Soedirman

From Ensiklopedia
IPPHOS - Indonesia Press Photo Service / Indonesian Ministry of Defense - Perewira magazine October 1950, front cover

Soedirman atau Panglima Besar Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartowiraji dan Siyem (Pusat Sejarah ABRI, 1979: 7). Karsid Kartowiraji adalah seorang petani yang tinggal di Desa Gentawangi, Jatilawang, yang  bekerja sebagai buruh pabrik gula di Kalibogor dan kemudian pindah ke Dukuh Rembang sebagai petani. Alasan ayahnya keluar dari pabrik gula tersebut adalah karena tidak cocok bekerja dengan Belanda. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat sederhana, namun memberikan bekal yang berarti bagi perkembangan kehidupan Soedirman ke depannya (Admodjo 1984: 1).

Karena himpitan ekonomi keluarganya, pada saat bayi, Soedirman akhirnya diangkat oleh pamannya yang kebetulan tidak memiliki anak. Pamannya, Raden Tjokrosunarjo merupakan seorang Camat atau Asisten Wedana Kecamatan Rembang. Saat pensiun dari jabatannya sebagai camat, Raden Tjokrosunarjo beserta keluarga dan Soedirman pindah ke Cilacap. Saat kecil Soedirman tidak mengetahui bahwa dirinya merupakan anak angkat.  Raden Tjokrosunarjo dan orang tua kandungnya tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Sudirman baru tahu bahwa dia anak angkat ketika Raden Tjokrosunarjo memberitahukan hal itu kepadanya beberapa saat sebelum beliau meninggal dunia pada tahun 1934 (Salam 1963: 15).

Pada tahun 1923, saat usianya tujuh tahun, Soedirman masuk Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Cilacap (Pusat Sejarah ABRI, 1979: 7). Sekolah tersebut merupakan sekolah khusus pribumi dari golongan bangsawan atau pegawai yang bekerja di pemerintahan Hindia Belanda. Selain mendapatkan pendidikan formal, Soedirman juga diajarkan nilai-nilai keagamaan, adat-istiadat serta kesederhanaan dan kesopanan. Pengajaran ini beliau dapatkan dari orang tuanya. Berkat kedisiplinan orang tuanya, Soedirman tumbuh menjadi anak yang religius. Hal ini dapat dibuktikan ketika sore tiba, Soedirman rajin belajar mengaji ke surau (Midaanzasari 2011: 28-29).

Setelah menyelesaikan pendidikan HIS di Cilacap, Soedirman melanjutkan pendidikan lanjutan di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) Wiworotomo pada tahun 1932. Di lingkungan sekolah Wiworotomo, Soedirman lebih cepat berkembang dan tampak lebih menonjol; cara berpikirnya lebih matang dan lebih dewasa serta kegiatan keagamaannya lebih terpupuk. Ia menjadi anak yang aktif dan teladan bagi kawan-kawannya. Di sekolah ini juga Soedirman mulai memperlihatkan perhatian dan kemajuan yang cukup besar, baik dalam pendidikan maupun keaktifannya dalam kegiatan di luar sekolah. Ia tidak hanya rajin memenuhi kewajiban sebagai pelajar di sekolah, tetapi di luar sekolah ia mulai terjun dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah dan kepanduan (Midaanzasari 2011: 32).

Di MULO Wiworotomo, Soedirman mendapatkan didikan dari guru-guru yang merupakan tokoh pergerakan anti-Belanda, seperti R. Sumoyo (tokoh Budi Utomo) dan R. Suwarjo Tirtosupono, seorang lulusan Akademi Militer Breda di Belanda tetapi tidak mau menjadi tentara KNIL dan memilih menjadi orang pergerakan. Selain itu, ada R. Moh. Kholil seorang tokoh Muhammadiyah dan ahli dalam bidang agama. Dari R. Sumoyo, Soedirman mendapatkan pelajaran tentang paham dan gerakan nasional. Dari R. Suwarjo Tirtosupono, ia mendapatkan pelajaran tentang kedisiplinan dan jiwa kemiliteran seperti kegiatan kepanduan. Sementara dari R. Moh. Kholil, ia mendapat ajaran- ajaran agama yang dapat memperdalam keagamaannya. Semua ajaran guru-gurunya itu telah menyatu pada diri Soedirman sehingga ia tumbuh menjadi pemuda matang, saleh dan memiliki kedisiplinan yang tinggi (Sardiman 2000: 22).

Di sekolah ia aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo. Melalui organisasi itu banyak kegiatan yang dilaksanakan seperti pertemuan-pertemuan organisasi, kesenian dan olahraga, termasuk baris-berbaris. Soedirman juga menyenangi baris-berbaris, dan dalam hal ini tidak jarang ia diminta untuk menjadi komandan. Dalam organisasi ini juga Soedirman menanamkan rasa kebangsaan terutama merasa ditindas oleh kaum penjajah. Selain aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo, Soedirman juga aktif sebagai anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO pada tahun 1935, Soedirman kemudian memasuki organisasi Kepanduan Hizbul Wathon (HW). HW merupakan salah satu organisasi Islamis yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Aktifnya Soedirman dalam HW tidak sekedar kebetulan, tetapi oleh karena bakat, minat dan keyakinan sebagai pemuda Islam yang berhasrat mendalami ajaran dan amalan-amalan Islam. Secara garis besar program dan kegiatan HW itu ada tiga, yaitu: Pertama, program pendidikan rohani sebagai wahana pembentukan karakter: Kedua, pendidikan jasmani untuk pengembangan kesehatan dan kekuatan fisik: Ketiga, program karya bakti sebagai wujud pengamalan para anggota pandu.

Semenjak orang tua angkatnya R. Cokrosunaryo meninggal, kondisi ekonomi keluarga Soedirman memprihatinkan. Keadaan ini menjadi pukulan bagi Soedirman menyangkut dana bagi kelanjutan sekolahnya. Setelah menyelesaikan di Wiworotomo, ia kemudian melanjutkan pendidikan di Muhammadiyah Solo namun hanya bertahan satu tahun saja, karena ibu angkatnya tidak memiliki biaya lagi. Namun kenyataan itu tidak membuat ia putus asa. Pada tahun 1936 ia kembali ke Cilacap dan diangkat menjadi guru di H.I.S Muhammadiyah Cilacap, yang pada saat itu baru didirikan sambil terus aktif dalam berbagai organisasi. Sebagai seorang guru Soedirman selalu menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya. Ia berusaha membentuk kepribadian anak didiknya menjadi orang yang memiliki jiwa, semangat juang, dan nasionalisme yang tangguh. Untuk itu Soedirman senantiasa menanamkan kesadaran kepada muridnya tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan perjuangan untuk membela sesama (Midaanzasari 2011: 34-35). Pada tahun 1936 Soedirman menikah dengan Alfiah, puteri R. Sastroadmodjo di Plasen Cilacap. Alfiah merupakan teman sewaktu sekolah di MULO Wiworotomo. Semenjak menikah, Soedirman semakin aktif berorganisasi di Muhammadiyah. Hal ini dapat dibuktikan ketika Soedirman terpilih sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) Jawa Tengah (Sardiman 2000: 78).

Dalam menapaki karir di dunia militer, awalnya Soedirman tergabung dalam Lucht Bescherming Dienst (LBD) atau Penjaga Bahaya Udara di Cilacap. LBD merupakan dinas bentukan Belanda dalam rangka menghadapi perang Asia Pasifik dan juga antisipasi serangan yang dilakukan oleh Jepang. Berkat kegigihannya, ia ditunjuk sebagai kepala LBD di Cilacap. Dari kepercayaan yang diberikan itu, ia semakin memiliki tanggung jawab yang besar untuk keselamatan masyarakat. Soedirman tidak pernah lelah melakukan koordinasi kepada para anggota LBD agar terus aktif dalam memberikan pengarahan mengenai cara-cara menyelamatkan diri. Selain itu ia mengharapkan anggota LBD juga membantu rakyat dalam upaya menyelamatkan diri. Pelabuhan Cilacap dijadikan daerah pertahanan yang strategis bagi pemerintah Hindia Belanda. Pelabuhan itu juga dipersiapkan untuk mengangkut pengunduran pasukan Hindia Belanda apabila perang berkobar dan pasukan Hindia Belanda terdesak. Dalam menghadapi hal tersebut Soedirman sebagai kepala, meminta kepada setiap anggota masyarakat untuk membentuk pos-pos penjagaan yang dilengkapi dengan kentongan dan dijaga oleh anggota LBD (Midaanzasari 2011: 34-35).

Soedirman tetap menjadi kepala LBD hingga Jepang menguasai Indonesia. Pada masa Jepang jabatan LBD dihapus tentara pendudukan. Karena bakatnya dalam bidang militer sudah terbentuk sejak masa sekolah, akhirnya Soedirman mendaftarkan diri sebagai anggota PETA. Soedirman mengikuti pendidikan Daidancho di Bogor Angkatan II. Selama pendidikan Soedirman dikenal sebagai orang yang taat dan berdisiplin. Soedirman bahkan sering menentang tindakan para pelatihnya yang bertindak sewenang-wenang kepada para anggota, tetapi pelatihnya tetap menghargai sikapnya tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan di Bogor, Soedirman diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) di Daidan Kroya. Sebagai komandan Batalyon Soedirman sudah mempersiapkan diri dalam melaksanakan tugasnya (Midaanzasari 2011: 42-43).

Karirnya sebagai militer di PETA terus berlangsung dan tetap menjadi komandan batalyon. Selama menjabat sebagai komandan batalyon, Soedirman sering membantah perintah tentara Jepang sehingga menimbulkan kecurigaan dari tentara Jepang sendiri. Selain itu, Soedirman juga pernah mendamaikan pertikaian yang terjadi antara sesama anggota PETA di Gumilir. Dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Jepang secara resmi membubarkan PETA dan Heiho. Tidak lama berselang, kemudian atas maklumat yang dikeluarkan Sukarno, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Atas instruksi tersebut, Soedirman kemudian membentuk BKR di Banyumas dan menjadi pimpinan umum. Selaku pimpinan BKR, apalagi dalam keadaan genting, Soedirman harus sering berada di markasnya untuk menjalankan dan mengetahui segala hal tentang tugas dan kewajibannya. Soedirman sering mengatur tugas-tugas BKR bersama para pejabat penyelenggara Pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk.

Pada tanggal 05 Oktober 1945, pemerintah kemudian mengubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam kesempatan itu, Soedirman dipercaya menjadi Panglima Tertinggi TKR yang saat itu usianya masih 29 tahun. Beberapa saat setelah terpilih menjadi Panglima TKR Soedirman belum dilantik secara resmi menduduki jabatannya, sehingga statusnya tetap menjadi Komandan Divisi V Purwokerto. Sembari menunggu pelantikannya, Soedirman tetap menjalankan tugas-tugasnya. Tugas yang diembannya sebelum pelantikan adalah melucuti senjata pasukan Jepang dan melakukan koordinasi dengan pasukan sekutu. Pada 19 Oktober 1945, pasukan sekutu berhasil mendarat di Semarang sebagai jalan menuju Yogyakarta. Pasukan sekutu yang membonceng NICA ternyata ingin menguasai Yogyakarta sebagai kota penting di Jawa. Akan tetapi usaha ini digagalkan oleh Soedirman.

Pertempuran semakin memanas antara pihak sekutu dengan pejuang republik. Pasukan sekutu yang berusaha memukul mundur pasukan Soedirman hingga ke Magelang dan terjadi pertempuran besar. Gigihnya pasukan yang dipimpin oleh Soedirman membuat pasukan sekutu mundur dan Magelang berhasil dikuasai kembali oleh pasukan republik. Pasukan sekutu kemudian mundur ke wilayah Ambarawa. Setelah berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dan atas pertimbangan Presiden Sukarno, pada tanggal 18 Desember 1945 Soedirman dilantik menjadi Panglima Tertinggi TKR. Atas pelantikan tersebut, akhirnya Soedirman resmi mendapat gelar sebagai seorang jenderal (Adi, 2011: 47-50).

Saat menjabat sebagai Panglima Tertinggi TKR, tugas pertama Soedirman adalah melakukan reorganisasi di dalam tubuh ketentaraan Indonesia. Hal ini dilakukan Soedirman agar sistem ketentaraan di Indonesia terlihat jelas. Dalam melaksanakan tugasnya ia bekerja sama dengan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, ia bahkan tidak segan-segan meminta pertimbangannya dalam memecahkan suatu masalah. Mereka dikenal sebagai dwitunggal dalam bidang ketentaraan. Tugas pertamanya sebagai Panglima Besar setelah dilantik adalah menyempurnakan organisasi TKR. Ia harus memantapkan kelembagaan tentara yang sudah dimiliki dengan menyusun dan mengatur strategi pertahanan TKR yang kuat, baik secara perang fisik maupun mental personilnya guna melawan kekuatan lawan. Apa lagi dalam tubuh pemerintahan masih terjadi persoalan antara kabinet Sjahrir dengan kedudukan lasykar (Midaanzasari2011: 58-59).

Karena situasi makin genting, memasuki tahun 1946 ibu kota negara RI berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Sutan Sjahrir selaku Perdana Menteri berupaya menyelesaikan konflik dengan jalan perundingan. Namun pada kenyataannya pihak tentara ingin menyelesaikan dengan cara bersenjata. Hal ini dikarenakan pihak Belanda yang semakin sulit dikendalikan, apalagi setelah ada rencana tentara Inggris (sekutu) untuk segera menarik diri dari Indonesia. Di satu sisi pemerintah RI menghadapi persoalan yang timbul di dalam negeri, dan di sisi lain pihak Belanda telah selesai mendaratkan seluruh pasukannya di Indonesia. Pada tanggal 28 Mei 1946 terjadi serangan tentara NICA terhadap Akademi Militer di Tangerang yang menimbulkan banyak korban. Namun karena tentara adalah pendukung politik dari kebijakan pemerintah, maka pertempuran bersenjata terpaksa ditunda dengan mengikuti proses perundingan yang berlangsung (Tjokropranolo, 1992: 76).

Pada tanggal 1 Oktober 1946 dilakukan perundingan antara Sutan Sjahrir dengan pemerintah Belanda di Linggarjati. Dalam perundingan tersebut dicapai kesepakatan gencatan senjata. Soedirman ditunjuk sebagai salah satu panitia gencatan senjata. Sebagai kelanjutan dari perundingan tersebut, sebagai anggota panitia gencatan senjata, Soedirman bersama Urip Soemahardjo berangkat ke Jakarta. Di perjalanan, di stasiun Klender, rombongan Soedirman dihadang oleh pasukan Belanda dan berusaha melucuti senjata. Atas tindakan sepihak yang dilakukan Belanda tersebut, Soedirman marah dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta jika Pasukan Belanda tetap ingin melucuti senjata mereka. Ancaman Soedirman membuat Belanda mengaku salah dan meminta maaf serta memperbolehkan Soedirman dengan Urip Soemohardjo menghadiri perundingan. Pada tanggal 5 November 1946, Soedirman kembali ke Yogyakarta. Dari perundingan tersebut kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Perjanjian Linggarjati.

Pada 1948 Belanda menyerang Yogyakarta dan wilayah Jawa Tengah lainnya. Setelah mengetahui kota Yogyakarta diduduki oleh militer Belanda, Jenderal Soedirman beserta rombongan meninggalkan Yogyakarta menuju Bantul. Perjalanannya menuju ke Bantul ternyata harus dilakukan dengan hati-hati, dan tidak bisa berjalan dengan lancar. Sesekali Jenderal Soedirman harus berhenti dan mencari perlindungan yang aman karena perjalanan mereka dihambat oleh serangan-serangan udara yang dilancarkan oleh militer Belanda. Serangan tersebut dilakukan dengan membabi buta di berbagai tempat dan kota (Sardiman, 2000: 202).

Setelah sampai di Bantul pada sore hari, Jenderal Soedirman menyusun siasat dan mengadakan perang gerilya dalam menghadapi militer Belanda yang bersenjatakan lengkap. Dalam memimpin pasukannya Jenderal Soedirman menghadapi medan yang sangat sulit. Di samping itu kesehatan Jenderal Soedirman tidak dalam kondisi fit akibat penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya. Sering kali ia ditandu oleh anak buahnya. Pada tanggal 23 Desember 1948 waktu meninggal Wonogiri menuju ke Ponorogo. Wonogiri tempat yang semula dijadikan perlindungan diserang dari udara oleh pesawat militer Belanda. Dalam perjalanannya memimpin pasukan, Jenderal Soedirman sering kali harus berlindung di bawah pepohonan yang rindang, karena pesawat udara Belanda terus mengintai arah perjalanannya.

Jenderal Soedirman dalam memimpin perang gerilya juga tidak luput dari pengawasan mata-mata tentara Belanda. Pada tanggal 25 Desember 1948, ada seseorang yang datang ke tempat Jenderal Soedirman dan pura-pura mengatakan dia hendak mencari Panglima Besar. Hal ini telah menimbulkan kecurigaan di kalangan anak buah Jenderal Soedirman. Untuk itu ia segera meninggalkan tempatnya dan berpindah tempat menuju hutan dengan berjalan kaki. Sebelum pindah lokasi, Soedirman merancang siasat dengan Kapten Suparjo dan beberapa anak buahnya. Kapten Suparjo memerintahkan Letnan Herru Kesser untuk menyamar sebagai Pak Dirman karena bentuk tubuhnya dan ukuran badannya hampir mirip dengan Panglima Tertinggi. Dalam menyamar ia langsung bergerak ke selatan dengan ditandu dan berhenti di suatu rumah. Di dalam rumah tersebut ia segera menanggalkan pakaian yang sering dipakai Jenderal Soedirman. Setelah itu ia dan teman-temannya segera meninggalkan rumah tersebut tanpa diketahui oleh mata-mata musuh. Kapten Suparjo memang cerdik, ternyata taktiknya sangat berhasil, karena pada sore harinya rumah tersebut dibom oleh 3 buah pesawat pemburu Belanda hingga terbakar habis. Berkat taktik Kapten Suparjo yang berhasil mengelabui Belanda, maka Jenderal Soedirman bisa selamat dari serangan musuh (Midaanzasari 2011: 88-90).

Pada waktu Jenderal Soedirman sampai di Desa Banyutowo terjadi pertempuran antara pasukan TNI melawan pasukan patrol Belanda. Dalam pertempuran tersebut beberapa anggota TNI menderita luka-luka. Pertempuran itu pecah karena pasukan TNI ingin melindungi Jenderal Soedirman supaya tidak tertangkap tentara Belanda. Kemudian Jenderal Soedirman memilih mundur sambil memberikan perlawanan karena kalah persenjataan. Untuk menghilangkan jejak supaya tidak diketahui tentara Belanda, Jenderal Soedirman beserta anak buahnya masuk hutan dan naik gunung, dan pasukannya disuruh untuk berpencar. Hingga akhir Agresi Militer Belanda II, Soedirman tidak pernah tertangkap oleh pasukan Belanda bahkan hingga pengakuan kedaulatan secara penuh sebagai hasil dari KMB.

Segera setelah pengakuan kedaulatan, setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), walaupun dalam kondisi yang masih sakit, Soedirman tetap dipercaya sebagai Panglima tertinggi TNI. Tanggal 28 Januari 1950, sekitar satu bulan setelah pengakuan kedaulatan, Jendral Sudirman berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Tanggal 10 Desember 1964, atas jasa dan pengorbanan untuk bangsa dan negara, Jendral Sudirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Penulis: Edi Sumarno


Referensi

Pusat Sejarah A.B. (1979), Biografi Pahlawan Nasional dari lingkungan ABRI. Jakarta: Dep. Pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI.

Salam, Solichin (1963), Jenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan, Jakarta: Djajamurni.

Sardiman, A.M. (2000), Panglima Besar Jenderal Soedirman Kader Muhammadiyah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Sulistyo Admodjo, S. (1981), Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman-Pahlawan Besar. Jakarta: Yayasan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Tjokropranolo (1992), Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Jakarta: PT. Surya Persindo.