Gatot Subroto
Jenderal Gatot Subroto adalah tokoh penting dari bidang militer terkemuka yang diabadikan sebagai nama jalan di ibukota Jakarta. Sepanjang karir militernya, Gatot merupakan perwira yang disegani banyak orang. Bersama A.H. Nasution dan Azis Saleh, Gatot ikut memprakarsai partai yang berisi bekas pejuang bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Meski dianggap gendheng (gila) oleh beberapa kolega-koleganya, dan walaupun tidak selama Oerip Soemohardjo berdinas, pengalaman Gatot sebagai prajurit tergolong panjang, bahkan jauh lebih panjang timbang Soedirman, Nasution, dan Soeharto (Sundhaussen, 1986: 33).
Seabad silam, ia lulus Taman Kanak-kanak atau Frobelschool. Gatot anak dari Sayid Yudoyuwono, seorang guru Tweede Inlandsche di Jatilawang. Saat itu, profesi guru sekolah sangat dihormati karena kebanyakan turunan priyayi. Bocah ini kemudian diterima sekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas. Sebuah sekolah dasar elite khusus Belanda yang hanya bisa dimasuki segelintir pribumi pada zaman kolonial. Gatot bukan bocah pribumi biasa. Berbeda dengan kebanyakan pribumi yang rendah diri, Gatot sebaliknya. Dia bocah Banyumas sejati. Syahdan, orang Banyumas dan Begelen termasuk individu-individu yang suka berkelahi. Meskipun mereka bukan tipikal pembuat onar. Profesi serdadu cocok untuk pemuda-pemuda Bagelen atau Banyumas. Mereka bisa mendaftar di Gombong untuk jadi serdadu di zaman kolonial (Anderson, 2018: 286).
Gatot juga suka berkelahi, mirip Oerip Soemohardjo dari Bagelen Purworejo ketika kecil. Beraninya bukan cuma pada bocah lemah, tapi melawan anak-anak Belanda. Terakhir di ELS, Gatot berkelahi dengan anak Belanda. Tidak tanggung-tanggung, menurut saudara sepupunya, bocah ini berkelahi dengan anak dari Residen Banyumas. Gatot pun dikeluarkan dari ELS yang elite itu. Saat itu dia masih kelas IV. Sekolah dasarnya pun terpaksa diselesaikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cilacap, yang gengsinya di bawah ELS. Lepas masa bocah dan juga sekolah dasar, Gatot tidak mau sekolah lagi. Gatot Subroto ini lulus tahun 1927. Kala itu, sekolah dasar terbaik di Indonesia harus ditempuh 7 tahun. Seringkali usia siswa ketika baru masuk di atas tujuh tahun, bahkan lebih. Remaja bernama Gatot Subroto ini memilih bekerja. Dia sempat bekerja di kantor. Tak betah berlama-lama dia keluar dan akhirnya masuk militer (Oemar, 1976: 11-12).
Gatot mulai masuk Kaderschool di Magelang sejak Desember 1928. Gatot yang keras kepala dan suka berkelahi itu pernah masuk sel provost ketika masih bau kencur di dunia militer. Sebagai lulusan HIS, Gatot bisa jadi kopral atau Sersan. Ayahnya yang priayi tak suka dengan pilihan Gatot masuk militer kolonial yang disebut Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Meski sebagai sersan nantinya gajinya terbilang bagus, tetapi profesi militer adalah profesi hina di zaman kolonial. Gaji sersan KNIL jelang 1940 setidaknya 60 Gulden (Budiardjo, 1996: 83). Pada 1930-an, Gatot adalah sersan kelas dua atau Sersan Dua. Selesai pendidikan, dia dikirim ke Padang Panjang, Sumatra Barat. Kira-kira lima tahun Gatot berdinas di Bumi Rendang tersebut. Tahun 1934, Gatot mendapat latihan kepolisian lalu ditempatkan di unit Marsose di Jatinegara. Unit tersebut adalah pasukan militer khusus yang sering dibekali tugas kepolisian. Gatot pernah juga ditempatkan di daerah Bekasi dan Cikarang. Di daerah itu kekuasaan tuan tanah menyengsarakan rakyat jelata tak bertanah. Tidak jarang terjadi kerusuhan. Setelahnya, rakyat perusuh itu dipenjarakan. Gatot, dengan sebagian gajinya, sering membantu keluarga perusuh yang dipenjarakan itu. Gatot, di mata komandan-komandannya, bukanlah seorang sersan yang loyal. Kepada mereka, Gatot bukannya menunduk, tetapi dia tetap keras kepala. Seorang komandannya menjuluki Gatot sebagai “Sersan Gila” (Matanasi, 2016).
Jelang masuknya Jepang, Gatot dikirim ke Ambon. Daerah itu sasaran terdekat Armada Laut Jepang. Dalam waktu singkat, KNIL dibungkam balatentara Jepang. Tak ada kewajiban bagi Gatot untuk mati demi Ratu Belanda. KNIL hanya dunia yang harus dijalaninya sebagai pemuda keras kepala. Begitu KNIL tercerai-berai, Gatot dan serdadu pribumi lain kabur dari pos mereka, karena Belanda sudah kalah. Seragam mereka tanggalkan lalu naik kapal kayu ke Makassar. Waktu singgah di Makassar, Gatot ziarah ke makam Pangeran Diponegoro yang tak jauh dari Pelabuhan. Dari Makassar Gatot menumpang kapal ke Jawa. Lalu pulang ke rumah orangtuanya di Banyumas. Dia disambut dengan syukuran keluarga. Karena tak ada kabar bahkan dikira sudah mati dalam di Front Pasifik (Britton, 1996: 157).
Setelah jadi vrijman atau preman atau orang sipil, Gatot kemudian dipercaya Bupati Banyumas, Gandasubrata, untuk menangani ketertiban sebagai Kepala Polisi. Di masa pendudukan Jepang, Gatot bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) pada 1943. Setelah mengikuti latihan enam bulan sebagai Chudanco (komandan kompi), dia kembali ke tanah kelahirannya lagi. Di daidan (Batalyon) PETA Sumpyuh, Banyumas. Kolonel Soesalit, anak tunggal Pahlawan Nasional Kartini, jadi komandan daidan tersebut. Setelah menjalani masa menjadi Chudanco, Gatot pun naik menjadi Daidanco (komandan batalyon) juga. Di awal kemerdekaan, batalyon PETA yang dipimpinnya ikut masuk ke Tentara Keamanan Rakyat. Gatot pernah menjadi Panglima Divisi 2/Gunung Jati. Komandan Polisi Militer. Dia pernah menjadi Panglima di Indonesia Timur. Di masa Revolusi, dia pernah berpangkat Jenderal Mayor, tetapi karena turun lagi menjadi Kolonel, ketika ada penurunan pangkat besar-besaran bagi semua anggota TNI (Matanasi, 2016).
Pada 1953, Gatot mundur dari ketentaraan dan tinggal di Ungaran. Dia sering pergi berburu di hutan. Akan tetapi, Gatot dipanggil kembali pada 1956 untuk menjadi Wakil KSAD. Pangkat terakhirnya Letnan Jenderal. Sebagai serdadu dia bisa tampil berangasan. Menurut kesaksian Brigadir Jenderal Suprapto, Gatot masyhur sebagai komandan yang dekat dengan bawahan. Ada kalanya dia suka memanggil bawahannya: monyet. Gatot Subroto terkenal mudah bergaul dengan para bawahannya, akan persahabatannya yang kasar dan keras. Kekerasan dan kesukaannya menggunakan kata-kata mesum, meningkatkan reputasinya sebagai seorang komandan pasukan infanteri yang efektif. Sebagai mantan sersan, dia tak pernah berhenti untuk dekat dengan para bawahannya, yang sering kali dipanggilnya monyet (Britton, 1996: 180). Sosok Gatot tidak hanya bisa ditemukan di buku-buku sejarah, tapi juga di film Kereta Api Terakhir (1981). Dengan dialek ngapak atau Banyumasan, berkali-kali Gatot menyebut kata monyet kepada bawahan-bawahannya. Film itu menggambarkan suasana revolusi di Banyumas ketika pangkat Gatot masih Kolonel dan menjabat Panglima Militer di daerah tersebut. Monyet pun jadi sebutan untuk calon prajurit taruna (capratar) di Akademi Militer.
Gatot termasuk orang yang sadar ihwal begitu kecilnya pengikut agama Buddha di Indonesia. Gatot pun menjadikan dirinya pelindung dari Buddha. Buddha, yang dikenalkan Sidharta Gautama adalah agama yang mengekang nafsu amarah dan mengajak para pengikutnya pada kedamaian Nirwana. Gatot Subroto adalah seorang muslim. Sekali lagi terbukti bahwa dia seorang besar. Semasa hidupnya, sebagai pelindung agama Buddha, dia tampak hadir dalam upacara-upacara keagamaan Buddha, antara lain pada upacara-upacara Waisak di Stupa Borobudur. Kepada umat Buddha Semarang juga pernah dihadiahkan sebuah patung Buddha besar berlapis emas seberat satu setengah ton yang berasal dari Muangthai (Oemar, 1976: 82). Sarjana Peter Britton agak berbeda dalam melihat bagaimana kehidupan keagamaan pribadi Gatot Subroto. Menurutnya, Gatot Subroto mempunyai keengganan yang kuat terhadap Islam dan memeluk agama Buddha. Kekuatan kejiwaan Gatot dilukiskan dalam cerita mengenai kematiannya. Ia mendemonstrasikan suatu keterampilan yang dikenal di kalangan Kejawen sebagai salah satu keterampilan tertinggi yaitu kepandaian mati, yang meramalkan saat kematiannya sendiri dan dengan demikian mempermudah perjalanannya moksa atau pulang (kepada Yang Maha Kuasa). Peter Britton juga membayangkan kematian Gatot yang mirip tokoh wayang Yudhistira. Hanya di ranjang dalam kondisi sekarat dan nyawanya sulit tercabut. Selama sehari semalam Gatot mendapat serangan jantung hebat. “Akhirnya dia meninggal di depan seorang ulama yang menasehatinya untuk membaca dua kalimat syahadat, pengakuan kepercayaan (kepada Allah SWT sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rosul), dan kemudian ia meninggal dengan tenang,” ungkap Peter Britton (Britton, 1996: 196).
Arkian, Gatot Subroto, yang lahir titimangsa 10 Oktober 1909 di Jatilawang, Purwokerto, itu wafat titimangsa 11 Juni 1962. Dia tetap dimakamkan seperti keinginannya, dengan upacara agama Buddha di desa Mulyoharjo, Gunung Ungaran. Seminggu setelah kematiannya, titimangsa 18 Juni 1962, Gatot ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional.
Penulis: Muhammad Iqbal
Referensi:
Anderson, Benedict. (2018). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. terj.: Jiman Rumbo. ed.: Muhammad Iqbal. Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Britton, Peter. (1996). Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat. terj.: Tim Redaksi. Jakarta: LP3ES.
Budiardjo. (1996). Siapa Sudi Saya Dongengi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Matanasi, Petrik. (2016). “Gatot Subroto, Sersan ‘Gila’ yang Cinta Damai”, tirto.id. https://tirto.id/gatot-subroto-sersan-gila-yang-cinta-damai-bSTl diakses pada 14 Oktober 2021, pukul 17.31 WIB.
Oemar, Moh. (1976). Pahlawan Nasional Jenderal Gatot Subroto. Jakarta: Depdikbud.
Sundhaussen, Ulf. (1986). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. terj.: Hasan Basari. Tim Redaksi. Jakarta: LP3ES.