Soegijapranata
Soegijapranata atau Mgr. Albertus Soegijapranata merupakan seorang agamawan Katolik Indonesia yang terlibat secara aktif dalam pergerakan nasional guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Soegijapranata adalah Uskup pribumi pertama di Hindia Belanda (Subanar, 2003: x), yang sering menyebutkan “100% Katolik 100% Indonesia”. Maksud dari slogan yang ia ciptakan adalah bahwa menjadi Katolik harus juga menjadi bangsa Indonesia secara utuh. Dari slogannya tersebut membuktikan bahwa ia merupakan seorang Uskup nasionalis dan menginginkan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang merdeka serta terlepas dari kolonialisme.
Soegija lahir di Surakarta (Solo) pada tanggal 25 November 1896 sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara dari pasangan Karijosoedarmo dan Soepiah. Orang tua Soegija merupakan seorang abdi dalem di Keraton Surakarta dan ibunya menjadi pedagang stagen nila. Karena sering sakit-sakitan, ayahnya kemudian memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta mereka tinggal di kampung Ngabean, sebuah kampung yang letaknya tidak jauh dari keraton. Kepindahan keluarga Soegija mungkin juga karena alasan ‘pulang kampung’, ayahnya berasal dari Yogyakarta. Kakek Soegija merupakan seorang kyai bernama Kyai Soepa, seorang kyai yang cukup dikenal di Yogyakarta (Subanar, 2003: 19-20).
Memiliki orang tua sebagai abdi dalem membuka peluang Soegija untuk dapat mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Sebelum mengenyam pendidikan di HIS, Soegiya terlebih dahulu bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Ngabean dan ketika SR di Wirogunan dibuka, Soegija pindah dan menyelesaikan pendidikannya hingga kelas tiga. Selanjutnya, Soegija menempuh pendidikan di HIS yang letaknya berada di Lempuyangan. Pendidikan Soegija selanjutnya di Muntilan, sebuah sekolah lanjutan yang dirintis oleh Romo van Lith (Subanar, 2003: 26-27). Selama mengenyam pendidikan, Soegija merupakan salah satu anak yang cerdas dan pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Romo van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Selama di bersekolah di Muntilan, Soegija menginap di asrama sekolah, hal ini dilakukan karena jarak antara rumahnya dengan sekolah sekitar 30 km. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah selesai mengenyam pendidikan guru di Muntilan selama 6 tahun, kemudian Soegija mengabdi kepada masyarakat dengan menjadi guru. Selama setahun menjadi pengajar, Soegija memilih jalur imamat dan ditahbiskan pada tahun 1931 dan mulai menjadi pelayan Gereja Katolik pada tahun 1933 di Yogyakarta ( Subanar, 2012: 28).
Masa muda Soegija dihadapkan pada dua wajah, yakni Katolik dan kolonialisme. Hal ini terjadi karena selama bersekolah di Muntilan, Soegija diasuh oleh orang Belanda. Soegija diangkat menjadi seorang Uskup (Vikaris Apostolik) Semarang 1 Agustus 1940 dan dilantik pada 6 November 1940 serta memimpin wilayah gerejawi Vikariat Apostolik Semarang, yang mencakup sejumlah keresidenan di wilayah Jawa Tengah termasuk wilayah Yogyakarta. Saat Jepang mulai menduduki Indonesia, termasuk di Semarang, militer Jepang meminta Gereja Katolik (Gedangan) yang dipimpin oleh Soegija untuk dijadikan gudang penyimpanan bahan pangan. Rencana tersebut ditolak Soegija dan dia mengirim surat kepada penguasa Jepang di wilayah Jawa Tengah agar membatalkan rencana tersebut. Permintaannya disetujui gereja tidak dikuasai oleh pasukan Jepang (Subanar, 2003: 136-137). Meskipun pada masa pendudukan Jepang banyak misionaris dan pastor Katolik ditangkap, Soegija tetap bebas sehingga dia dapat menggantikan peran pastor yang ditawan untuk melayani gereja.
Setelah Jepang mengumumkan kekalahannya atas pihak sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Soegija menginstruksikan untuk mengibarkan bendera merah putih di halaman Gereja Gedangan dan merawat orang-orang yang dibebaskan dari tawanan Jepang dengan kondisi luka-luka serta kurang gizi (Subanar, 2003: 146). Sementara itu, pasca kembalinya Belanda ke Indonesia dan situasi genting mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Soegija tetap mendukung secara penuh Indonesia. Hal ini dibuktikan ketika pusat pemerintah Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, Soegija juga memindahkan kegiatan agamanya ke Yogyakarta, tepatnya di Gereja Santo Yoseph Bintaran pada 18 Januari 1947. Selain itu, Soegija juga menginstruksikan bagi pejuang-pejuang yang beragama Katolik untuk berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Gonggong, 2012: 90-92).
Selanjutnya, Soegija dalam pidatonya di RRI menyatakan bahwa agama Katolik akan bersama dengan pemerintah Indonesia (Anhar Gonggong, 2012: 82). Implementasi pidato Soegija dibuktikan dengan membuka beberapa korespondensi dengan pihak luar, seperti dengan Vatikan dan mengkritik tindakan Belanda atas penyerangan yang dilakukan terhadap Indonesia. Soegija banyak mengirimkan surat kepada Vatikan dan mendapatkan respon dengan mengirimkan perwakilan Vatikan untuk Indonesia yang bernama Georges de Jonghe d'Ardoye. Tentu saja hal ini merupakan tindakan awal diplomasi bagi Indonesia dengan harapan agar Vatikan dapat mengakui Indonesia baik secara de jure maupun de facto. Hal ini merupakan hal yang sangat penting mengingat Indonesia merupakan sebuah negara yang baru merdeka. Pada Desember 1947, d'Ardoye tiba di Indonesia dan menemui Presiden Sukarno (Subanar, 2005: 79).
Pada Agresi Militer II, pasukan Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan menyerang pejuang kemerdekaan Indonesia. Atas tindakan tersebut, Soegija mengirim tulisan ke majalah Commonwealth, sebuah tulisan yang berisikan kritik terhadap Belanda yang menceritakan kondisi masyarakat Indonesia di bawah tekanan Belanda. Hal ini dilakukan Soegija untuk menarik simpati masyarakat internasional bahwa yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia merupakan bentuk penindasan. Pasca kembalinya pemerintah RI ke Yogya seusai Agresi Militer II, bersama I.J. Kasimo, Soegija membahas penyelenggaraan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia. Kongres berhasil diselenggarakan dan menghasilkan keputusan bersama untuk membentuk partai yang berhaluan Katolik (Gonggong, 2012: 106-107).
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar, kegiatan Soegija sebagai pemuka Katolik tetap berlanjut. Untuk mempertahan ideologi Pancasila, Soegija membentuk organisasi Buruh Pancasila dengan mempromosikan falsafah Pancasila sebagai pedoman kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Soegija juga turut mendukung kebijakan-kebijakan yang menurutnya baik bagi masyarakat luas sebagai upaya kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saat pemilihan Paus Paulus VI, Soegija berangkat ke Vatikan pada tanggal 30 Mei 1963. Soegija kemudian pergi ke Nijmegen dan karena sakit yang dideritanya, Soegija akhirnya dirawat di Canisius Hospital dari tanggal 29 Juni hingga 6 Juli 1963. Soegija mengalami serangan jantung dan meninggal dunia pada 22 Juli 1963 di sebuah susteran di Desa Steyl, Belanda. Mengingat jasa Soegija yang begitu besar bagi Indonesia, Sukarno tidak ingin Soegija dikebumikan di Belanda, kemudian jenazahnya diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes Alfrink. Soegija dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenazahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia (Gonggong, 2012: 124).
Penulis: Edi Sumarno
Referensi
Gonggong, Anhar (2012), Mgr. Albertus Soegijapranata SJ: Antara Gereja dan Negara, Jakarta: Grasindo.
Subanar, G. Budi, dkk. (ed.), (2003), Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup Di Masa Perang, Yogyakarta: Galang Press.
Subanar, G. Budi (2003), Soegija, Si Anak Bethleham van Java, Yogyakarta: Kanisius.
Subanar, G. Budi (2005), Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup (1940–1981), Yogyakarta: Penerbit Sanata Dharma.
Subanar, G. Budi (2012), Kilasan Kisah Mgr. A Soegijapranata, SJ, Yogyakarta: Penerbit USD.