thesis S2. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.