Marah Rusli

From Ensiklopedia
Marah Rusli. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P09-261

Marah Rusli menjadi pencetak tradisi sastra Indonesia modern. Ia lahir di Padang, Sumatera Barat pada 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sutan Abu Bakar adalah seorang Jaksa Kepala (Hoofd Jaksa) di kota Padang yang juga tercatat sebagai demang dengan gelar Sutan Pangeran, keturunan langsung Raja Pagaruyung Minangkabau. Sedangkan sang ibu berasal dari Jawa dan masih keturunan Sentot Alibasyah, salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.

Rusli memulai pendidikan dasar di Sekolah Melayu Kelas II di Padang dan tamat pada 1904. Setelah itu ia bergabung di Sekolah Raja (Hoofden School) di Bukittinggi dan menamatkan pendidikannya pada 1910. Di Sekolah Raja ia berteman dengan Ibrahim yang di kemudian hari mendapat gelar Datuk Tan Malaka, tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Ia juga berkawan baik dengan Dahlan Abdullah yang di kemudian hari menjadi tokoh Perhimpunan Indonesia (PI). Setelahnya ia melanjutkan studi di Sekolah Dokter Hewan di Bogor hingga lulus pada 1915. Di Bogor, tepatnya pada 1911, Rusli menikah dengan Nyi Raden Ratna Kencana, seorang bangsawan asal Parahiangan. Mereka dikarunia tiga orang anak: Safhan Rusli, Rushan Rusli, dan Nani Rusli. Ia juga memiliki anak angkat yang diberi nama Siti Nurchairani (Nurchairani, 1980: 1).

Ia memulai karir profesional sebagai Ajunct Dokter Hewan di daerah terpencil di Sumbawa Besar. Atas keahlian yang dimiliki, ia diangkat sebagai Kepala Daerah Kehewanan di Bima dan bertugas hingga tahun 1918. Setelah itu ia berpindah tugas ke Bandung sebagai Kepala Peternakan Hewan Kecil, sebelum kembali pindah tugas ke Cirebon di tahun yang sama. Pada 1919 ia dipindahkan ke Blitar dengan tetap menjadi Kepala Daerah Kehewanan. Akibat Gunung Kelud meletus Blitar porak-poranda dan mendorong Rusli pada 1920 pindah ke Bogor dengan tugas Asistent Leraar (Asisten Dosen) pada Sekolah Dokter Hewan, sebelum akhirnya bertugas di Jakarta pada 1921 (Mardanas, 1981: 34)

Pada 1925 Rusli dipindahkan ke Balige, Tapanuli dan selanjutnya ke Semarang. Ia bertugas sebagai Kepala Pertanian dan Kehewanan kota Semarang di zaman pendudukan Jepang. Pada zaman perang kemerdekaan, Rusli bergabung dalam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) berpangkat Mayor dengan tugas melakukan pengangkutan angkatan darat, pertanian, perhewanan, dan perikanan, serta urusan pengawetan makanan untuk keperluan ALRI di Tegal (Surahman BA, 1978: 71).

Pada 1948 Rusli menjadi dosen Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten sebelum akhirnya menjabat Kepala Perekonomian di Semarang pada 1950. Di tahun yang sama ia turut mendirikan Voetbalbond 'perkumpulan sepak bola' dan diberi amanah sebagai komisaris PSSI di Semarang. Tahun 1951 Marah Rusli pensiun dari dinas dan kembali ke Bogor dan bekerja di Balai Pusat Penyelidikan Peternakan Bogor (1952—1960).

Meskipun menekuni profesi sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala, Rusli menaruh perhatian besar terhadap dunia sastra. Pergulatannya dengan dunia kesustraaan Indonesia membuatnya didaulat sebagai pelopor kesusastraan baru Indonesia dengan karya monumentalnya Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (1922). Atas karyanya tersebut H.B. Jassin menjuluki sebagai “Bapak Roman Modern Indonesia”.

Pada era tersebut roman karya Rusli menjadi fenomenal karena mengangkat isu yang sensitif, seperti adat yang kaku, keras, serta mengungkung kebebasan seseorang sebagai individu; penindasan hak kaum perempuan melalui perilaku kawin paksa; serta kesewenangan kaum tua (adat) pada kaum mudanya. Hal ini pula yang dialami Rusli. Karyanya, Siti Nurbaya telah menyebabkan pertikaian sedemikian rupa, membuat Rusli dikucilkan dan dipaksa meninggalkan komunitas asalnya (Freidus, 1977:  23).

Namun demikian, pada 1969, setahun setelah Rusli wafat, Roman Siti Nurbaya justru mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Selain Siti Nurbaya, Rusli juga menulis beberapa roman lainnya, seperti: La Hami (1924), dan Anak dan Kemenakan (1956). Seyogianya ia telah menulis karya lain yaitu Memang Jodoh, dan Tesna Zahera namun keduanya belum sempat diterbitkan hingga di masa hidupnya. Rusli wafat pada 17 Januari 1968, dikebumikan di Bogor.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Alberta Joy Freidus, 1977. Sumatran Contributions to the Development of Indonesian Literature, 1920-1942 (Honolulu: The UNIVERSITY Press of Hawaii).

BA. Surahman, 1978. Riwayat Hidup dan Pengabdian Marah Rusli, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Mardanas, Izarwisma, 1981. Marah Rusli: Hasil Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Nurchairani, Sitti, 1980. Riwayat Hidup Marah Rusli bin Sutan Abubakar, Naskah Ketikan (Jakarta).