Soetardjo Kartohadikoesoemo

From Ensiklopedia
Soetardjo Kartohadikoesoemo. Sumber: Koleksi Digital KITLV - 377901

Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo, Gubernur Jawa Barat pertama, lahir di Desa Kunduran, sebuah desa yang berada Kabupaten Blora, pada 22 Oktober 1890. Ayahnya bernama Mas Kartoredjo seorang Wedana Bancar, Kabupaten Tuban, keturunan keluarga pegawai pemerintah dari Madura, sedangkan ibunya bernama Mas Ayu Kartoredjo, keturunan keluarga pegawai dari Banten. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi isteri pegawai negeri. Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo justru banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu inilah yang mengilhaminya untuk menulis buku tentang desa di kemudian hari.

Pendidikan Soetardjo dimulai dengan memasuki Europeesche Lagere School (ELS setara SD). Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah (kleinambtenaarsexamen) pada 1906. Akan tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan memilih melanjutkan pendidikan di sekolah menengah pamong praja bumiputra atau Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Di sinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi pergerakan (https://www.merdeka.com/soetardjo-kartohadikusumo/profil/).

Pada tahun 1909, Soetardjo Kartohadikoesoemo  yang saat itu menginjak usia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo. Jabatan ini dipegang  hingga tahun 1911 saat dia meninggalkan  sekolah dan “magang” kerja pada kantor Asisten Residen di Blora. Kedudukan ketua Boedi Oetomo digantikan oleh R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar. Tidak sampai satu tahun magang, pada tanggal 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat menjadi Pembantu Juru Tulis (hulpschrijver) pada kantor Residen Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada tanggal 23 Desember 1911 dia diangkat menjadi Juru Tulis Jaksa, dan lima bulan kemudian diangkat menjadi Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat menjadi Asisten-Wedono.

Karir Soetardjo di pemerintahan berlanjut di Blora. Pada tahun 1913 Soetardjo diangkat menjadi Asisten Wedana. Saat itu di Blora muncul gerakan perlawanan tanpa kekerasan yang dipimpin oleh Samin Surontiko untuk menentang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Tidak lama kemudian yaitu pada tahun 1915 ia menyandang jabatan Jaksa di Rembang. Kinerja yang baik membuka peluang dirinya pindah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di Bestuurschool selama 1919-1921. Di samping itu, dia memimpin redaksi kalawarta Oud Osviaan.

Pada tahun 1929, ketika menjadi Patih di Gresik, bersama-sama dengan rekan-rekan dari Oud Osvanianen Bond, Soetardjo terlibat dalam pembentukan Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB) di Solo. Soetardjo terpilih sebagai wakil ketua sedangkan Bupati Bandung Raden Adipati Aria Wiranatakusuma V menjadi ketua. Dari PPBB, Soetardjo melenggang ke Volksraad pada 1931. Ia bertolak ke Batavia, bertugas mewakili PPBB dan pemerintahan Jawa Timur. Dalam sidang pertama Volksraad, ia terpilih sebagai anggota College van Gedelegeerde Volksraad atau Badan Pekerja Dewan Rakyat. PPBB berhaluan moderat progresif dan tergolong beroposisi terhadap pemerintah. Pada 1932, Soetardjo mendukung pengajuan petisi Husni Thamrin untuk menggunakan sebutan “orang Indonesia” mengganti kata inlander alias ‘pribumi’ dalam tata hukum, badan-badan di bawahnya, dan dokumen-dokumen resmi pemerintah.

Pada tahun 1930-an gerakan anti-kolonial radikal yang didasarkan pada asas non-kooperatif telah padam, tetapi metode yang bersifat kooperasi belum tertutup. Meskipun demikian, mereka yang mendukung kerjasama dengan Belanda pun mulai meragukan kemanfaatannya dan mulai berpikir untuk mengambil jarak dengan pemerintah Belanda. Ide-ide nasionalis dan perasaan tidak puas mulai terungkap pada kelompok bahkan di kalangan mereka yang paling dekat dengan pemerintah. Salah satunya adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo yang mempunyai karir dalam birokrasi kolonial. Dia dan pegawai pemerintah lainnya semakin tidak puas dengan adanya pengurangan gaji, pemecatan, pembatasan pendidikan, dan kebijakan pemerintah yang selalu curiga dan ingin campur tangan urusan pribumi (Ricklefs, 2005: 395).  

Pada Juli 1936, Soetardjo mengajukan suatu petisi kepada Volksraad yang isinya meminta pemerintah Belanda menyelenggarakan suatu konferensi guna mengatur otonomi Indonesia di dalam suatu uni Belanda-Indonesia selama kurun waktu 10 tahun. Partai-partai nasionalis yang terpenting terpecah-belah oleh petisi ini, tetapi wakil-wakil Kristen, Arab, Cina, dan Indo-Eropa di dalam Volksraad mendukungnya. Pada September 1936, petisi tersebut disetujui, terutama karena sebagian besar anggota yang berkebangsaan Eropa juga menginginkan otonomi yang lebih luas dari Den Haag (Ricklefs, 2005: 395). Respons kaum pergerakan beragam atas petisi Soetardjo. Parindra curiga dan tidak senang ide Soetardjo itu berhasil, sementara para pemimpin terkemuka gerakan-gerakan anti penjajahan gagal. PSII terpecah disusul lahirnya Barisan Penyadar PSII, Partindo bubar pada Mei 1937 dan kemudian diikuti berdirinya Gerindo. Tidak satupun di antara partai-partai tersebut menunjukkan dukungan yang nyata terhadap Petisi Soetardjo  (Marihandono dkk., 2016: 193).

Tercetusnya petisi yang terkenal itu merupakan hasil proses politik perjuangan di forum Dewan Rakyat yang digagas oleh Soetardjo, wakil fraksi berhaluan moderat-progresif, bekerjasama dengan dua rekannya yaitu Muhammad Husni Thamrin, wakil fraksi berhaluan keras dan Dr. Ratulangi yang menggodok dan menyebarluaskan semangat perjuangan mereka lewat majalah De Nationale Commentaren. Mereka bertiga kemudian lebih dikenal dengan sebutan Tritunggal  (Kartohadikoesoemo, 1990).

Petisi Soetardjo diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Soetardjo pada saat itu menjabat Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/pamong praja Bumiputra (PPBB). Petisi atau usul tersebut berisi permohonan agar diadakan suatu musyawarah (konferensi) antara wakil-wakil Indonesia dan negara Belanda (Nederland) yang anggota-anggotanya mempunyai hak sama dan sederajat. Tujuan diadakannya konferensi tersebut adalah untuk membicarakan kemungkinan Hindia Belanda (Indonesia) diberi suatu pemerintahan otonom dalam kerangka konstitusi Belanda dalam jangka waktu 10 tahun mendatang.

Petisi itu akhirnya diputuskan lewat pemungutan suara. Hasilnya diterima dengan 26 suara setuju, 20 suara menolak. Keputusan Kerajaan baru diperoleh dua tahun kemudian, tepatnya pada 16 November 1938 yang mengukuhkan penolakan terhadap Petisi Soetardjo. Kerajaan Belanda berpendapat bahwa rakyat Hindia Belanda belum matang untuk mempersiapkan sebuah pemerintahan sendiri.

Pada masa pendudukan Jepang, Soetardjo memimpin Departemen Dalam Negeri atau Naimubu Sanyo Banten. Soetardjo juga menjadi anggota badan perwakilan bentukan Jepang, Tjhoeo Sangi-in dan anggota Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Dalam rapat besar BPUPKI 11 Juli 1945, Soetardjo berbicara dan mengusulkan kalau wilayah Indonesia meliputi seluruh Hindia Belanda ditambah Malaya dan Papua. Pada 17 Agustus 1945, Mas Soetardjo hadir pada pembacaan Naskah Proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Beliau juga merupakan utusan republik muda ini untuk menyampaikan berita proklamasi kepada pemerintah Jepang, ditemani Mr. Kasman Singodimedjo.

Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Asisten Residen di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar. Tidak sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Resident Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Asisten-Wedono.

Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama (Agustus 1945-Desember 1945). Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Beliau juga pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967), dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959), dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967), Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948), Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965), dan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956).

Penulis: Warto
Instansi: FIB UNS
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Djoko Marihandono dkk., 2016. Soetardjo Kartohadikoesoemo, Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ricklefs, M.C., 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi

Setiadi Kartohadikoesoemo, 1990. Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya. Jakarta: Sinar Harapan.

https://www.merdeka.com/soetardjo-kartohadikusumo/profil/