Sutoyo Siswomiharjo: Difference between revisions
(Created page with "center|frame|Sumber: profil.promofirstmedia.id Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922. Sutoyo pernah mengenyam Pendidikan di ''Hollandsch-Inlandsche School'' (HIS) di Semarang dan menamatkan Pendidikan di ''Algemene Middelbare School'' (AMS) Semarang tahun 1942, bertepatan dengan kedatangan pasukan Jepang di Indonesia (Said dan Wulandari, 1995: 87; Wiharyo, 2020). Pada masa pendudukan Jepang...") |
No edit summary |
||
(3 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Sutoyo Siswomiharjo. | [[File:Sutoyo Siswomiharjo - 30th RI Indonesia Merdeka-532a.jpg|center|thumb|Sutoyo Siswomiharjo. Sumber: [https://pustaka.kebudayaan.kemdikbud.go.id/index.php?p=show_detail&id=9991&keywords= Repro dari buku ''30th RI Indonesia Merdeka''-532a]]] | ||
Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922. Sutoyo pernah mengenyam Pendidikan di ''Hollandsch-Inlandsche School'' (HIS) di Semarang dan menamatkan Pendidikan di ''Algemene Middelbare School'' (AMS) Semarang tahun 1942, bertepatan dengan kedatangan pasukan Jepang di Indonesia (Said dan Wulandari, 1995: 87; Wiharyo, 2020). | |||
Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922. Sutoyo pernah mengenyam Pendidikan di [[Hollandsch Inlandsche School (HIS)|''Hollandsch-Inlandsche School'' (HIS)]] di Semarang dan menamatkan Pendidikan di ''Algemene Middelbare School'' (AMS) Semarang tahun 1942, bertepatan dengan kedatangan pasukan Jepang di Indonesia (Said dan Wulandari, 1995: 87; Wiharyo, 2020). | |||
Pada masa pendudukan Jepang, Sutoyo bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintahan kabupaten Purworejo sebagai pembantu urusan kesekretariatan. Lima bulan kemudian, Sutoyo mengepalai urusan kesekretariatan dan kemudian dipindahkan menjadi Panitera Bupati. Kemahiran Sutoyo dalam bidang administrasi dan kesekretariatan membuat Jepang memberi kesempatan kepada Sutoyo mengikuti program pendidikan di ''Kenkoku Gakuin'' atau Balai Pendidikan Tinggi di Jakarta. Setelah menamatkan pendidikannya ini, Sutoyo diangkat menjadi pegawai menengah dan kembali bertugas di Kabupaten Purworejo. Dengan ketekunan dan kedisiplinan dalam bekerja, Sutoyo dipercaya memegang jabatan ''Santo Syoki''. Jabatan ini menjadi jabatannya yang terakhir, karena Sutoyo mengundurkan diri dengan hormat pada 31 Maret 1944 (Piring, 2021). | Pada masa pendudukan Jepang, Sutoyo bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintahan kabupaten Purworejo sebagai pembantu urusan kesekretariatan. Lima bulan kemudian, Sutoyo mengepalai urusan kesekretariatan dan kemudian dipindahkan menjadi Panitera Bupati. Kemahiran Sutoyo dalam bidang administrasi dan kesekretariatan membuat Jepang memberi kesempatan kepada Sutoyo mengikuti program pendidikan di ''Kenkoku Gakuin'' atau Balai Pendidikan Tinggi di Jakarta. Setelah menamatkan pendidikannya ini, Sutoyo diangkat menjadi pegawai menengah dan kembali bertugas di Kabupaten Purworejo. Dengan ketekunan dan kedisiplinan dalam bekerja, Sutoyo dipercaya memegang jabatan ''Santo Syoki''. Jabatan ini menjadi jabatannya yang terakhir, karena Sutoyo mengundurkan diri dengan hormat pada 31 Maret 1944 (Piring, 2021). | ||
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sutoyo tertarik dalam dunia keprajuritan dengan masuk menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Purworejo. Pada saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Sutoyo ikut menjadi bagian dari TKR dan memilih sebagai Polisi Tentara dengan pangkat Letnan Dua (Piring, 8 September 2021). Pada bulan Januari 1946, pangkatnya dinaikan menjadi Letnan Satu dan ditunjuk sebagai ajudan Komandan Divisi V yaitu Kolonel Gatot Subroto (Fathurrohman, 2014). | Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sutoyo tertarik dalam dunia keprajuritan dengan masuk menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Purworejo. Pada saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Sutoyo ikut menjadi bagian dari TKR dan memilih sebagai Polisi Tentara dengan pangkat Letnan Dua (Piring, 8 September 2021). Pada bulan Januari 1946, pangkatnya dinaikan menjadi Letnan Satu dan ditunjuk sebagai ajudan Komandan Divisi V yaitu Kolonel [[Gatot Subroto]] (Fathurrohman, 2014). | ||
Selama menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto, Sutoyo banyak belajar dan meneladani sikap komandannya yang suka membela kaum lemah dan toleran terhadap anak buah. Nani Surachman yang merupakan putri dari Sutoyo mengatakan, | Selama menjadi ajudan Kolonel [[Gatot Subroto]], Sutoyo banyak belajar dan meneladani sikap komandannya yang suka membela kaum lemah dan toleran terhadap anak buah. Nani Surachman yang merupakan putri dari Sutoyo mengatakan, | ||
::”Ayah sangat percaya bahwa tidak ada satu pun prajurit yang jelek”. Nani melanjutkan, “Ayah diingat anak buahnya sebagai pemimpin yang tidak alpa berada di tengah mereka. Ia senantiasa memberikan instruksi dengan kebijaksanaan dan rasa toleransi yang tinggi. Ia memberi contoh dengan selalu hidup sederhana, namun selalu memerhatikan kesejahteraan anak buah. Ia paling tahu, sampai dimana batas kemampuan mereka, sehingga segala tugas yang dibebankan dapat terlaksana dengan baik dan sampai pada tujuannya” (Surrachman, 2013: 45) | ::”Ayah sangat percaya bahwa tidak ada satu pun prajurit yang jelek”. Nani melanjutkan, “Ayah diingat anak buahnya sebagai pemimpin yang tidak alpa berada di tengah mereka. Ia senantiasa memberikan instruksi dengan kebijaksanaan dan rasa toleransi yang tinggi. Ia memberi contoh dengan selalu hidup sederhana, namun selalu memerhatikan kesejahteraan anak buah. Ia paling tahu, sampai dimana batas kemampuan mereka, sehingga segala tugas yang dibebankan dapat terlaksana dengan baik dan sampai pada tujuannya” (Surrachman, 2013: 45) | ||
Pada tahun 1947, Sutoyo yang sudah berpangkat kapten ditugaskan memegang jabatan sebagai Kepala Bagian Organisasi Polisi Tentara Resimen 2 Purworejo hingga bulan Mei 1948. Selanjutnya, Sutoyo dipercaya memegang amanat sebagai Kepala Staf ''Corps'' Polisi Militer di Yogyakarta yang hanya dijabatnya selama satu bulan. Sutoyo kemudian memangku jabatan sebagai Komandan CPM Datasemen 3 di Surakarta (Piring, 2021; Wiharyo, 2020). Menjelang Pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, kondisi politik dan keamanan di Surakarta sangat kacau, sehingga sering disebut sebagai daerah ''wild west''. Penculikan dan pembunuhan antara kelompok-kelompok politik terutama yang berhaluan kiri merebak di Surakarta, seperti pembunuhan Kolonel Sutarto, peristiwa Srambatan dan Tasikmadu, penculikan Dr. Muwardi, serta konflik antara Pesindo dengan Barisan Banteng (Ibrahim, 2014: 64). Sutoyo ikut berperan dalam mengamankan kota Surakarta dan terlibat pula dalam menumpas pemberontakan Komunis di Madiun (Wiharyo, 2020). | Pada tahun 1947, Sutoyo yang sudah berpangkat kapten ditugaskan memegang jabatan sebagai Kepala Bagian Organisasi Polisi Tentara Resimen 2 Purworejo hingga bulan Mei 1948. Selanjutnya, Sutoyo dipercaya memegang amanat sebagai Kepala Staf ''Corps'' Polisi Militer di Yogyakarta yang hanya dijabatnya selama satu bulan. Sutoyo kemudian memangku jabatan sebagai Komandan CPM Datasemen 3 di Surakarta (Piring, 2021; Wiharyo, 2020). Menjelang Pemberontakan [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]] di Madiun 18 September 1948, kondisi politik dan keamanan di Surakarta sangat kacau, sehingga sering disebut sebagai daerah ''wild west''. Penculikan dan pembunuhan antara kelompok-kelompok politik terutama yang berhaluan kiri merebak di Surakarta, seperti pembunuhan Kolonel Sutarto, peristiwa Srambatan dan Tasikmadu, penculikan Dr. Muwardi, serta konflik antara Pesindo dengan Barisan Banteng (Ibrahim, 2014: 64). Sutoyo ikut berperan dalam mengamankan kota Surakarta dan terlibat pula dalam menumpas pemberontakan Komunis di Madiun (Wiharyo, 2020). | ||
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Sutoyo meninggalkan kota Surakarta untuk melakukan perjuangan gerilya. Pada tanggal 1 Maret 1949 terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang membuat Amerika Serikat dan Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda agar melakukan perundingan dengan Indonesia. Pada tanggal 7 Mei 1949, diselenggarakan perundingan Roem Royen yang salah satu keputusannya adalah mengembalikan ibu kota Yogyakarta dan membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditawan di Sumatra (Margana dkk., 2018). Setelah Yogyakarta dikembalikan kepada Republik pada 29 Juni 1949, secara resmi perjuangan gerilya berakhir. Setelah peristiwa “Yogya Kembali”, Sutoyo ditugaskan menjadi Kepala Staf Batalyon CPM di Yogyakarta (Piring, 2021). | Pada saat terjadi agresi militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Sutoyo meninggalkan kota Surakarta untuk melakukan perjuangan gerilya. Pada tanggal 1 Maret 1949 terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang membuat Amerika Serikat dan Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda agar melakukan perundingan dengan Indonesia. Pada tanggal 7 Mei 1949, diselenggarakan perundingan Roem Royen yang salah satu keputusannya adalah mengembalikan ibu kota Yogyakarta dan membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditawan di Sumatra (Margana dkk., 2018). Setelah Yogyakarta dikembalikan kepada Republik pada 29 Juni 1949, secara resmi perjuangan gerilya berakhir. Setelah peristiwa “Yogya Kembali”, Sutoyo ditugaskan menjadi Kepala Staf Batalyon CPM di Yogyakarta (Piring, 2021). | ||
Line 16: | Line 17: | ||
Setelah revolusi kemerdekaan berakhir dengan penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949, karier Sutoyo Siswomiharjo semakin menanjak. Pada tanggal 17 Agustus 1950, saat ibu kota sudah pindah ke Jakarta, Sutoyo menjabat sebagai komandan Batalyon 1 CPM dengan pangkat Mayor. Pada tahun 1955, Sutoyo diberi tugas di Staf Umum Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel. Setahun kemudian Sutoyo harus meninggalkan Indonesia untuk mengemban tugas sebagai atase militer di Kedutaan Indonesia di London, Inggris. Setelah tiga tahun menjabat sebagai atase militer, pada tahun 1959 Sutoyo kembali ke tanah air dan segera mengikuti pendidikan kursus C di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung yang diselesaikannya dalam 1 tahun. Pada tahun 1961, Sutoyo yang sudah berpangkat kolonel diserahi jabatan sebagai sebagai inspektur kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD) dan menjabat pula sebagai Direktur Akademi Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer (DAM/PTHM) (Piring, 2021). | Setelah revolusi kemerdekaan berakhir dengan penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949, karier Sutoyo Siswomiharjo semakin menanjak. Pada tanggal 17 Agustus 1950, saat ibu kota sudah pindah ke Jakarta, Sutoyo menjabat sebagai komandan Batalyon 1 CPM dengan pangkat Mayor. Pada tahun 1955, Sutoyo diberi tugas di Staf Umum Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel. Setahun kemudian Sutoyo harus meninggalkan Indonesia untuk mengemban tugas sebagai atase militer di Kedutaan Indonesia di London, Inggris. Setelah tiga tahun menjabat sebagai atase militer, pada tahun 1959 Sutoyo kembali ke tanah air dan segera mengikuti pendidikan kursus C di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung yang diselesaikannya dalam 1 tahun. Pada tahun 1961, Sutoyo yang sudah berpangkat kolonel diserahi jabatan sebagai sebagai inspektur kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD) dan menjabat pula sebagai Direktur Akademi Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer (DAM/PTHM) (Piring, 2021). | ||
Pada tahun 1963, A.H. Nasution yang menjabat Menko Hankam/Kasab meminta Sutoyo agar membantunya menjalankan Operasi Budhi. Operasi ini berupaya memberantas korupsi di tubuh militer, perusahaan-perusahaan negara dan lembaga-lembaga negara. Operasi ini berupaya untuk memastikan kasus-kasus korupsi dapat diteruskan di meja pengadilan. Walaupun berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 11 miliar, suatu angka yang besar pada saat itu. Tetapi operasi ini dibubarkan karena dianggap mengganggu ''prestise'' Presiden Sukarno (Wiharyo, 2020). Menurut Sundhaussen (1986) operasi Budhi semula merupakan upaya Alex Kawilarang dalam mendisiplinkan Divisi Siliwangi yang beberapa anggotanya dicurigai melakukan korupsi. Pada akhirnya, operasi Budhi digunakan oleh Nasution dan Kawilarang untuk menangkis dan membendung serangan-serangan PKI. | Pada tahun 1963, A.H. Nasution yang menjabat Menko Hankam/Kasab meminta Sutoyo agar membantunya menjalankan Operasi Budhi. Operasi ini berupaya memberantas korupsi di tubuh militer, perusahaan-perusahaan negara dan lembaga-lembaga negara. Operasi ini berupaya untuk memastikan kasus-kasus korupsi dapat diteruskan di meja pengadilan. Walaupun berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 11 miliar, suatu angka yang besar pada saat itu. Tetapi operasi ini dibubarkan karena dianggap mengganggu ''prestise'' Presiden Sukarno (Wiharyo, 2020). Menurut Sundhaussen (1986) operasi Budhi semula merupakan upaya Alex Kawilarang dalam mendisiplinkan Divisi Siliwangi yang beberapa anggotanya dicurigai melakukan korupsi. Pada akhirnya, operasi Budhi digunakan oleh Nasution dan Kawilarang untuk menangkis dan membendung serangan-serangan [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]]. | ||
Dalam menjalankan operasi Budhi, Sutoyo sering melakukan rapat-rapat di rumahnya. Nani Surachman yang mengingat rapat-rapat itu mengatakan, | Dalam menjalankan operasi Budhi, Sutoyo sering melakukan rapat-rapat di rumahnya. Nani Surachman yang mengingat rapat-rapat itu mengatakan, | ||
Line 22: | Line 23: | ||
::“Sejauh pengamatannya pertemuan demi pertemuan sering terjadi di rumahnya, tetapi itu terjadi di sekitar tahun 1963 bukan di sekitar tahun 1965. Seingatnya peserta-pesertanya adalah bapaknya sendiri dan sejumlah perwira dan staf dan pembicaraannya pun hanya berkisar Operasi Budhi, bukan tingkat Dewan Jenderal” (Wiharyo, 2020). | ::“Sejauh pengamatannya pertemuan demi pertemuan sering terjadi di rumahnya, tetapi itu terjadi di sekitar tahun 1963 bukan di sekitar tahun 1965. Seingatnya peserta-pesertanya adalah bapaknya sendiri dan sejumlah perwira dan staf dan pembicaraannya pun hanya berkisar Operasi Budhi, bukan tingkat Dewan Jenderal” (Wiharyo, 2020). | ||
Dengan keberhasilan operasi Budhi, pangkat Sutoyo dinaikan menjadi Brigadir Jenderal pada tahun 1964. Sutoyo yang aktif dalam Operasi Budhi menimbulkan tuduhan terlibat dalam “Dewan Jenderal” yang tidak pernah bisa dibuktikan oleh PKI. Ketegangan PKI dengan para perwira tinggi Angkatan Darat semakin besar ketika para perwira AD termasuk Sutoyo menolak dengan tegas pembentukan angkatan ke V yang mempersenjatai buruh dan tani (Said dan Wulandari, 1995: 87). | Dengan keberhasilan operasi Budhi, pangkat Sutoyo dinaikan menjadi Brigadir Jenderal pada tahun 1964. Sutoyo yang aktif dalam Operasi Budhi menimbulkan tuduhan terlibat dalam “Dewan Jenderal” yang tidak pernah bisa dibuktikan oleh [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]]. Ketegangan [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]] dengan para perwira tinggi Angkatan Darat semakin besar ketika para perwira AD termasuk Sutoyo menolak dengan tegas pembentukan angkatan ke V yang mempersenjatai buruh dan tani (Said dan Wulandari, 1995: 87). | ||
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, satu peleton resimen Cakrabirawa yang dipimpin Serma Surono berkumpul di Lubang Buaya untuk menculik Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Sekretariat Negara RI, 1994: 94). Pasukan ini berangkat pukul 03.15 WIB dengan mengendarai satu truk Toyota No. 645 yang dikemudikan oleh Kopda Ganti (Masykuri, 1983: 62). Pada pukul 04.00 WIB rombongan penculik sampai di rumah Brigjen Sutoyo di Jalan Sumenep No. 17 dan masuk rumah melalui garasi sebelah kanan. Dengan todongan senjata, mereka meminta kepada pembantu rumah tangga untuk menyerahkan kunci pintu dan kemudian menuju kamar tengah. Setelah membuka pintu, para penculik menerobos masuk dan mengatakan kepada Brigjen Sutoyo bahwa beliau dipanggil presiden dan diminta menghadap ke Istana. Selanjutnya para penculik membawa Brigjen Sutoyo dengan paksa menuju ke Lubang Buaya (Sekretariat Negara RI, 1994: 101). | Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, satu peleton resimen Cakrabirawa yang dipimpin Serma Surono berkumpul di Lubang Buaya untuk menculik Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Sekretariat Negara RI, 1994: 94). Pasukan ini berangkat pukul 03.15 WIB dengan mengendarai satu truk Toyota No. 645 yang dikemudikan oleh Kopda Ganti (Masykuri, 1983: 62). Pada pukul 04.00 WIB rombongan penculik sampai di rumah Brigjen Sutoyo di Jalan Sumenep No. 17 dan masuk rumah melalui garasi sebelah kanan. Dengan todongan senjata, mereka meminta kepada pembantu rumah tangga untuk menyerahkan kunci pintu dan kemudian menuju kamar tengah. Setelah membuka pintu, para penculik menerobos masuk dan mengatakan kepada Brigjen Sutoyo bahwa beliau dipanggil presiden dan diminta menghadap ke Istana. Selanjutnya para penculik membawa Brigjen Sutoyo dengan paksa menuju ke Lubang Buaya (Sekretariat Negara RI, 1994: 101). | ||
Line 28: | Line 29: | ||
Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua tempat dibuangnya mayat Brigjen Sutoyo beserta para perwira tinggi Angkatan Darat lainnya ditemukan. Berdasarkan hasil visum nomor H.108, dalam tubuh Brigjen Sutoyo ditemukan dua luka tembak di tungkai, satu luka tembak di kepala, dan satu luka tembak di betis. Ditemukan pula kekerasan dengan benda tumpul di tengkorak kepala dan tangan kanan (Piring, 2021). Pada tanggal 5 Oktober 1965 dikeluarkan Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 110/KOTI/1965 yang menetapkan Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo atas jasa-jasanya diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo, beserta enam perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya, gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri, 1983: 92-93). | Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua tempat dibuangnya mayat Brigjen Sutoyo beserta para perwira tinggi Angkatan Darat lainnya ditemukan. Berdasarkan hasil visum nomor H.108, dalam tubuh Brigjen Sutoyo ditemukan dua luka tembak di tungkai, satu luka tembak di kepala, dan satu luka tembak di betis. Ditemukan pula kekerasan dengan benda tumpul di tengkorak kepala dan tangan kanan (Piring, 2021). Pada tanggal 5 Oktober 1965 dikeluarkan Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 110/KOTI/1965 yang menetapkan Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo atas jasa-jasanya diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo, beserta enam perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya, gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri, 1983: 92-93). | ||
Penulis | {{Penulis|Julianto Ibrahim|Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}} | ||
Line 48: | Line 49: | ||
Wiharyo, Tjatur (2020), “Mayjen Sutoyo Siswomiharjo: Murid Gatot Subroto yang Toleran kepada Anak Buah”, <nowiki>https://historia.id/militer/articles/mayjen-sutoyo-siswomiharjo-murid-gatot-soebroto-yang-toleran-terhadap-anak-buah-Pdbj8</nowiki>, diunduh 28 Oktober 2021 | Wiharyo, Tjatur (2020), “Mayjen Sutoyo Siswomiharjo: Murid Gatot Subroto yang Toleran kepada Anak Buah”, <nowiki>https://historia.id/militer/articles/mayjen-sutoyo-siswomiharjo-murid-gatot-soebroto-yang-toleran-terhadap-anak-buah-Pdbj8</nowiki>, diunduh 28 Oktober 2021 | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Latest revision as of 03:08, 17 September 2024
Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922. Sutoyo pernah mengenyam Pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Semarang dan menamatkan Pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) Semarang tahun 1942, bertepatan dengan kedatangan pasukan Jepang di Indonesia (Said dan Wulandari, 1995: 87; Wiharyo, 2020).
Pada masa pendudukan Jepang, Sutoyo bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintahan kabupaten Purworejo sebagai pembantu urusan kesekretariatan. Lima bulan kemudian, Sutoyo mengepalai urusan kesekretariatan dan kemudian dipindahkan menjadi Panitera Bupati. Kemahiran Sutoyo dalam bidang administrasi dan kesekretariatan membuat Jepang memberi kesempatan kepada Sutoyo mengikuti program pendidikan di Kenkoku Gakuin atau Balai Pendidikan Tinggi di Jakarta. Setelah menamatkan pendidikannya ini, Sutoyo diangkat menjadi pegawai menengah dan kembali bertugas di Kabupaten Purworejo. Dengan ketekunan dan kedisiplinan dalam bekerja, Sutoyo dipercaya memegang jabatan Santo Syoki. Jabatan ini menjadi jabatannya yang terakhir, karena Sutoyo mengundurkan diri dengan hormat pada 31 Maret 1944 (Piring, 2021).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sutoyo tertarik dalam dunia keprajuritan dengan masuk menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Purworejo. Pada saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Sutoyo ikut menjadi bagian dari TKR dan memilih sebagai Polisi Tentara dengan pangkat Letnan Dua (Piring, 8 September 2021). Pada bulan Januari 1946, pangkatnya dinaikan menjadi Letnan Satu dan ditunjuk sebagai ajudan Komandan Divisi V yaitu Kolonel Gatot Subroto (Fathurrohman, 2014).
Selama menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto, Sutoyo banyak belajar dan meneladani sikap komandannya yang suka membela kaum lemah dan toleran terhadap anak buah. Nani Surachman yang merupakan putri dari Sutoyo mengatakan,
- ”Ayah sangat percaya bahwa tidak ada satu pun prajurit yang jelek”. Nani melanjutkan, “Ayah diingat anak buahnya sebagai pemimpin yang tidak alpa berada di tengah mereka. Ia senantiasa memberikan instruksi dengan kebijaksanaan dan rasa toleransi yang tinggi. Ia memberi contoh dengan selalu hidup sederhana, namun selalu memerhatikan kesejahteraan anak buah. Ia paling tahu, sampai dimana batas kemampuan mereka, sehingga segala tugas yang dibebankan dapat terlaksana dengan baik dan sampai pada tujuannya” (Surrachman, 2013: 45)
Pada tahun 1947, Sutoyo yang sudah berpangkat kapten ditugaskan memegang jabatan sebagai Kepala Bagian Organisasi Polisi Tentara Resimen 2 Purworejo hingga bulan Mei 1948. Selanjutnya, Sutoyo dipercaya memegang amanat sebagai Kepala Staf Corps Polisi Militer di Yogyakarta yang hanya dijabatnya selama satu bulan. Sutoyo kemudian memangku jabatan sebagai Komandan CPM Datasemen 3 di Surakarta (Piring, 2021; Wiharyo, 2020). Menjelang Pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, kondisi politik dan keamanan di Surakarta sangat kacau, sehingga sering disebut sebagai daerah wild west. Penculikan dan pembunuhan antara kelompok-kelompok politik terutama yang berhaluan kiri merebak di Surakarta, seperti pembunuhan Kolonel Sutarto, peristiwa Srambatan dan Tasikmadu, penculikan Dr. Muwardi, serta konflik antara Pesindo dengan Barisan Banteng (Ibrahim, 2014: 64). Sutoyo ikut berperan dalam mengamankan kota Surakarta dan terlibat pula dalam menumpas pemberontakan Komunis di Madiun (Wiharyo, 2020).
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Sutoyo meninggalkan kota Surakarta untuk melakukan perjuangan gerilya. Pada tanggal 1 Maret 1949 terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang membuat Amerika Serikat dan Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda agar melakukan perundingan dengan Indonesia. Pada tanggal 7 Mei 1949, diselenggarakan perundingan Roem Royen yang salah satu keputusannya adalah mengembalikan ibu kota Yogyakarta dan membebaskan para pemimpin Indonesia yang ditawan di Sumatra (Margana dkk., 2018). Setelah Yogyakarta dikembalikan kepada Republik pada 29 Juni 1949, secara resmi perjuangan gerilya berakhir. Setelah peristiwa “Yogya Kembali”, Sutoyo ditugaskan menjadi Kepala Staf Batalyon CPM di Yogyakarta (Piring, 2021).
Setelah revolusi kemerdekaan berakhir dengan penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949, karier Sutoyo Siswomiharjo semakin menanjak. Pada tanggal 17 Agustus 1950, saat ibu kota sudah pindah ke Jakarta, Sutoyo menjabat sebagai komandan Batalyon 1 CPM dengan pangkat Mayor. Pada tahun 1955, Sutoyo diberi tugas di Staf Umum Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel. Setahun kemudian Sutoyo harus meninggalkan Indonesia untuk mengemban tugas sebagai atase militer di Kedutaan Indonesia di London, Inggris. Setelah tiga tahun menjabat sebagai atase militer, pada tahun 1959 Sutoyo kembali ke tanah air dan segera mengikuti pendidikan kursus C di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung yang diselesaikannya dalam 1 tahun. Pada tahun 1961, Sutoyo yang sudah berpangkat kolonel diserahi jabatan sebagai sebagai inspektur kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD) dan menjabat pula sebagai Direktur Akademi Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer (DAM/PTHM) (Piring, 2021).
Pada tahun 1963, A.H. Nasution yang menjabat Menko Hankam/Kasab meminta Sutoyo agar membantunya menjalankan Operasi Budhi. Operasi ini berupaya memberantas korupsi di tubuh militer, perusahaan-perusahaan negara dan lembaga-lembaga negara. Operasi ini berupaya untuk memastikan kasus-kasus korupsi dapat diteruskan di meja pengadilan. Walaupun berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 11 miliar, suatu angka yang besar pada saat itu. Tetapi operasi ini dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise Presiden Sukarno (Wiharyo, 2020). Menurut Sundhaussen (1986) operasi Budhi semula merupakan upaya Alex Kawilarang dalam mendisiplinkan Divisi Siliwangi yang beberapa anggotanya dicurigai melakukan korupsi. Pada akhirnya, operasi Budhi digunakan oleh Nasution dan Kawilarang untuk menangkis dan membendung serangan-serangan PKI.
Dalam menjalankan operasi Budhi, Sutoyo sering melakukan rapat-rapat di rumahnya. Nani Surachman yang mengingat rapat-rapat itu mengatakan,
- “Sejauh pengamatannya pertemuan demi pertemuan sering terjadi di rumahnya, tetapi itu terjadi di sekitar tahun 1963 bukan di sekitar tahun 1965. Seingatnya peserta-pesertanya adalah bapaknya sendiri dan sejumlah perwira dan staf dan pembicaraannya pun hanya berkisar Operasi Budhi, bukan tingkat Dewan Jenderal” (Wiharyo, 2020).
Dengan keberhasilan operasi Budhi, pangkat Sutoyo dinaikan menjadi Brigadir Jenderal pada tahun 1964. Sutoyo yang aktif dalam Operasi Budhi menimbulkan tuduhan terlibat dalam “Dewan Jenderal” yang tidak pernah bisa dibuktikan oleh PKI. Ketegangan PKI dengan para perwira tinggi Angkatan Darat semakin besar ketika para perwira AD termasuk Sutoyo menolak dengan tegas pembentukan angkatan ke V yang mempersenjatai buruh dan tani (Said dan Wulandari, 1995: 87).
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, satu peleton resimen Cakrabirawa yang dipimpin Serma Surono berkumpul di Lubang Buaya untuk menculik Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Sekretariat Negara RI, 1994: 94). Pasukan ini berangkat pukul 03.15 WIB dengan mengendarai satu truk Toyota No. 645 yang dikemudikan oleh Kopda Ganti (Masykuri, 1983: 62). Pada pukul 04.00 WIB rombongan penculik sampai di rumah Brigjen Sutoyo di Jalan Sumenep No. 17 dan masuk rumah melalui garasi sebelah kanan. Dengan todongan senjata, mereka meminta kepada pembantu rumah tangga untuk menyerahkan kunci pintu dan kemudian menuju kamar tengah. Setelah membuka pintu, para penculik menerobos masuk dan mengatakan kepada Brigjen Sutoyo bahwa beliau dipanggil presiden dan diminta menghadap ke Istana. Selanjutnya para penculik membawa Brigjen Sutoyo dengan paksa menuju ke Lubang Buaya (Sekretariat Negara RI, 1994: 101).
Pada tanggal 3 Oktober 1965, sumur tua tempat dibuangnya mayat Brigjen Sutoyo beserta para perwira tinggi Angkatan Darat lainnya ditemukan. Berdasarkan hasil visum nomor H.108, dalam tubuh Brigjen Sutoyo ditemukan dua luka tembak di tungkai, satu luka tembak di kepala, dan satu luka tembak di betis. Ditemukan pula kekerasan dengan benda tumpul di tengkorak kepala dan tangan kanan (Piring, 2021). Pada tanggal 5 Oktober 1965 dikeluarkan Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 110/KOTI/1965 yang menetapkan Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo atas jasa-jasanya diberikan kenaikan pangkat Anumerta. Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No. 111/KOTI/1965 menganugerahkan Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo, beserta enam perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya, gelar Pahlawan Revolusi (Masykuri, 1983: 92-93).
Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Faturrohman, Muhammad Nurdin (2014), “Biografi Sutoyo Sisomiharjo-Pahlawan Revolusi”,
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/01/Biografi-Sutoyo-Siswomiharjo-Pahlawan-Revolusi.html, diunduh 28 Oktober 2021
Masykuri (1984), Pierre Tendean, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Piring, Frandi (2021), “Kisah Mayjen Sutoyo Siswomiharjo Dihujani Peluru Pemberontak G30 September PKI, Ini Hasil Otopsinya”, https://manado.tribunnews.com/2021/09/08/kisah-mayjen-sutoyo-siswomiharjo-dihujani-peluru-pemberontak-g30-september-pki-ini-hasil-otopsinya?page=1, diunduh 28 Oktober 2021
Said, Julinar dan Triana Wulandari (1995), Ensiklopedi Pahlawan Nasional, Jakarta: Direktorat Jenderal kebudayaan.
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994), Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta: Sekretariat Negara RI
Sutoyo, Nani Surrachman (2013), Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965, Jakarta: Kompas
Wiharyo, Tjatur (2020), “Mayjen Sutoyo Siswomiharjo: Murid Gatot Subroto yang Toleran kepada Anak Buah”, https://historia.id/militer/articles/mayjen-sutoyo-siswomiharjo-murid-gatot-soebroto-yang-toleran-terhadap-anak-buah-Pdbj8, diunduh 28 Oktober 2021