Suprapto

From Ensiklopedia
Suprapto. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P06-0545

Letnan Jenderal Raden Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Juni 1920 dari pasangan Raden Pusposeno dan Raden Ajeng Alimah. Suprapto adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara dan memiliki lima saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. Keluarganya menerapkan kehidupan keagamaan yang ketat dan religius, sehingga membentuk watak Suprapto yang disiplin tapi berhati lembut. Ia selalu menasehati anak buah dan anak-anaknya dengan selalu berserah diri terhadap Allah SWT (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017).

Jenjang pendidikan dasar dijalaninya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Purwokerto saat usianya masih tujuh tahun. Selepas dari HIS, Suprapto melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) bagian B. Saat di MULO, Suprapto mulai tertarik pada dunia militer yang terlihat pada kegemarannya melukis alat-alat perang, seperti kapal terbang, senapan, meriam, dan lain sebagainya (Rosikin, 2 Agustus 2019). Suprapto juga gemar menggali tanah untuk membuat benteng-bentengan yang besar agar bisa digunakan untuk perang-perangan bersama saudara dan teman-temannya (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017). Suprapto kemudian meneruskan pendidikannya di Algemene Middelbare School (AMS) bagan B di Yogyakarta yang berhasil diselesaikannya pada tahun 1941 (Setiawan, 18 September 2021). Saat bersekolah di AMS, kemahirannya mengarang mulai terlihat saat karangannya berjudul Mijn Ideaal mendapat nilai baik dan dimuat dalam majalah Vox, yang merupakan majalah terbitan AMS bagian B di Yogyakarta (Rosikin, 2 Agustus 2019).

Pada saat Suprapto berhasil menyelesaikan studinya di AMS tahun 1941, pemerintah Hindia Belanda sedang mempersiapkan diri memperkuat angkatan perangnya untuk mengantisipasi invasi Jepang yang mulai terlibat dalam Perang Dunia II. Suprapto kemudian memasuki pendidikan militer pada Koninklijk Militaire Akademie (KMA) di Bandung. Belum sempat menyelesaikan pendidikannya, Jepang berhasil menduduki Indonesia dan Suprapto ditangkap dan ditawan Jepang, karena menjadi bagian dari taruna Akademi Militer Belanda (Rosikin, 2 Agustus 2019). Tidak lama ditawan Jepang, Suprapto berhasil melarikan diri dari penjara dan kembali ke tanah kelahirannya di Purwokerto. Tertarik pada masalah-masalah sosial kepemudaan, Suprapto mengikuti kursus Cuo Seinen Kunrensyo (Pusat Latihan Pemuda) dan kemudian bekerja di kantor pendidikan masyarakat desa Banyumas di Purwokerto. Kiprahnya dalam menangani masalah-masalah kepemudaan mengantarkannya bertemu dengan Soedirman yang kelak akan menjadi Panglima Besar TNI. Selama pendudukan Jepang, Suprapto aktif mengikuti pelatihan-pelatihan kepemudaan yang semi militer, seperti Keibodan, Seinendan, dan Suisyintai (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017).

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, Suprapto bersama dengan pemuda-pemuda di Cilacap aktif dalam menegakkan kedaulatan negara dengan merebut gedung-gedung dan senjata yang dikuasai oleh pasukan Jepang (Said dan Wulandari, 1995: 82). Pada saat TKR terbentuk pada tanggal 5 Oktober 1945, Suprapto segera menggabungkan diri dan dipercaya menjabat sebagai kepala Bagian II divisi V TKR Purwokerto dengan pangkat Kapten. Dengan jabatannya ini, Suprapto ikut mendamping Komandan Divisi V Kolonel Soedirman pada peristiwa palagan Ambarawa pada tanggal 12-15 Desember 1945 (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017). Pasukan TKR yang dipimpin Kolonel Soedirman dengan taktik Sapit Urang berhasil merebut Ambarawa dan memukul mundur pasukan Sekutu hingga Semarang (Dinas Sejarah AD, 2014).

Dengan keberhasilan serangan di Ambarawa, Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR. Berkat hubungan baik yang telah berlangsung cukup lama, Kapten Suprapto diangkat menjadi ajudan Jenderal Soedirman. Saat menjadi ajudan dan di tengah-tengah masa perang mempertahankan kemerdekaan, Kapten Suprapto menikah dengan gadis asal Cilacap bernama Julie Suparti pada tanggal 4 Mei 1946. Dari perkawinannya ini, mereka dikarunia lima orang anak (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017).

Setelah menikah, karier Suprapto cepat menanjak dan berpindah-pindah jabatan. Pada tahun 1948, setelah Markas Besar Komando Djawa (MBKD) terbentuk, Suprapto diangkat menjadi kepala bagian II MBKD yang saat itu diketuai oleh Kolonel A.H. Nasution. Pada Oktober 1948, Suprapto yang sudah berpangkat Mayor dipindahkan ke Solo untuk memegang jabatan Kepala Staf Divisi II dan Perwira yang diperbantukan pada staf Gubernur Militer daerah Surakarta, Pati dan Semarang yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto. Pada jabatannya ini, Suprapto terlibat aktif dalam penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Pada 1949, ketika perang kemerdekaan sudah berakhir dengan terselenggaranya KMB, Suprapto dipindahkan ke Semarang untuk menjadi Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro dengan pangkat Letnan Kolonel. Setelah pengakuan kedaulatan, pada akhir Desember 1950, Suprapto diangkat sebagai Kepala Bagian II di Staf Umum Angkatan Darat Jakarta. Setahun kemudian, ia dipercaya sebagai Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan merangkap jabatan sebagai wakil KSAD (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017).

Setelah dua tahun menjabat sebagai wakil KSAD, pada bulan Desember 1953 Suprapto dipindahkan ke Kementerian Pertahanan sebagai perwira menengah yang diperbantukan pada Menteri Pertahanan. Pada tanggal 1 Januari 1956, Suprapto yang sudah berpangkat Kolonel sejak 1 Juli 1954, ditunjuk  sebagai Sekretaris Gabungan Kepala Staf (GKS). Dengan jabatan dan pangkat yang semakin tinggi, Suprapto harus memperbaharui dan meningkatkan kemampuan militernya dengan mengikuti kursus C Sekolah staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung untuk beberapa bulan sejak 6 Agustus 1956. Mulai 1 Januari 1960, ia mendapat kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal dan menjabat sebagai Deputi KSAD (DEKSAD) untuk wilayah Sumatra yang berkedudukan di Medan. Setelah hampir 2 tahun, Brigjen Suprapto ditarik kembali ke Jakarta pada Juli 1962 dengan menjabat sebagai Deputi Administrasi Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dalam jabatannya ini sejak bulan Juli 1963 pangkatnya naik menjadi Mayor Jenderal (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017). Sebagaimana para perwira tinggi Angkatan Darat lainya, Mayor Jenderal R. Suprapto merupakan perwira tinggi Angkatan Darat yang dengan tegas menolak pembentukan Angkatan V yang disponsori oleh PKI (Said dan Wulandari, 1995: 82).

Pada siang hari tanggal 30 September 1965 sebelum peristiwa penculikan, Mayjen Suprapto mencabut giginya yang sakit, sehingga pada malam harinya tidak bisa tidur karena rasa sakit masih terasa. Untuk mengisi waktu, ia membuat lukisan yang akan disumbangkan ke Museum Perjuangan di Yogyakarta. Pada malam itu, Mayjen juga sempat membuat corat-coret rencana pembangunan gedung rumah sakit tentara yang harapannya memiliki fasilitas seperti rumah sakit di negara-negara maju (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017). 

Sementara itu pasukan penculik yang terdiri dari 1 Peleton resimen Cakrabirawa yang dipimpin Serda Sulaiman dan satu kelompok Sukwan PKI  telah mempersiapkan diri di Lubang Buaya untuk menculik Mayjen Suprapto (Pusat Sejarah TNI, 4 Agustus 2017). Pada pukul 03.00 dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan penculik itu menuju rumah Mayjen Suprapto di Jalan Besuki No. 19 Jakarta dengan menggunakan 1 truk (Masykuri, 1983: 62). Pada pukul 04.30 WIB, pasukan penculik sampai ke rumah Mayjen Suprapto yang membangunkan anjing yang berada di sebelah kiri rumah. Gonggongan anjing membangunkan Mayjen Suprapto yang segera menuju pintu dan menanyakan pasukan yang datang tersebut. Dari luar terdengar jawaban “Cakrabirawa” yang membuat Mayjen Suprapto membukakan pintu. Serda Sulaiman sebagai komandan pasukan penculik menjelaskan bahwa Mayjen Suprapto diminta menghadap presiden saat itu juga. Mayjen Suprapto bersedia dan meminta Serda Sulaiman menunggunya untuk berganti baju, karena saat itu ia masih menggunakan piyama dan sarung. Para penculik melarangnya dengan kasar, bahkan mendorong dan memaksanya ke luar. Beberapa orang penculik memegangi tangannya dan menaikkannya dengan paksa ke dalam sebuah truk yang telah tersedia. Pasukan penculik meninggalkan tempat itu dan membawa Mayjen Suprapto ke Lubang Buaya (Sekretariat Negara RI, 1994: 99).

Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua tempat dibuangnya mayat Mayjen Suprapto dengan enam perwira tinggi Angkatan Darat lainnya ditemukan. Pada tanggal 5 Oktober 1965 keluar Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Indonesia/Komando Operasi tertinggi No. 110/KOTI/1965 menetapkan Mayor Jenderal TNI R. Suprapto, atas jasa-jasanya, diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Dengan Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Mayor Jenderal TNI Raden Suprapto beserta enam perwira Tinggi AD lainnya gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri, 1983: 92-93). 

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Masykuri (1984), Pierre Tendean, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Pusat sejarah TNI (2017), “Letnan Jenderal R. Suprapto (1920-1965)”, http://sejarah-tni.mil.id/2017/08/04/letnan-jenderal-r-suprapto/ diunduh 29 Oktober 2021

Rosikin, Ahmad Nur (2019), “Letnan Jenderal R Suprapto Merupakan Pahlawan Revolusi Yang Gugur Dalam Peristiwa 30S/PKI, https://www.tribunnewswiki.com/2019/08/02/pahlawan-nasional-letjen-r-suprapto, diunduh 29 Oktober 2021

Said, Julinar dan Triana Wulandari (1995), Ensiklopedi Pahlawan Nasional, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994), Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta: Sekretariat Negara RI

Setiawan (2021), “Biografi Pahlawan Revolusi Pemberontakan PKI 30 September 1965: Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto”, https://surabaya.jatimnetwork.com/nasional/pr-521182692/biografi-pahlawan-revolusi-pemberontakan-pki-30-september-1965-letnan-jenderal-tni-anumerta-r-suprapto?page=1, diunduh 29 Oktober 2021