Tahun Vivere Pericoloso

From Ensiklopedia


Tahun Vivere Pericoloso adalah sebuah istilah yang muncul pertama kali sebagai judul pidato Presiden Sukarno pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-19 tanggal 17 Agustus tahun 1964. Dalam pidato itu, Sukarno menyampaikan pandangannya terhadap situasi nasional dengan nada khawatir terhadap kehidupan politik Indonesia. Politik mercusuar yang digaungkan Sukarno sebagai dasar pembangunan karakter bangsa sedang berada di fase puncak. Namun, pada saat yang sama terdapat juga persoalan-persoalan yang menjadi tantangan dalam pembangunan politik Indonesia

Pertama adalah konflik Indonesia dengan Malaysa. Sebagai tanggapan terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia, pada Mei 1964 Sukarno mengumandangkan pidato Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang tak lain bertujuan untuk mendukung perjuangan revolusioner dari rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk merdeka dari Federasi Malaysia. Namun, belakangan ini telah diketahui bahwa geliat konfrontasi Malaysia ini, rupanya secara diam-diam Angkatan Darat (AD) Indonesia menolak taat pada perintah Dwikora (Djiwandono 1996: 212). Sehingga, dalam situasi inilah nada kekhawatiran pidato Sukarno yang dibacakan pada HUT RI ke-19 tahun 1964 dapat kita pahami.

Nampaknya tabiat subversif ini memang telah menjadi sorotan bagi Sukarno pada pidato 17 Agustus 1964. Hal demikan terlihat pada tahun 1960-an ketika Sukarno menyatakan dengan keras “go to hell with your aids” kepada Amerika Serikat, justru negeri Paman Sam itu malah memberikan bantuan logistik, persenjataan, pendidikan dan latihan kepada para perwira AD secara rahasia, tanpa sepengetahuan pemerintah pusat (Kahin 1997: 301). Bahkan bantuan logistik itu nampak jelas ketika AD dan sejumlah mahasiswa anti-komunis yang belakangan diketahui, yakni pada 1966, melakukan unjuk kekuatan untuk memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI) di satu sisi dan menentang politik pemerintahan Sukarno di sisi lain. Sampai di sini, tentu menjadi penting bagi Bung Karno untuk mengkonsolidasikan kembali jalannya revolusi Indonesia.

Sukarno lantas memberi tajuk pada pidatonya itu dengan istilah Vivere Pericoloso (dalam bahasa Italia yang artinya; hidup penuh bahaya) atau disingkat Tavip. Pada intinya, maksud dan tujuan Sukarno mengunakan istilah ini ialah untuk menggambarkan tahun di mana revolusi Indonesia yang semestinya berjalan kearah yang lebih baik, namun diganggu oleh ranjau-ranjau subversif yang berusaha untuk menggagalkannya. Ranjau-ranjau subversif ini dapat dikatakan berupa gerakan dari luar medan revolusi itu sendiri (kontra revolusi), yakni gerakan kolonialis baru yang diboncengi para imperialis modern, serta gerakan mendua yang berasal dari dalam medan revolusi itu sendiri (subversif), yakni mereka yang bersuara lantang mendukung revolusi namun di sisi yang bersamaan jauh di lubuk hati mereka memiliki agenda tersendiri untuk mengedepankan kepentingan pribadinya (Koran Sulindo).

Makna pidato yang turun bak seruan untuk kembali ke jalan revolusi ini laksana Guntur yang menyambar bumi bersamaan dengan pendaratan pasukan sukarelawan Indonesia di Johor, Malaysia pada 17 Agustus, dan di Labis pada 2 September 1964 (Efantino 2009: 39). Revolusi, bagi Sukarno dalam hal ini merupakan perwujudan dari ‘satu’ perjalanan, proses dan gerak yang kemudian dihambat oleh suatu ‘subversi’ dan ‘intervensi’. Dapat kita pahami, bahwa maksud dari kata-kata Sukarno ini terletak pada gejolak serangkaian peristiwa dan dinamika politik pada masa itu. Bahwa ‘satu’ perjalanan, proses dan gerak yang ditujukan dalam upaya menentang praktik-praktik kolonialisme mendapat hambatan ‘subversi’ dan ‘intervensi’ dari kelompok-kelompok politik yang hanya mementingkan kepentingan pribadi maupun negara-negara imperialis yang gencar dalam melanggengkan praktik kolonialisme.

Lebih lanjut, dalam pidatonya itu Sukarno menyebut bahwa apa yang menjadi penghambat revolusi Indonesia ialah sesuatu yang akhirnya dianggap tidak berpihak pada Manipol/USDEK, yang berkaitan dengan prinsip UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia sebagai ujung tombak persatuan Indonesia. Dengan demikian, dalam rangka untuk meneguhkan jalan revolusi yang telah digariskan Manipol/USDEK, Sukarno memunculkan kosa kata ‘persatuan’ dalam pidatonya, yang sekiranya selaras dengan apa yang telah disebutkan terdahulu. Namun, Sukarno yang nampak berang oleh ranjau-ranjau subversi dan intervensi dari negara-negara imperialis tampaknya tidak lepas dari kata ‘persatuan’ sebagai kunci revolusi. Bung Karno tidak ingin mengulang sejarah revolusi yang pernah terjadi di belahan dunia lain. Misalnya, gerakan revolusi senator McCarthy di Amerika Serikat yang melakukan kekerasan dan pembunuhan untuk membendung persebaran komunisme, atau mengikuti gaya Mao Tse Tung pada saat menerapkan gagasan “lompatan jauh ke depan” agar dapat menyelesaikan revolusi hanya dalam waktu tiga tahun yang mengorbankan 30 juta jiwa. Bung Karno tetap berusaha memberikan ‘peneduh’ pada jalan revolusi Indonesia yang tengah berjalan terhuyung itu. Meskipun pada akhirnya, hanya berselang satu tahun, genta suara revolusi itu harus berhenti akibat suatu peristiwa kontroversial, yakni G 30 S pada September 1965.

Penulis: Satrio priyo utomo


Referensi

Buku

Djiwandono, J. Soedjati. (1996). ‘Konfrontasi’ Revisited: Indonesia’s Foreign Policy Under Sukarno. Jakarta: CSIS.

Efantin, dan Arifin S. N. (2009). Ganyang Malaysia. Yogyakarta: Bio Pustaka.

Kahin, Audrey R., dan George McT. Kahin. (1997). Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Mengungkap Keterlibatan CIA di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafitti.


Internet

https://koransulindo.com/lima-pesan-bung-karno-tentang-tahun-vivere-pericoloso/amp/

https://id.m.wikisource.org/wiki/Tahun_%22Vivere_Pericoloso%22

https://youtu.be/5lgnVauJqW0