Sungkono

From Ensiklopedia
Sungkono

Mayjen Sungkono adalah seorang tokoh militer dari angkatan darat yang penting pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Ia lahir di kota Purbalingga pada tanggal 11 Januari 1911, dan wafat pada 12 September 1977. Sungkono  terlahir dari pasangan Ki Tawireja dan Ibu Rinten. Sungkono mulai dikenal dikalangan rakyat Surabaya ketika terjadi pemberontakan tujuh kapal pada tahun 1930. Pada zaman Jepang Sungkono telah bergabung dalam anggota Pembela Tanah Air (PETA). Tanggal 4 September 1945 Sungkono terpilih sebagai Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kota Surabaya (Irkhul 2018). Sebagai komandan BKR Kota Surabaya, Sungkono bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan seluruh kota. Ia menggerakan pasukan dengan dibantu Polisi Istimewa di bawah pimpinan Moh. Jasin, Pemuda Republik Indonesia (PRI) beserta rakyat dan pemuda lain untuk mengepung markas Gubeng. Mayjen Sungkono juga menjadi perancang strategi perang yang berjibaku langsung dalam pertempuran Surabaya, November 1945.

Bentuk perjuangan Sungkono diawali ketika terlibat dalam pergerakan Inlandsche Marine Bond (IMB), yakni pergerakan pelaut Indonesia yang menitikberatkan pada perjuangan nasional yang dipimpin oleh dr. Soetomo. Tahun 1933, pemerintah Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya pemotongan gaji sebesar 17% bagi para pelaut. Pemotongan gaji ini, dii samping diskriminasi di lingkungan Koninglijke Marine, menimbulkan pertentangan antara para pelaut Belanda sendiri maupun para pelaut Indonesia. Pertentangan ini dikenal dengan pemberontakan Zeven Provincien atau Kapal Tujuh. Tanggal 3 Februari 1933 pemuda Sungkono dengan rekan-rekannya di darat melakukan aksi pemogokan, dengan cara tidak mau menuruti perintah majikan. Pemogok-pemogok itu ditangkap dan ditawan dalam sebuah kamp di Sukolilo, Madura (Irkhul 2018).

Pada masa awal kemerdekaan, Sungkono menjabat sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya. Setelah itu dia diangkat menjadi Komandan BKR Kota Surabaya. Saat itu dia memfasilitasi terbentuknya BKR-BKR di beberapa bagian kota tersebut. Pada masa kepemimpinan Sungkono terjadi sejumlah peristiwa penting di Surabaya, di antara usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai pada tanggal 2 September 1945 dan Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari, sebuah rapat yang bisa dikatakan rapat terbesar di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan RI dengan dihadiri  lebih dari 100.000 orang. Tujuan utama rapat itu adalah untuk mendukung kemerdekaan, termasuk mendukung upaya pelucutan senjata jepang serta mendesak Jepang menyerahkan kekuasaan pada pihak Republik.

Rangkaian aksi dan kegiatan rakyat, pemuda dan pejuang Surabaya semakin diperhebat dengan kedatangan tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) datang ke Indonesia pada bulan Oktober 1945. Kedatangan mereka ternyata diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kedatangan AFNEI dan NICA kala itu dibekali misi untuk ikut melucuti persenjataan tentara Jepang. Selain itu, mereka konon juga membawa misi untuk membebaskan tawanan perang yang ditahan Jepang serta memulangkan tentara Jepang ke tanah mereka.

Namun, ada misi terselubung di balik kembalinya Belanda ke Tanah Air. NICA memiliki kepentingan untuk mengembalikan Indonesia ke pangkuan pemerintah Belanda. Ini yang kemudian membakar gejolak rakyat Indonesia. Gerakan perlawanan pun terbentuk, salah satunya ialah yang terjadi di Surabaya pada November 1945. Puncak peperangan Surabaya sendiri terjadi pada 10 November, satu hari setelah Mayjen Sungkono diangkat menjadi Panglima Angkatan Pertahanan Surabaya.

Dalam perang tersebut, Sungkono mengambil posisi sebagai komandan yang menginspirasi pertempuran. Di tengah para pejuang, prajurit dan masyarakat yang mengalami tekanan saat tentara sekutu mengultimatum Surabaya, Mayjen Sungkono memutuskan naik mimbar, berseru di hadapan para pejuang bahwa ia akan melawan tentara sekutu meski sendirian. Pidato singkat Sungkono itu kemudian disambut dengan deklarasi kebulatan tekad, berupa sumpah pejuang Surabaya dengan semboyan ‘Merdeka atau Mati’. Sumpah tersebut kemudian ditandatangani para komandan, termasuk Sungkono. Mereka bertekad mempertahankan Kota Surabaya, yang kemudian diperkuat anjuran KH. Hasyim As’ary untuk berjihad di jalan Allah .

Taktik perang dan kepemimpinan Mayjen Sungkono berhasil menguatkan barisan perjuangan, meski dengan senjata yang terbatas. Barisan perjuangan itulah yang berhasil memukul mundur tentara Sekutu yang sempat membombardir Surabaya dari berbagai lini. Pasca Pertempuran Surabaya, Mayjen Sungkono menjadi salah satu tokoh pendiri Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), organisasi yang jadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Jasa Sungkono lainnya adalah saat menghadapi pemberontakan PKI Madiun. Presiden Sukarno menyatakan Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau  Negara Dalam Keadaan Bahaya, dikarenakan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pimpinan Alimin dan Muso pada tanggal 18 September 1948. Untuk mengatasi pemberontakan PKI itu, Presiden Sukarno mengangkat Sungkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur dan pangkatnya dikembalikan menjadi Kolonel. Tugas utamanya adalah menumpas pemberontakan PKI Madiun.

Dalam bulan Oktober 1948 pemberontakan itu berhasil ditumpas dan keamanan pulih kembali. Kolonel Sungkono kemudian dilantik menjadi Panglima Divisi I Brawijaya, Jawa Timur. Baru satu setengah bulan menjabat Panglima, tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melakukan aksi militer. Tanggal 24 Desember 1949, ia kembali ke Surabaya sebagai pemenang. Komandan Divisi A Belanda Mayor Jenderal Baay secara resmi menyerahkan Kota Surabaya kepada Panglima Divisi I Brawijaya Kolonel Sungkono. Menjelang pemulihan kedaulatan, ia mempelopori pembubaran Negara Jawa Timur dan Madura bentukan Belanda, untuk masuk ke Negara Kesatuan RI. Tanggal 22 Februari 1950, Markas Divisi I dipindahkan dari Nganjuk ke Surabaya.

Tanggal 16 Juni 1950, Sungkono alih tugas ke Jakarta dan pangkatnya naik menjadi Brigadir Jenderal. Dalam tahun 1958 ia diangkat menjadi Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat. Pangkatnya naik lagi menjadi Mayor Jenderal. Jabatan terakhir sampai ia memasuki masa pensiun tahun 1968 adalah penasehat Menteri/Pangad. Saat ini, nama Mayjend Sungkono telah banyak diabadikan sebagai salah satu jalan di Mojokerto, juga digunakan sebagai nama perguruan tinggi swasta di Mojokerto. Selain di Mojokerto, bentuk apresiasi terhadap Mayjen Sungkono juga diabadikan di kota Surabaya diantaranya penamaan jalan dan pembuatan patung khusus di Gedung Juang 45.

Penulis: Anastasia Wiwik Swastiwi
Instansi: Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Luklui, Irkhul (2018), “Peran Mayjen Sungkono Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Di Jawa Timur Tahun 1945 – 1950”, dalam AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 6, No. 2, Juli.

Mayjen Sungkono dalam Memori Kolektif Bangsa yang Ingin Besar. https://voi.id/tulisan-seri/179/mayjen-sungkono-dalam-memori-kolektif-bangsa-yang-ingin-besar. Diakses Hari Minggu, 17 Oktober 2021. Pukul 19.53