Wehrkreise
Wehrkreise atau wehrkreis adalah terminologi dalam Bahasa Jerman yang secara harfiah berarti lingkaran (kreise) pertahanan (wehr). Konsep teritorial di bidang pertahanan ini tidak hanya populer di kalangan tentara Jerman tetapi juga TNI pada periode perang kemerdekaan tepatnya sejak tahun 1948. Secara lebih spesifik, Serangan Umum 1 Maret 1949 (jamak disebut SO1) adalah peristiwa akbar yang membuat terminologi ini lebih populer.
Wehrkreise digunakan oleh tentara darat Jerman ketika negara ini berada di bawah kekuasaan Republik Weimar (1918-1933). Konsep teritorial ini dimaksudkan untuk memusatkan dukungan administratif dan tempur bagi pasukan lapangan. Sebuah Wehrkreise dikelola oleh pasukan cadangan (ersatzheer) yang berbeda dengan pasukan lapangan (Oberbefehlshaber des Heeres). Pada prinsipnya, Wehrkreise menciptakan suatu sistem kerjasama antara kedua pasukan ini agar segala bentuk penguatan (reinforcement) dapat dilakukan secara cepat. Di dalam kondisi tanpa perang, Wehrkreise dapat pula berfungsi sebagai markas dari satuan militer setingkat korps. (General Staff;1945, 11-12).
Konsep Wehrkreise diterapkan di Indonesia pada masa perang kemerdekaan ketika terjadi agresi militer Belanda pada tahun 1948. Sebelumnya, TNI menggunakan pertahanan konvensional yang mengandalkan perkuatan (reinforcement) yang bersifat bergerak/mobil. Namun, Markas Besar Angkatan Perang (MBAP) memutuskan untuk melakukan pemberlakuan Wehrkreise untuk menyiasati pertahanan konvensional yang tak dapat menandingi lawan yaitu sekutu dan Belanda (Kodam Diponegoro; 1968, 94-95).
Melalui Perintah Siasat No. 1, Panglima Sudirman secara eksplisit memerintahkan pembentukan wehrkreise-wehrkreise sebagai basis perlawanan gerilya. Selain itu, pasukan-pasukan yang telah dihijrahkan diperintahkan untuk kembali ke kedudukan asal dan membentuk wehrkreise di lokasi tersebut. Sebuah wehrkreise dapat memiliki beberapa sub-wehrkreise yang dapat menerjemahkan strategi di level yang lebih kecil. Selain itu, komunikasi antar wehrkreise atau sub-wehrkreise dilakukan dengan penugasan kurir-kurir (Kodam Siliwangi; 1969, 218).
Perintah Siasat 1 ini pula secara eksplisit menyiratkan bahwa kebijakan wehrkreise adalah pengganti dari pertahan liniair (linier) yang dianggap tak dapat bekerja secara efektif. Dengan kata lain, perintah siasat 1 ini mengakhiri pertahanan liniair yang sebelumnya diterapkan di palagan-palagan pertempuran di seluruh Indonesia. Uniknya, istilah wehrkreise tak digunakan di semua daerah. Banten, sebagai contoh, menjuluki wehrkreise dengan “Gerra” yang merupakan singkatan dari Gerilja Rakyat (Kodam Siliwangi; 1969, 354).
Pasca tahun 1948, Wehrkreise yang telah dijadikan pola wilayah pertahanan diterapkan di beberapa kantong perlawanan. Salah satu pelopor penerapan sistem ini adalah Divisi Siliwangi yang menaungi wilayah Jawa Barat. Wehrkreise yang diselenggarakan oleh Siliwangi memiliki penanggung jawab langsung Panglima Divisi (Komandan Siliwangi). Tugas panglima divisi secara umum adalah menjamin pelaksanaan pembinaan perang gerilya melalui wilayah-wilayah tersebut. Adapun pembagian Wehrkreise di Jawa Barat adalah sebagai berikut: Wehrkreise I menaungi wilayah Garut hingga Sukabumi. Wehrkreise I ini berdiri di bawah komando Mayor Jenderal A.H. Nasution. Kemudian, Wehrkreise II menaungi wilayah Gunung Galunggung hingga Jawa Barat bagian Utara di bawah komando Kolonel Hidayat. Setelah itu, Wehrkreise III beroperasi di wilayah Cikajang-Pamengpeuk hingga Kuningan (Kodam Siliwangi; 1969, 212-214).
Selain itu, Wehrkreise lain yang juga kerap dikenang adalah Wehrkreise III di bawah Divisi III Jawa Tengah. Wehrkreise III di Jawa Tengah menaungi wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan berada di bawah kepempimpinan Letkol Soeharto. Wehrkreise III dan Sub-Wehrkreise di bawahnya yang meliputi wilayah Kota Yogyakarta, Bantul, Sleman, Maguwo, dan Wonosari dikenal karena perannya sebagai pelaksana taktis dari Serangan Umum 1 Maret 1949. Seperti konsep utamanya, wehrkreise inilah yang berperan dalam mengkonsolidasikan kekuatan di Yogyakarta dan memberi jalan bagi pasukan lapangan. Salah satu bentuk konsolidasi yang dilakukan oleh wehrkreiseadalah mengidentifikasi mata-mata dari pihak sendiri (Kodam Diponegoro; 1968, 94-95).
Implementasi wehrkreise diakhiri pada tahun 1950. Namun, TNI tetap mempertahankan pola pembinaan teritorial untuk kepentingan pertahanan dengan nama T.T. yang merupakan singkatan dari Tentara Teritorium. Di kemudian hari, T.T. adalah salah satu embrio dari pembentukan Komando Daerah Militer dan organisasi di bawahnya (Korem, Kodim, dan Koramil) yang masih eksis hingga hari ini.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi. Siliwangi Dari Masa Ke Masa. Bandung: Angkasa, 1979.
Dinas Sejarah Militer TNI-AD. Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro. Semarang: Jajasan Penerbit Diponegoro, 1968.
US Army General Staff. The German Replacement Army (Ersatzheer). United States: The Department, 1945.