Rumah Pengasingan Bengkulu: Difference between revisions
m (Text replacement - "Soekarno" to "Sukarno") |
m (Text replacement - "Penulis: Suprayitno" to "{{Penulis|Suprayitno|Universitas Sumatera Utara|Dr. Restu Gunawan, M.Hum}}") |
||
(2 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
Rumah pengasingan Bengkulu adalah rumah yang pernah ditempati oleh Ir. Sukarno pada masa pengasingannya di era kolonial Belanda. Terletak di tengah kota Bengkulu, rumah pengasingan ini adalah miik seorang pedagang Tionghoa Lion Bwe Seng dan kemudian disewa untuk tempat tinggal seorang tokoh pergerakan yang tengah diasingkan (Okpariani, Irawan, dkk 2018: 12). Masa pengasingan Bung Karno di Bengkulu dari 1938 sampai 1942. Kedatangan Bung Karno ke Bengkulu merupakan kelanjutan masa pengasingannya di Ende, Flores. Keputusan memindahkan Bung Karno ke Bengkulu dibuat oleh Dewan Rakyat atas desakan M. Husni Thamrin yang peduli dengan keadaan Bung Karno karena dikabarkan menderita malaria selama di Ende. Tidak langsung menuju Bengkulu, Bung Karno dengan menaiki kapal terlebih dahulu menuju Pulau Jawa dan berkesempatan untuk bertemu dengan istri dan anaknya yang juga akan menyusul kemudian ke Bengkulu (Ilmiyanti 2018 : 80). | Rumah pengasingan Bengkulu adalah rumah yang pernah ditempati oleh Ir. [[Sukarno]] pada masa pengasingannya di era kolonial Belanda. Terletak di tengah kota Bengkulu, rumah pengasingan ini adalah miik seorang pedagang Tionghoa Lion Bwe Seng dan kemudian disewa untuk tempat tinggal seorang tokoh pergerakan yang tengah diasingkan (Okpariani, Irawan, dkk 2018: 12). Masa pengasingan [[Sukarno|Bung Karno]] di Bengkulu dari 1938 sampai 1942. Kedatangan [[Sukarno|Bung Karno]] ke Bengkulu merupakan kelanjutan masa pengasingannya di Ende, Flores. Keputusan memindahkan [[Sukarno|Bung Karno]] ke Bengkulu dibuat oleh Dewan Rakyat atas desakan [[Mohamad Husni Thamrin|M. Husni Thamrin]] yang peduli dengan keadaan [[Sukarno|Bung Karno]] karena dikabarkan menderita malaria selama di Ende. Tidak langsung menuju Bengkulu, [[Sukarno|Bung Karno]] dengan menaiki kapal terlebih dahulu menuju Pulau Jawa dan berkesempatan untuk bertemu dengan istri dan anaknya yang juga akan menyusul kemudian ke Bengkulu (Ilmiyanti 2018 : 80). | ||
Sebagai seseorang yang menerima hukuman pengasingan dan sebagai buangan politik, bung Karno harus mengurus sendiri semua keperluannya dan hanya mendapatkan tujangan bulanan sebesar 150 Gulden. Sebelum mendapatkan rumah untuk tinggal, Bung Karno terlebih dahulu mencari penginapan begitu sampai di Bengkulu. Penginapan itu bernama Hotel Centrum (Setyanto 2018: 131). Pada saat itu, Bung Karno menemukan sebuah rumah yang terletak di kampung bernama Anggut Atas. Rumah tersebut dalam keadaan kosong tidak berpenghuni, dengan halaman yang cukup luas berbentuk limas dan bangunan persegi panjang (Setyanto 2018 : 133). | Sebagai seseorang yang menerima hukuman pengasingan dan sebagai buangan politik, [[Sukarno|bung Karno]] harus mengurus sendiri semua keperluannya dan hanya mendapatkan tujangan bulanan sebesar 150 Gulden. Sebelum mendapatkan rumah untuk tinggal, [[Sukarno|Bung Karno]] terlebih dahulu mencari penginapan begitu sampai di Bengkulu. Penginapan itu bernama Hotel Centrum (Setyanto 2018: 131). Pada saat itu, [[Sukarno|Bung Karno]] menemukan sebuah rumah yang terletak di kampung bernama Anggut Atas. Rumah tersebut dalam keadaan kosong tidak berpenghuni, dengan halaman yang cukup luas berbentuk limas dan bangunan persegi panjang (Setyanto 2018 : 133). | ||
Selama masa pengasingan di Bengkulu Bung Karno dekat dengan orang-orang Muhammadiyah. Karena reputasinya di Jawa, ia menarik perhatian ketua Mumahamadiyah setempat yang menawarinya untuk menjadi guru di sekolah rendah Muhamadiyah (Ilmiyanti 2018 : 81). Bung Karno juga sering mengundang orang-orang untuk datang ke rumah pengasingannya, seperti mengundang guru-guru Taman Siswa. Dalam berbagai kesempatan juga Bung Karno ikut terlibat dalam kegiatan Muhammadiyah di Bengkulu dan aktif di tengah masyarakat (Setyanto 2018 : 134-137). Pada masa pengasingannya di Bengkulu inilah Bung Karno bertemu dengan Fatmawati yang menjadi istri ke-3 Bung Karno dan Menjadi Ibu Negara Pertama Indonesia (Setiadi 2017: 97). | Selama masa pengasingan di Bengkulu [[Sukarno|Bung Karno]] dekat dengan orang-orang Muhammadiyah. Karena reputasinya di Jawa, ia menarik perhatian ketua Mumahamadiyah setempat yang menawarinya untuk menjadi guru di sekolah rendah Muhamadiyah (Ilmiyanti 2018 : 81). [[Sukarno|Bung Karno]] juga sering mengundang orang-orang untuk datang ke rumah pengasingannya, seperti mengundang guru-guru Taman Siswa. Dalam berbagai kesempatan juga [[Sukarno|Bung Karno]] ikut terlibat dalam kegiatan [[Muhammadiyah]] di Bengkulu dan aktif di tengah masyarakat (Setyanto 2018 : 134-137). Pada masa pengasingannya di Bengkulu inilah [[Sukarno|Bung Karno]] bertemu dengan [[Fatmawati]] yang menjadi istri ke-3 [[Sukarno|Bung Karno]] dan Menjadi Ibu Negara Pertama Indonesia (Setiadi 2017: 97). | ||
Penulis | {{Penulis|Suprayitno|Universitas Sumatera Utara|Dr. Restu Gunawan, M.Hum}} | ||
Line 15: | Line 15: | ||
Irawan, Bambang., Okpariani Ayu Chut., dkk (2018) Gendnerang Bumi Rafflesia. Jakarta: Inpirasi.co | Irawan, Bambang., Okpariani Ayu Chut., dkk (2018) Gendnerang Bumi Rafflesia. Jakarta: Inpirasi.co | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tempat]] | [[Category:Tempat]] |
Latest revision as of 12:43, 11 August 2023
Rumah pengasingan Bengkulu adalah rumah yang pernah ditempati oleh Ir. Sukarno pada masa pengasingannya di era kolonial Belanda. Terletak di tengah kota Bengkulu, rumah pengasingan ini adalah miik seorang pedagang Tionghoa Lion Bwe Seng dan kemudian disewa untuk tempat tinggal seorang tokoh pergerakan yang tengah diasingkan (Okpariani, Irawan, dkk 2018: 12). Masa pengasingan Bung Karno di Bengkulu dari 1938 sampai 1942. Kedatangan Bung Karno ke Bengkulu merupakan kelanjutan masa pengasingannya di Ende, Flores. Keputusan memindahkan Bung Karno ke Bengkulu dibuat oleh Dewan Rakyat atas desakan M. Husni Thamrin yang peduli dengan keadaan Bung Karno karena dikabarkan menderita malaria selama di Ende. Tidak langsung menuju Bengkulu, Bung Karno dengan menaiki kapal terlebih dahulu menuju Pulau Jawa dan berkesempatan untuk bertemu dengan istri dan anaknya yang juga akan menyusul kemudian ke Bengkulu (Ilmiyanti 2018 : 80).
Sebagai seseorang yang menerima hukuman pengasingan dan sebagai buangan politik, bung Karno harus mengurus sendiri semua keperluannya dan hanya mendapatkan tujangan bulanan sebesar 150 Gulden. Sebelum mendapatkan rumah untuk tinggal, Bung Karno terlebih dahulu mencari penginapan begitu sampai di Bengkulu. Penginapan itu bernama Hotel Centrum (Setyanto 2018: 131). Pada saat itu, Bung Karno menemukan sebuah rumah yang terletak di kampung bernama Anggut Atas. Rumah tersebut dalam keadaan kosong tidak berpenghuni, dengan halaman yang cukup luas berbentuk limas dan bangunan persegi panjang (Setyanto 2018 : 133).
Selama masa pengasingan di Bengkulu Bung Karno dekat dengan orang-orang Muhammadiyah. Karena reputasinya di Jawa, ia menarik perhatian ketua Mumahamadiyah setempat yang menawarinya untuk menjadi guru di sekolah rendah Muhamadiyah (Ilmiyanti 2018 : 81). Bung Karno juga sering mengundang orang-orang untuk datang ke rumah pengasingannya, seperti mengundang guru-guru Taman Siswa. Dalam berbagai kesempatan juga Bung Karno ikut terlibat dalam kegiatan Muhammadiyah di Bengkulu dan aktif di tengah masyarakat (Setyanto 2018 : 134-137). Pada masa pengasingannya di Bengkulu inilah Bung Karno bertemu dengan Fatmawati yang menjadi istri ke-3 Bung Karno dan Menjadi Ibu Negara Pertama Indonesia (Setiadi 2017: 97).
Penulis: Suprayitno
Instansi: Universitas Sumatera Utara
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Setyanto, Agus (2018) Jejak Sjarah Bung Karno Di Bengkulu. Jurnal Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam.
Ilmiyanti (2018) Sukarno is Great Lover Kisah Cinta Sang Putra Fajar. Jakarta: Anak Hebat Indonesia
Irawan, Bambang., Okpariani Ayu Chut., dkk (2018) Gendnerang Bumi Rafflesia. Jakarta: Inpirasi.co