Tirtoadisuryo

From Ensiklopedia

Raden Mas Tirtoadisuryo adalah tokoh pers, kebangkitan nasional, perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Cara lain penulisan nama R.M. Tirtoadisuryo adalah Raden Mas Tirtohadisoerjo. Nama yang diberikan orang tuanya ketika lahir adalah Raden Mas Djokomono.Ia diperkirakan lahir pada tahun 1880 di Blora, Jawa Tengah dan wafat di Batavia (Jakarta) pada 7 Desember 1918. Ayahnya adalah R.Ng. Hadji Moehammad Chan Tirtoadhipoero, seorang pegawai Kantor Pajak dengan jabatan collecteur [pemungut pajak]. Tidak banyak informasi mengenai masa kecil Tirto Adhi Soerjo karena ia tidak menceritakan masa kanak-kanaknya. Ia diketahui ikut dengan neneknya, Raden Ayu Tirtonoto di Bojonegoro, istri dari R.M.T Tirtonoto, Bupati Bojonegoro (Toer, 2003: 27, 29).

R.M.T Tirtonoto, Bupati Bojonegoro memiliki jasa sehingga ia mendapat bintang Ridder Nederlandsche Leeuw. Jasa-jasa Tirtonoto antara lain meningkatkan jumlah penerimaan pajak sebesar 350.000 gulden per tahun, memadamkan pemberontakan 40 serdadu Bugis di tangsi hukuman Ngawi, Jawa Timur. Pemerintah Hindia-Belanda mulai mencari-cari kesalahan hingga pemerintah memberhentikan dirinya. Tirtonoto wafat di rumah mertuanya, Kanjeng Pangeran Aryo Hadinegoro di Solo (Toer, 2003: 27).

Raden Ayu Tirtonoto tidak senang dengan perlakuan pemerintah terhadap suaminya. Ia memerintahkan untuk menyimpan kostum kebesaran almarhum suaminya di makam lengkap dengan penghargaan Ridder Nederlandsche Leeuw yang dikunci dan dijaga oleh juru kunci. Bintang penghargaan itu hilang dan Raden Ayu Tirtonoto meminta Asisten Residen Ch.P.J. Blok untuk melakukan penyelidikan. Namun, usaha tersebut tanpa hasil. Oleh karena jabatan bupati Bojonegoro kosong sepeninggal suaminya, Raden Ayu Tirtonoto menghadap Gubernur Jenderal Otto van Rees, memohon berdasarkan pasal 69 Regeerings Reglement (Peraturan Pemerintah) untuk mengangkat salah satu putranya menjadi bupati Bojonegoro. Sementara itu Asisten Residen Ravenswaaij telah menetapkan calon bupati Bojonegoro. Gubernur Jenderal Otto van Rees menolak permohonan Raden Ayu tetapi ia mempersilahkan Raden Ayu untuk mengajukan permohonan tunjangan bagi putra dan cucunya. Raden Ayu Tirtonoto menolak karena kedatangannya bukan untuk meminta sedekah melainkan meminta haknya. Maka seperti yang ditulis oleh Tirtoadisuryo dalam surat jawaban terhadap surat Ir. H.H. van Kol tertanggal 23 April 1909, ia mengutip ucapan neneknya bahwa ia akan menyuruh anak-cucunya untuk berusaha sendiri meskipun berada dalam kemiskinan, tidak akan meminta pertolongan serta berusaha dengan tenaga sendiri (Toer, 2003: 28).

Ketika neneknya mengalami peristiwa-peristiwa tersebut, Tirtoadisuryo yang tinggal bersama neneknya masih seorang anak-anak. Ia duduk di kelas satu atau dua sekolah dasar Belanda yang pada tahun 1902 nama resminya adalah Europesche Lagere School (ELS). Kemungkinan ketika neneknya wafat, Tirto Adhi Soerjo pindah ke Madiun, ikut saudara sepupunya, R.M.A Brotodiningrat yang menjabat sebagai Bupati Madiun. Di Madiun juga tidak sampai ia menamatkan sekolah karena ia pindah ke Rembang mengikuti kakaknya, R.M. Tirto Adi Koesoemo, jaksa-kepala Rembang. Setelah ia menamatkan jenjang sekolah dasar, sekitar usia empat belas tahun, Tirtoadisuryo melanjutkan ke sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia (Toer, 2003: 29).

Keputusan Tirtoadisuryo melanjutkan pendidikan ke STOVIA pada masa itu di luar kebiasaan yang umum. Biasanya para putra golongan bangsawan melanjutkan pendidikan ke sekolah untuk calon pegawai negeri. Hal itu dapat dipahami pada masa itu karena pekerjaan dokter merupakan pekerjaan pengabdian sedangkan pegawai negeri adalah pekerjaan memerintah. Ketika di Batavia, Tirtoadisuryo melepaskan semua ikatan dan atribut keluarga priayi. Ia langsung bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Hal ini dapat diketahui dengan begitu cepatnya ia menyerap dialek Melayu-Betawi dan menggunakannya dalam tulisan-tulisannya. Kehidupan jurnalistik memang lebih memikat hatinya. Antara tahun 1894-1895 ketika Tirtoadisuryo masih sekitar usia 14-15 tahun, ia sudah mengirim berbagai artikel kepada sejumlah surat kabar terbitan Batavia (Toer, 2003: 40-41).

Tirtoadisuryo pernah membantu di surat kabar terbitan Batavia yaitu Chabar Hindia Olanda (terbit pertama kali 1888), Pembrita Betawi (terbit pertama kali 1886) dan Pewarta Priangan terbitan Bandung. Dari Bandung, ia kembali ke Batavia, bergabung dengan Pembrita Betawi. Pada 1900, ketika duduk di kelas 4 setelah belajar selama enam tahun, ia dikeluarkan dari STOVIA. Penyebab pemecatannya tidak diketahui. Namun, kemungkinan besar penyebabnya adalah kegiatannya dalam jurnalistik. Setelah dikeluarkan dari STOVIA pada 2 April 1902 ia diangkat menjadi redaktur Pembrita Betawi, pimpinan F. Wiggers dan pada 13 Mei 1902 menjadi redaktur kepala (Dahlan, 2007: 4).

Pembrita Betawi dicetak oleh percetakan yang juga menerbitkan Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indië di bawah pimpinan Karel Wijbrands. Selama beberapa bulan Tirtoadisuryo banyak belajar dari Wijbrands terutama dalam pengelolaan penerbitan, saran mempelajari hukum dan tata pemerintahan untuk mengetahui batas-batas kekuasaan kolonial, harga diri menurut standar Eropa, teknik menghantam aparat kolonial, serta mengenali bangsa bumiputra yang mayoritas muslim dengan mendalami ajaran serta hukum Islam (Toer, 2003: 40-41).

Pada 1902 Tirtoadisuryo berkesempatan memandu Raden Mas Ngabehi Prodjo Sapoetro dari keraton Solo yang bertamasya ke Banten. Susuhunan pada masa itu memiliki kebiasaan mengirimkan keluarga dan kepercayaan berkeliling Jawa untuk memperluas pengetahuan tentang negeri sendiri. Sebagai rasa terima kasih dari Susuhunan, Tirtoadisuryo mendapatkan hadiah dari Susuhunan dan ia juga diminta untuk membantu Bromartani (terbit pertama kali 1855) yang sebelumnya terbit tengah-mingguan kemudian menjadi mingguan. Berita Tirto mendapatkan hadiah dari Susuhunan dikabarkan oleh pers Belanda dan Melayu. Berita itu menjadi perhatian para priayi di seluruh Jawa dan Madura karena pada waktu itu Susuhunan Solo, terutama bagi orang-orang Jawa di desa-desa dianggap sebagai raja (Toer, 2003: 48).

Tirto hanya bertahan setahun di Pembrita Betawi karena berselisih dengan Wiggers. Ia lalu keluar dan pada 17 Februari 1903 mendirikan Soenda Berita, koran mingguan yang dikerjakannya sendiri atas saran Wijbrands. Modal untuk mendirikan surat kabar tersebut dari hasil penjualan harta-benda dan pemberian Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja. Surat kabar ini merupakan salah satu surat kabar di Hindia yang dikelola dan dimodali oleh bumiputra. Mulai dari penulisan hingga urusan administrasi dilakukan sendiri oleh Tirto. Koran ini yang membuka hubungan dengan para priyayi, terutama bupati di Jawa dan Madura, bahkan membawanya ke Maluku. Pada masa ini Tirto menghasilkan karya fiksi Seitang Kuning yang diterbitkan di Makassar pada 1906. Di sisi lain surat kabar Soenda Berita mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak dapat terbit lagi (Toer, 2003: 58-61).

Pada 1904 Tirto mendirikan Sarekat Prijaji, organisasi yang dianggap sebagai organisasi berciri modern pertama di Hindia tanpa memandang latar-belakang kesukuan dan menggunakan lingua franca ‘bahasa bangsa-bangsa jang terprentah’.  Namun, organisasi tersebut tidak melakukan satu kegiatan pun. Pada 1 Januari 1907, Tirto mendirikan Medan Prijaji yang pada awalnya merupakan koran mingguan dan pada 1910 menjadi harian (Dahlan, 2007: 4-5). Pada 1908 ketika Boedi Oetomo (BO) berdiri, beberapa pengurus Sarekat Prijaji, termasuk Tirto ikut bergabung. Ia tercatat sebagai anggota BO cabang Bandung (Toer, 2003: 144).

Pada 1907 Tirto juga menerbitkan Soeloeh Keadilan dengan ia sebagai redaktur kepala, Mr. J. Siberius sebagai redaktur, dan Haji Abdul Aziz sebagai penasehat hukum syara’. Pemberi modal untuk Medan Prijaji adalah Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja yang juga membantunya untuk koran Soenda Berita dan Oesman Sjah, Sultan Bacan yang merupakan iparnya (Toer, 2003: 70).

Belum setahun Medan Prijaji berdiri sudah mengalami kesulitan keuangan. Namun, Medan Prijaji berhasil melewati kesulitan tersebut atas bantuan Haji Muhammad Arsad. Mereka kemudian sepakat mendirikan perusahaan N.V. Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften ‘Medan Prijaji’ yang disingkat N.V. Medan Prijaji. Ini merupakan perusahaan bumiputra pertama (Toer, 2003: 72).

Medan Prijaji memiliki kebijakan memberikan kesempatan kepada para pembacanya untuk menulis dan mengadukan berbagai persoalan yang berhubungan dengan hak mereka. Tirto akan memberikan komentar untuk surat-surat yang masuk. Bagi mereka yang memiliki kasus hukum, Medan Prijaji akan menyiapkan pembela. Medan Prijaji mencatat telah membantu 225 kasus masyarakat yang berurusan dengan pemerintah. Mulai dari penjual ikan pindang hingga sultan di luar Jawa-Madura. Medan Prijaji juga tidak hanya mengandalkan kutipan berita-berita politik pemerintahan dari pers Belanda. Kedekatan Tirto dengan pejabat kolonial dan para bupati menghasilkan tulisan-tulisan kritis berdasarkan sumber utama tetapi tulisan-tulisannya cenderung tidak taktis. Hal tersebut menjadikan Tirto sosok berbahaya bagi pemerintah kolonial karena mengubah cara keluh-kesah masyarakat dengan menggunakan cara paling modern yaitu melalui surat kabar (Dahlan, 2007: 5).

Pada 1908 Tirtoadisuryo mendirikan Poetri Hindia yang terbit pertama kali pada 1 Juli 1908 di Batavia. Poetri Hindia merupakan media bumiputra pertama yang ditujukan untuk perempuan. Dilihat dari susunan redaksi mencerminkan hierarki kepriyayian masa itu. Hampir semua pimpinan adalah perempuan, seperti redaktris-kepala: Nyonya J. Binkhorst, R.A. Hendraningrat, Raden Adjeng. Fatimah. Hal istimewa dari Poetri Hindia adalah para penulis boleh memasukkan artikel dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, dan bahasa-bahasa daerah. Redaksi akan menerjemahkannya dalam bahasa Melayu. Seperti Medan Prijaji, Poetri Hindia mulai menghadapi masalah pendanaan. Perusahaan-perusahaan besar Eropa mulai menolak memasang iklan. Ditambah lagi ketika pada paruh kedua tahun 1912 Tirto disandera pemberi piutang dan pada 1913 Tirto diasingkan ke Ambon. Kedua peristiwa tersebut membuat Poetri Hindia tidak dapat terbit lagi (Toer, 2003: 110-111).

Pada 27 Maret 1909 di kediaman Tirto di Bogor terjadi kesepakatan antara para pedagang bumiputra dan Arab untuk membentuk Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi yang secara resmi dideklarasikan pada 5 April 1909 berpusat di Bogor dengan cabang-cabang di seluruh Hindia. Tujuan organisasi ini melayani kaum Muslim dari berbagai ras di Hindia-Belanda. Namun, pada akhir 1909 pemerintah kolonial menolak anggaran dasar organisasi ini. Alasannya adalah undang-undang komersial, perdagangan, dan kebangkrutan untuk orang Arab berbeda dengan undang-undang bagi bumiputra sehingga perkumpulan dagang yang terdiri dari orang Arab dan bumiputra tidak dapat diakui (Adam, 2003: 199).

Pada 1911 Haji Samanhoedi, pemimpin Rekso Roemekso semacam laskar keamanan untuk keamanan kawasan industri batik di Solo meminta bantuan Tirto untuk menyusun anggaran dasar dan rumah tangga perkumpulan. Disepakati Tirto akan membantu merumuskan dan nantinya akan diakui sebagai SDI cabang Solo (Adam, 2003: 303).  Kelak Haji Samanhoedi berpisah dengan Tirto dan karena sadar ia tidak dapat mengelola organisasi, Samanhoedi merekrut sosok muda dari Surabaya, Tjokroaminoto. Pada 1912 SDI berubah menjadi Sarekat Islam.

Selain menerbitkan Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, dan majalah perempuan Poetri Hindia, Tirto juga mengedit berkala bulanan Militair Djawa, Sri Pasoendan. Keduanya terbit pada 1909.  Lalu Pewarta S.S. (Staatsspoor) berkala dua mingguan yang berhenti terbit pada 1912. Tirto juga menjadi pemimpin redaksi harian Pantjaran Warta dari 1 Februari hingga 31 Juli 1909 (Adam, 2003: 200-201).

Semua kegiatan Tirtoadisuryo membuat namanya masuk dalam catatan pemerintah kolonial karena dianggap berbahaya. Secara khusus, pemerintah menugaskan Douwe Adolf Rinkes Penasehat Pemerintah untuk Urusan Pribumi untuk mengawasi, mencatat, memojokkan hingga menjatuhkan Tirto dan Medan Prijaji (Dahlan, 2007: 7).

Selain menulis artikel tajam di surat kabar, Tirto juga menulis fiksi yaitu Pereboetan Seorang Gadis Riwajat Pada Masa Sekarang cerita bersambung di Pembrita Betawi (1902). Menemoe Tjinta Dalam Kereta Api (1903), Pertoenangan Sia-sia, Mentjari Oentoeng cerita bersambung di Soenda Berita (1904), Doenia Pertjintaan, 101 Tjerita Jang Soenggoeh Soedah Terdjadi di Tanah Priangan (1906) yang diterbitkan di Makassar. Tjerita Njai Ratna, Membeli Bini Orang (1909) cerita bersambung di Medan Prijaji (1909), Busono cerita bersambung di Medan Prijaji (1912).

Berbagai kasus hukum dihadapi oleh Tirtoadisuryo yang harus mempertanggungjawabkan kritiknya. Kasus pertama adalah kasus A. Simon, Aspirant Controleur (Calon Kontrolir) Purworejo yang bersekongkol dengan wedana dalam pengangkatan seorang lurah Desa Bapangan yang tidak mendapat dukungan warga. Ada dua kasus yang terjadi. Pertama adalah kasus penyalahgunaan wewenang oleh A. Simon. Kedua, penghinaan Tirto terhadap Simon yang disebutnya dalam Medan Prijaji (1909) sebagai monyet ingusan. Pada kasus pertama, Simon diuntungkan. Kasus kedua sempat ditangguhkan atas campur-tangan Gubernur Jenderal van Heutsz. Namun, Tirto akhirnya dihukum dengan dibuang ke Teluk Betung Lampung yang berhasil menggugat kembali Tirto pada masa Gubernur Jenderal Idenburg, pengganti Van Heutsz (Toer, 2003:73; Dahlan, 2007:5).

Kasus Tirto berikut adalah kasus J.J. Donner Residen Madiun yang menurunkan Bupati Madiun Brotodiningrat. Donner bersekongkol dengan Patih dan Jaksa Kepala Madiun yaitu Mangoen Atmodjo dan Adipoetro. Donner melaporkan kepada Gubernur Jenderal Rooseboom bahwa Brotodiningrat pemimpin sejumlah kerusuhan di Karesidenan Madiun dan di luar Madiun. Brotodiningrat dihukum dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan dengan dibuang ke Padang. Ternyata tuduhan terhadap Brotodiningrat didasarkan pada kesimpulan dan tafsiran keliru. Tirto dinasihati oleh gurunya di bidang hukum demi nama baiknya dan kepercayaan umum padanya untuk tidak membuka nama-nama informannya (Toer, 2003: 49-50).

Kasus Tirto lainnya adalah skandal Patih Bandung pada 1910. Hal itu membuatnya dipukuli hingga berdarah akibat pidatonya. Tirto pun dihadapkan pada pengadilan. Kasus keempat adalah kasus Brunsveld van Hulten, seorang pengacara yang mengambil jalur kekerasan untuk mengalahkan Tirto. Dengan dikawal seorang wartawan muda, Dominique Willem Beretty, van Hulten mendatangi kantor redaksi Medan Prijaji dan meminta mencabut beberapa artikel. Tirto menolak dan akibatnya ia dicambuk. Kasus kelima adalah kasus Bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat, suami Kartini telah menyalahgunakan kekuasaan bersekutu dengan Patih Rembang Raden Notowidjojo pada 1911. Keduanya berusaha menguasai jabatan bupati Tuban dengan cara menikahkan putranya dengan gadis bupati Tuban yang baru meninggal (Dahlan, 2007: 6).

Kasus berikutnya adalah kasus penghinaan terhadap dua Residen, Ravenswaay dan Boissevain pada 1912. Tirto menuding kedua residen menghalangi putera Djojodingrat menjadi bupati. Ketika bupati meninggal, gubernur jenderal melayat dengan iringan taksi sebanyak 60 buah. Tirto menyindir dengan sebutan ‘kyaine’ yang menghamburkan uang rakyat. Kasus berikut adalah pailitnya NV Medan Prijaji. Tirtoadisuryo tenggelam dalam utang. Ia digugat dan sempat disandera oleh . Dalam persidangan di pengadilan pada 17 Desember 1912 Tirto dinyatakan bersalah dengan hukuman pembuangan dan dihukum denda. Seluruh harta miliknya disita untuk membayar denda.  Oleh karena ia pernah dibuang dengan perkara yang sama, Tirto dapat terkena hukuman enam bulan. Ia tidak dapat segera berangkat ke pembuangan karena masa sanderanya belum selesai. Diperkirakan pada akhir 1913 Tirto baru dapat berangkat ke pembuangan ke Ambon (Toer, 2003: 90, 204; Adam, 2003: 205; Dahlan, 2007: 6).

Tirto kembali dari pembuangan di Ambon dengan semangat yang telah hancur. Ia sudah kehilangan kekuatannya. Ia kembali menghadapi hukuman penjara pada Januari 1914 karena penghinaan dua tahun sebelumnya terhadap Bupati Rembang R.A. Djojoadiningrat ketika ia masih memimpin Medan Prijaji (Adam, 2003: 205).

Hotel Samirono di Jl. Kramat Raya Batavia yang sebelumnya bernama Hotel Medan Prijaji menjadi tempat penting dalam tahun-tahun terakhir hidup Tirto karena menjadi tempat terakhir baginya. Hotel tersebut adalah milik Goenawan, anak didiknya di Medan Prijaji. Sebelumnya hotel itu adalah milik Tirto. Diperkirakan hotel itu diambil alih Goenawan pada akhir 1915. Pada 7 Desember 1918, Tirtoadisuryo wafat dan dimakamkan di Mangga Dua, Batavia (Toer, 2003: 209-212). Lalu dimakamkan kembali di Bogor pada 30 Desember 1973. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/TK/2006.

Penulis: Ahmad Sunjayadi


Referensi

Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 1855-1913. Jakarta: Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu-KITLV Jakarta.

Dahlan, Muhidin. 2007. Tirto Adhi Soerjo. Dalam Taufik Rahzen (Ed).  Tanah Air Bahasa. Seratus Jejak Pers Indonesia. Jakarta: I:BOEKOE.

Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Sang Pemula. Jakarta: Lentera Dipantara.