Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI) adalah satu perserikatan kaum buruh yang berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik Islam yang pada 1950-an termasuk terbesar di Indonesia, yaitu Nahdatul Ulama (NU). Serikat buruh ini telah berkiprah dalam memperjuangkan kaum buruh di Indonesia dalam waktu cukup lama, sejak lahirnya tahun 1955. Organisasi ini tetap aktif memperjuangkan nasib buruh sampai akhirknya bergabung ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) tahun 1973. Dalam perkembangannya SARBUMUSI tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik NU dalam aspek perburuhan, namun lebih dari itu SARBUMUSI memperjuangkan aspirasi kaum buruh saat berhadapan dengan penguasa yang sering represif terhadap buruh.
Berdirinya SARBUMUSI tidak telepas dari situasi politik yang terjadi di Indonesia awal tahun 1950-an, dan itu berhubungan erat dengan menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Selama periode itu, NU secara konsisten mempertahankan sikap oposisionalnya terhadap PKI. Mereka menolak upaya Presiden Sukarno pada tahun 1953 untuk mengangkat kader PKI dan simpatisan komunis ke pos kabinet, dan juga berkampanye menentang penunjukan golongan kiri ke posisi militer dan birokrasi senior. Dinamika politik yang berubah dan kekuatan elektoral PKI yang semakin besar sejak pertengahan 1950-an menciptakan dilema bagi NU. Pada saat kekuatan PKI meningkat, dukungan untuk NU dan partai-partai lain menurun. Golongan militan dalam NU di antaranya adalah Ketua sayap pemuda NU Ansor, Yusuf Hasyim; Wakil Rais Am NU, Bisri Syamsuri; tokoh muda NU yang menjabat Sekjen Ansor, Chalid Mawardi; dan pengusaha wakil ketua NU, Subchan Z.E. Para militan tersebut berniat mempersiapkan NU untuk konfrontasi dengan komunis dan berusaha untuk memobilisasi organisasi massa seperti Ansor dan serikat buruh. Dalam konteks inilah SARBUMUSI lahir (Greg Fealy and Katharine McGregor, 2010:40-1).
SARBUMUSI lahir di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur pada 27 September 1955. Dengan lahirnya SARBUMUSI berarti NU telah memiliki serikat tani Pertanu untuk melawan BTI Komunis, dan SARBUMUSI untuk melawan serikat PKI Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) (Ricklefs 2012: 102). Pada awal pertumbuhannya SARBUMUSI disibukkan dengan persoalan konsolidasi dan eksistensi organisasi terutama demi mengimbangi SOBSI. Kejayaan SARBUMUSI telah berhasil menandingi SOBSI dan mengantarkan Partai NU menjadi pemenang ketiga dalam Pemilu 1955. SARBUMUSI banyak mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan kaum buruh, salah satunya kebijakan pemecatan massal oleh beberapa perusahaan negara masa awal Orde Baru (Alfany 2010).
Pasca-Pemilu tahun 1971, pemerintah Orde Baru makin kuat memprakarsai pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). FBSI diberi hak monopoli pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam sebuah perusahaan sebagai upaya memaksa serikat-serikat buruh menggabungkan diri dalam FBSI. Setelah Golkar memastikan kemenangan dalam Pemilu Tahun 1971, maka SARBUMUSI pun kian melemah. SARBUMUSI dipaksa bergabung dalam FBSI tahun 1973 dan menjadi akhir dari masa kejayaannya. SARBUMUSI baru lahir kembali tahun 1998 setelah pemerintahan B.J. Habibie meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat. SARBUMUSI kembali menjadi Badan Otonom NU pada Muktamar NU di Kediri tahun 1999 (Yulianti 2015: 29-30).
Penulis: Mawardi
Instansi: Universitas Syiah Kuala
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Alfanny, “Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) 1955-1973”, Abstrak Skripsi Universitas Indonesia, http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20156683&lokasi=local
Yulianti, Amaliya Isa, 2015. “Sejarah Perjuangan Sarbumusi Terhadap Kaum Buruh di Sidoarjo Tahun 2000-2014 M”, Skripsi S1 Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ricklefs,M.C. 2012. Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to Present. Singapore: NUS Press, https://jstor.org/stable/j.ctv1qv3fh.12
Greg Fealy and Katharine McGregor, “Nahdlatul Ulama and the Killings of 1965-66: Religion, Politics, and Remembrance” dalam Indonesia, Cornell University Press No. 89 (April 2010), hal. 37-60, https://jstor.org/stable/20798214