Soerastri Karma Trimurti: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Soerastri Karma Trimurti,  lebih dikenal dengan nama S.K. Trimurti, lahir di Boyolali pada 11 Mei 1912, dan wafat di Jakarta 20 Mei 2008. Dia seorang wartawan, aktivis buruh, menteri perburuhan pertama, pejuang kemerdekaan, dan mendapatkan Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan, Mahaputra, serta Perintis Kemerdekaan. Trimurti adalah anak keempat R.Ng. Mangunsuromo, yang posisi terakhirnya sebagai asisten wedana (''Tempo,'' 1986: 1143; aji.or.id). Nama pemberian orang tu...")
 
No edit summary
Line 3: Line 3:
Trimurti adalah anak keempat R.Ng. Mangunsuromo, yang posisi terakhirnya sebagai asisten wedana (''Tempo,'' 1986: 1143; aji.or.id). Nama pemberian orang tuanya sebenarnya hanya Soerastri. Karma dan Trimurti adalah dua nama pena yang digunakannya sebagai penulis. Lambat laun dia dikenal dengan nama S.K. Trimurti.
Trimurti adalah anak keempat R.Ng. Mangunsuromo, yang posisi terakhirnya sebagai asisten wedana (''Tempo,'' 1986: 1143; aji.or.id). Nama pemberian orang tuanya sebenarnya hanya Soerastri. Karma dan Trimurti adalah dua nama pena yang digunakannya sebagai penulis. Lambat laun dia dikenal dengan nama S.K. Trimurti.


Dia lulus dari pendidikan dasar (''Tweede Inlandsche School'') di Kartasura tahun 1925, kemudian menyelesaikan pendidikan guru di Sekolah Guru Putri (''Normaalschool'') di Solo (1930). Sebagai seorang lulusan Sekolah Guru Puteri di Solo (''Normaalschool''), profesi awalnya adalah sebagai guru di sekolah dasar Puteri Negeri di Solo/Banyumas (1932-1933) (Soebagijo, 1981: 397-398; ''Tempo'' 1986: 1142). Meskipun dia mengundurkan diri dari sekolah pemerintah tersebut dan menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Sukarno, Trimurti masih memiliki perhatian dalam pendidikan. Dalam sebuah Perguruan Rakyat di Pasirkaliki (Bandung), yang didirikannya bersama Sanusi Pane pada tahun 1933, dia mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah anak-anak para pejuang kemerdekaan (Soebagijo, 1981: 398).  
Dia lulus dari pendidikan dasar (''Tweede Inlandsche School'') di Kartasura tahun 1925, kemudian menyelesaikan pendidikan guru di Sekolah Guru Putri (''Normaalschool'') di Solo (1930). Sebagai seorang lulusan Sekolah Guru Puteri di Solo (''Normaalschool''), profesi awalnya adalah sebagai guru di sekolah dasar Puteri Negeri di Solo/Banyumas (1932-1933) (Soebagijo, 1981: 397-398; ''Tempo'' 1986: 1142). Meskipun dia mengundurkan diri dari sekolah pemerintah tersebut dan menjadi anggota [[Partai Indonesia (Partindo)]] pimpinan [[Sukarno]], Trimurti masih memiliki perhatian dalam pendidikan. Dalam sebuah Perguruan Rakyat di Pasirkaliki (Bandung), yang didirikannya bersama [[Sanusi Pane]] pada tahun 1933, dia mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah anak-anak para pejuang kemerdekaan (Soebagijo, 1981: 398).  


Dalam sekolah ini, Trimurti mengajak para siswanya untuk belajar dengan mencintai tanah air, memiliki harga diri, dan tidak mau dijajah. Namun pengajaran ini oleh pemerintah kolonial dianggap membahayakan murid-muridnya, sehingga Trimurti dikenakan larangan mengajar (''onderwijs verbond'').
Dalam sekolah ini, Trimurti mengajak para siswanya untuk belajar dengan mencintai tanah air, memiliki harga diri, dan tidak mau dijajah. Namun pengajaran ini oleh pemerintah kolonial dianggap membahayakan murid-muridnya, sehingga Trimurti dikenakan larangan mengajar (''onderwijs verbond'').
Line 9: Line 9:
Semangat belajarnya Trimurti tidak pernah pudar. Di tengah kesibukannya dalam berbagai kegiatan, dia masih menyempatkan diri untuk mengikuti pendidikan lanjut. Pada tahun 1960, dia berhasil mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia (Shadily, 1983: 3626). Pada tahun 1972-1975, ia mengikuti ''extensive course'' di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Drijarkara. Tahun 1982, dia pernah menjadi ''Research Associate'' di University of California di Berkeley, Amerika Serikat (''Tempo'' 1986: 1142).
Semangat belajarnya Trimurti tidak pernah pudar. Di tengah kesibukannya dalam berbagai kegiatan, dia masih menyempatkan diri untuk mengikuti pendidikan lanjut. Pada tahun 1960, dia berhasil mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia (Shadily, 1983: 3626). Pada tahun 1972-1975, ia mengikuti ''extensive course'' di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Drijarkara. Tahun 1982, dia pernah menjadi ''Research Associate'' di University of California di Berkeley, Amerika Serikat (''Tempo'' 1986: 1142).


Keterampilan menulis Trimurti terkuak setelah diyakinkan dan diberi kesempatan oleh Sukarno untuk menulis di ''Pikiran Rakyat'', sebuah majalah politik corong Partindo yang kala itu terkemuka (Soebagio, 1981: 398). Keyakinannya pun membulat tatkala tulisannya dimuat di majalah tersebut. Rupanya itu adalah karya tulis pertama dan terakhir Trimurti di ''Pikiran Rakyat'', karena Sukarno sebagai pimpinan Partindo ditangkap sehingga majalahnya dilarang terbit.  
Keterampilan menulis Trimurti terkuak setelah diyakinkan dan diberi kesempatan oleh [[Sukarno]] untuk menulis di ''Pikiran Rakyat'', sebuah majalah politik corong Partindo yang kala itu terkemuka (Soebagio, 1981: 398). Keyakinannya pun membulat tatkala tulisannya dimuat di majalah tersebut. Rupanya itu adalah karya tulis pertama dan terakhir Trimurti di ''Pikiran Rakyat'', karena [[Sukarno]] sebagai pimpinan Partindo ditangkap sehingga majalahnya dilarang terbit.  


Tahun 1934, Trimurti kembali ke orang tuanya yang saat itu bertempat tinggal di Klaten. Di sana dia mengembangkan kemampuan menulisnya dengan  mengirimkan tulisannya ke harian ''Berdjoang'' di Surabaya. Harian ini  dikelola oleh seorang nasionalis di kota tersebut, Doel Arnowo (Soebagio, 1981: 399; aji.or.id). Selain itu, bersama dengan seorang kawannya dia pindah ke Solo dan menerbitkan majalah sendiri yang diberi nama ''Bedoeg''. Sebuah nama yang dipilih untuk menggugah kesadaran rakyat bahwa mereka sedang dijajah. Rupanya penerbitan ''Bedoeg'' dianggap kurang berhasil karena menggunakan bahasa Jawa. Untuk mendapatkan pembaca yang lebih luas, maka diputuskan untuk mengganti ''Bedoeg'' menjadi majalah yang berbahasa Indonesia yang dinamai ''Terompet'' (aji.or.id). Selain itu, Trimurti juga aktif menulis di koran dan majalah lainnya, diantaranya ''Api Kartini'', ''Berita Gerwani'', dan ''Harian Rakyat''.
Tahun 1934, Trimurti kembali ke orang tuanya yang saat itu bertempat tinggal di Klaten. Di sana dia mengembangkan kemampuan menulisnya dengan  mengirimkan tulisannya ke harian ''Berdjoang'' di Surabaya. Harian ini  dikelola oleh seorang nasionalis di kota tersebut, Doel Arnowo (Soebagio, 1981: 399; aji.or.id). Selain itu, bersama dengan seorang kawannya dia pindah ke Solo dan menerbitkan majalah sendiri yang diberi nama ''Bedoeg''. Sebuah nama yang dipilih untuk menggugah kesadaran rakyat bahwa mereka sedang dijajah. Rupanya penerbitan ''Bedoeg'' dianggap kurang berhasil karena menggunakan bahasa Jawa. Untuk mendapatkan pembaca yang lebih luas, maka diputuskan untuk mengganti ''Bedoeg'' menjadi majalah yang berbahasa Indonesia yang dinamai ''Terompet'' (aji.or.id). Selain itu, Trimurti juga aktif menulis di koran dan majalah lainnya, diantaranya ''Api Kartini'', ''Berita Gerwani'', dan ''Harian Rakyat''.
Line 15: Line 15:
Semangat jurnalistiknya selalu bertahan. Pada tahun 1937, setelah dia keluar dari Penjara Bulu di Semarang, Trimurti mendapatkan hadiah uang dari majalah ''Panjebar Semangat'' atas naskah cerita sandiwara yang ditulisnya. Hadiah ini digunakan oleh Trimurti untuk menerbitkan majalah ''Suluh Kita'' (Soebagio, 1981: 399). Agar lebih leluasa mengirimkan tulisan di berbagai majalah dan koran, dia tidak menempatkan diri sebagai pemimpin redaksi. Dengan posisinya yang independen ini, dia malah mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis di harian milik orang Jepang, ''Sinar Selatan''.  
Semangat jurnalistiknya selalu bertahan. Pada tahun 1937, setelah dia keluar dari Penjara Bulu di Semarang, Trimurti mendapatkan hadiah uang dari majalah ''Panjebar Semangat'' atas naskah cerita sandiwara yang ditulisnya. Hadiah ini digunakan oleh Trimurti untuk menerbitkan majalah ''Suluh Kita'' (Soebagio, 1981: 399). Agar lebih leluasa mengirimkan tulisan di berbagai majalah dan koran, dia tidak menempatkan diri sebagai pemimpin redaksi. Dengan posisinya yang independen ini, dia malah mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis di harian milik orang Jepang, ''Sinar Selatan''.  


Ketika bekerja di harian ini, Trimurti mendapatkan titipan artikel dari seorang kawan yang kemudian menjadi suaminya, Muhammad Ibnu Sajuti atau yang dikenal dengan nama Sajuti Melik, berjudul “''Pertikaian Japan-Tiongkok''. ''Sikap yang patut diambil oleh bangsa Indonesia terhadap pertikaian Tiongkok-Jepang''”. Pada prinsipnya artikel tersebut menganjurkan agar bangsa Indonesia tidak perlu membantu Belanda manakala Jepang menyerbu. Pada saat itu, suasana ketegangan dunia mulai menggema di Indonesia, dan gelagat imperialisme Jepang sudah mulai terasa. Artikel provokatif ini membuat pemerintah kolonial marah dan mencari penulis artikel di kantor redaksi ''Sinar Selatan''. Trimurti melindungi Sajuti dan mengakui bahwa dialah penulis artikel itu, sehingga dia pun harus mendekam di penjara untuk kedua kalinya. Dia didakwa melanggar 153 ''bis juncto'' 56, dan dihukum selama 6 bulan (aji.or.id; Soebagio, 1981: 400-01).
Ketika bekerja di harian ini, Trimurti mendapatkan titipan artikel dari seorang kawan yang kemudian menjadi suaminya, Muhammad Ibnu Sajuti atau yang dikenal dengan nama [[Sayuti Melik]], berjudul “''Pertikaian Japan-Tiongkok''. ''Sikap yang patut diambil oleh bangsa Indonesia terhadap pertikaian Tiongkok-Jepang''”. Pada prinsipnya artikel tersebut menganjurkan agar bangsa Indonesia tidak perlu membantu Belanda manakala Jepang menyerbu. Pada saat itu, suasana ketegangan dunia mulai menggema di Indonesia, dan gelagat imperialisme Jepang sudah mulai terasa. Artikel provokatif ini membuat pemerintah kolonial marah dan mencari penulis artikel di kantor redaksi ''Sinar Selatan''. Trimurti melindungi Sajuti dan mengakui bahwa dialah penulis artikel itu, sehingga dia pun harus mendekam di penjara untuk kedua kalinya. Dia didakwa melanggar 153 ''bis juncto'' 56, dan dihukum selama 6 bulan (aji.or.id; Soebagio, 1981: 400-01).


Ketika Trimurti dipenjara, Sajuti menerbitkan majalah ''Pesat''. Kemudian majalah ini dikelola oleh mereka berdua, sebelum mampu merekrut tenaga yang membantu mereka. Pada masa kekuasaan Jepang, majalah ini dilarang terbit. Sajuti kemudian beralih pada penerbitan ''Sinar Baru'' (Soebagio, 1981: 401-02). Belum lama Sajuti mengelola ''Sinar Baru'', dia ditangkap oleh Jepang. Dua minggu kemudian, Trimurti juga ditangkap oleh Jepang. Selama dipenjara, pasangan ini meninggalkan dua orang anak mereka, satu diantaranya masih bayi. Di penjara Jurnatan di Semarang ini, Trimurti mendapatkan siksaan dari ''Kenpetai'' sampai gigi-giginya goyah dan sulit makan. Atas bantuan dari Sukarno, Trimurti dapat dikeluarkan dari penjara. Sukarno mengajak Trimurti pindah ke Jakarta dan bekerja bersamanya di Poesat Tenaga Rakjat (Poetera). Di usia senjanya, Trimurti masih bersemangat dalam dunia jurnalistik. Tahun 1980-an, dia memimpin majalah kebatinan, ''Mawas Diri''.
Ketika Trimurti dipenjara, Sajuti menerbitkan majalah ''Pesat''. Kemudian majalah ini dikelola oleh mereka berdua, sebelum mampu merekrut tenaga yang membantu mereka. Pada masa kekuasaan Jepang, majalah ini dilarang terbit. Sajuti kemudian beralih pada penerbitan ''Sinar Baru'' (Soebagio, 1981: 401-02). Belum lama Sajuti mengelola ''Sinar Baru'', dia ditangkap oleh Jepang. Dua minggu kemudian, Trimurti juga ditangkap oleh Jepang. Selama dipenjara, pasangan ini meninggalkan dua orang anak mereka, satu diantaranya masih bayi. Di penjara Jurnatan di Semarang ini, Trimurti mendapatkan siksaan dari ''Kenpetai'' sampai gigi-giginya goyah dan sulit makan. Atas bantuan dari Sukarno, Trimurti dapat dikeluarkan dari penjara. Sukarno mengajak Trimurti pindah ke Jakarta dan bekerja bersamanya di Poesat Tenaga Rakjat (Poetera). Di usia senjanya, Trimurti masih bersemangat dalam dunia jurnalistik. Tahun 1980-an, dia memimpin majalah kebatinan, ''Mawas Diri''.
Line 23: Line 23:
Sebagai anggota Partindo, Trimurti pernah menyampaikan pidato dalam suatu rapat umum partai di Bandung. Namun, pidato tidak boleh diselesaikan, dan dikenakan ''spreekdelict'' kepadanya (Soebagijo, 1981: 398). Trimurti sangat tersinggung dengan peringatan yang disampaikan oleh kepala  dinas intelijen politik (''Politiek Inlichtingen Dienst'', PID) yang menganggapnya masih belum dewasa dan terhasut oleh Sukarno. Padahal dia merasa sudah matang.  
Sebagai anggota Partindo, Trimurti pernah menyampaikan pidato dalam suatu rapat umum partai di Bandung. Namun, pidato tidak boleh diselesaikan, dan dikenakan ''spreekdelict'' kepadanya (Soebagijo, 1981: 398). Trimurti sangat tersinggung dengan peringatan yang disampaikan oleh kepala  dinas intelijen politik (''Politiek Inlichtingen Dienst'', PID) yang menganggapnya masih belum dewasa dan terhasut oleh Sukarno. Padahal dia merasa sudah matang.  


Sekalipun tidak dapat lagi aktif di Partindo karena pemenjaraan Sukarno, Trimurti yang pada tahun 1934 kembali ke Klaten masih menjalin hubungan dengan beberapa tokoh Partindo (Soebagio, 1981: 400; aji.or.id). Ternyata pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas politik masyarakat Indonesia, termasuk Trimurti sendiri. Dihadapkan pada pilihan apakah akan mundur dari dunia politik sehingga keamanan dan keselamatan keluarganya terjamin atau tetap aktif dalam politik pergerakan nasional, di awal tahun 1935 Trimurti menjatuhkan pilihannya untuk mendarmabaktikan hidupnya untuk pergerakan nasional.  
Sekalipun tidak dapat lagi aktif di Partindo karena pemenjaraan [[Sukarno]], Trimurti yang pada tahun 1934 kembali ke Klaten masih menjalin hubungan dengan beberapa tokoh Partindo (Soebagio, 1981: 400; aji.or.id). Ternyata pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas politik masyarakat Indonesia, termasuk Trimurti sendiri. Dihadapkan pada pilihan apakah akan mundur dari dunia politik sehingga keamanan dan keselamatan keluarganya terjamin atau tetap aktif dalam politik pergerakan nasional, di awal tahun 1935 Trimurti menjatuhkan pilihannya untuk mendarmabaktikan hidupnya untuk pergerakan nasional.  


Agar keluarganya tetap tenang dan dia dapat tetap aktif dalam politik, Trimurti meninggalkan keluarganya, pindah ke Yogyakarta dengan bermodalkan kain yang dijualnya. Di Yogyakarta dia tinggal bersama seorang kawan seperjuangannya, Sri Panggihan (Soebagio, 1981: 400). Di kota ini, Trimurti bergabung dengan organisasi Mardi Wanita. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Persatuan Marhaeni Indonesia dan menerbitkan majalah ''Suara Marhaeni'' (aji.or.id). Semboyan majalah ini adalah “Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui  Indonesia Merdeka” (Soebagio, 1981: 400). Sebuah semboyan sangat konkret, menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai langkah awal untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Trimurti dipercaya menjadi pemimpin redaksi dari majalah ini.  
Agar keluarganya tetap tenang dan dia dapat tetap aktif dalam politik, Trimurti meninggalkan keluarganya, pindah ke Yogyakarta dengan bermodalkan kain yang dijualnya. Di Yogyakarta dia tinggal bersama seorang kawan seperjuangannya, Sri Panggihan (Soebagio, 1981: 400). Di kota ini, Trimurti bergabung dengan organisasi Mardi Wanita. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Persatuan Marhaeni Indonesia dan menerbitkan majalah ''Suara Marhaeni'' (aji.or.id). Semboyan majalah ini adalah “Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui  Indonesia Merdeka” (Soebagio, 1981: 400). Sebuah semboyan sangat konkret, menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai langkah awal untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Trimurti dipercaya menjadi pemimpin redaksi dari majalah ini.  
Line 31: Line 31:
Trimurti memiliki perhatian khusus terhadap perempuan baik secara simbolik maupun praksis. Secara simbolik dia menolak jika namanya, Soerastri, ditulis menjadi “Soelastri”. Penolakan ini disampaikan karena nama itu dimiliki salah satu istri Arjuna atau Janaka (Soebagio, 1981: 397), sementara Trimurti tidak setuju perempuan dimadu.  
Trimurti memiliki perhatian khusus terhadap perempuan baik secara simbolik maupun praksis. Secara simbolik dia menolak jika namanya, Soerastri, ditulis menjadi “Soelastri”. Penolakan ini disampaikan karena nama itu dimiliki salah satu istri Arjuna atau Janaka (Soebagio, 1981: 397), sementara Trimurti tidak setuju perempuan dimadu.  


Secara praksis, Trimurti adalah salah satu pendiri Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi perempuan yang didirikan pada tahun 1950 (''Tempo'', 1986: 1142). Organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Seperti suaminya, sang pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sajuti Melik (Soebagio, 1981: 423-29), Tri berpendapat inti dari pandangan Soekarnoisme itu bukanlah Nasionalis–Agama–Komunis   (Nasakom), tetapi Nasionalis–Agama–Sosialis. Pendapat ini berbeda dengan pengurus Gerwani lainnya yang kemudian menjadikan Gerwani sebagai organ Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena perbedaan pandangan politik ini, maka Trimurti keluar dari organisasi tersebut. Namun, perhatiannya kepada perempuan tidak putus meskipun tidak aktif lagi di Gerwani.  
Secara praksis, Trimurti adalah salah satu pendiri Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi perempuan yang didirikan pada tahun 1950 (''Tempo'', 1986: 1142). Organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia ([[Gerwani]]). Seperti suaminya, sang pengetik naskah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]], [[Sayuti Melik]] (Soebagio, 1981: 423-29), Tri berpendapat inti dari pandangan Soekarnoisme itu bukanlah Nasionalis–Agama–Komunis   (Nasakom), tetapi Nasionalis–Agama–Sosialis. Pendapat ini berbeda dengan pengurus Gerwani lainnya yang kemudian menjadikan Gerwani sebagai organ [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Oleh karena perbedaan pandangan politik ini, maka Trimurti keluar dari organisasi tersebut. Namun, perhatiannya kepada perempuan tidak putus meskipun tidak aktif lagi di Gerwani.  


Disamping itu, Trimurti juga seorang aktivis perburuhan. Pada kongres Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), bulan Juli 1947 di Malang, dia terpilih menjadi wakil bendahara pengurus pusat organisasi tersebut. Aktivitasnya pada organisasi buruh ini yang menghantarkannya menjadi Menteri Perburuhan pertama pada kabinet Amir Syarifuddin ke-2 (Shadily, 1983: 3626; Leclerc, 1995: 187-88). Ketika menjadi Menteri Perburuhan (1947-1948), Trimurti mengawasi perumusan Undang Undang Perburuhan (Lahiri-Dutt dan Robinson, 2008: 105). Perhatian ini terwujud pada penekanan agar perempuan terlindung dari lingkungan kerja yang tidak aman. Perempuan dilarang bekerja di pertambangan, perempuan berhak mendapatkan cuti menstruasi selama dua hari pada setiap siklus menstruasinya, perempuan berhak mendapatkan cuti hamil dan tetap digaji, perempuan berhak untuk beristirahat dan menyusui.
Disamping itu, Trimurti juga seorang aktivis perburuhan. Pada kongres Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), bulan Juli 1947 di Malang, dia terpilih menjadi wakil bendahara pengurus pusat organisasi tersebut. Aktivitasnya pada organisasi buruh ini yang menghantarkannya menjadi Menteri Perburuhan pertama pada kabinet Amir Syarifuddin ke-2 (Shadily, 1983: 3626; Leclerc, 1995: 187-88). Ketika menjadi Menteri Perburuhan (1947-1948), Trimurti mengawasi perumusan Undang Undang Perburuhan (Lahiri-Dutt dan Robinson, 2008: 105). Perhatian ini terwujud pada penekanan agar perempuan terlindung dari lingkungan kerja yang tidak aman. Perempuan dilarang bekerja di pertambangan, perempuan berhak mendapatkan cuti menstruasi selama dua hari pada setiap siklus menstruasinya, perempuan berhak mendapatkan cuti hamil dan tetap digaji, perempuan berhak untuk beristirahat dan menyusui.

Revision as of 19:16, 3 August 2023

Soerastri Karma Trimurti,  lebih dikenal dengan nama S.K. Trimurti, lahir di Boyolali pada 11 Mei 1912, dan wafat di Jakarta 20 Mei 2008. Dia seorang wartawan, aktivis buruh, menteri perburuhan pertama, pejuang kemerdekaan, dan mendapatkan Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan, Mahaputra, serta Perintis Kemerdekaan.

Trimurti adalah anak keempat R.Ng. Mangunsuromo, yang posisi terakhirnya sebagai asisten wedana (Tempo, 1986: 1143; aji.or.id). Nama pemberian orang tuanya sebenarnya hanya Soerastri. Karma dan Trimurti adalah dua nama pena yang digunakannya sebagai penulis. Lambat laun dia dikenal dengan nama S.K. Trimurti.

Dia lulus dari pendidikan dasar (Tweede Inlandsche School) di Kartasura tahun 1925, kemudian menyelesaikan pendidikan guru di Sekolah Guru Putri (Normaalschool) di Solo (1930). Sebagai seorang lulusan Sekolah Guru Puteri di Solo (Normaalschool), profesi awalnya adalah sebagai guru di sekolah dasar Puteri Negeri di Solo/Banyumas (1932-1933) (Soebagijo, 1981: 397-398; Tempo 1986: 1142). Meskipun dia mengundurkan diri dari sekolah pemerintah tersebut dan menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Sukarno, Trimurti masih memiliki perhatian dalam pendidikan. Dalam sebuah Perguruan Rakyat di Pasirkaliki (Bandung), yang didirikannya bersama Sanusi Pane pada tahun 1933, dia mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah anak-anak para pejuang kemerdekaan (Soebagijo, 1981: 398).

Dalam sekolah ini, Trimurti mengajak para siswanya untuk belajar dengan mencintai tanah air, memiliki harga diri, dan tidak mau dijajah. Namun pengajaran ini oleh pemerintah kolonial dianggap membahayakan murid-muridnya, sehingga Trimurti dikenakan larangan mengajar (onderwijs verbond).

Semangat belajarnya Trimurti tidak pernah pudar. Di tengah kesibukannya dalam berbagai kegiatan, dia masih menyempatkan diri untuk mengikuti pendidikan lanjut. Pada tahun 1960, dia berhasil mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia (Shadily, 1983: 3626). Pada tahun 1972-1975, ia mengikuti extensive course di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Drijarkara. Tahun 1982, dia pernah menjadi Research Associate di University of California di Berkeley, Amerika Serikat (Tempo 1986: 1142).

Keterampilan menulis Trimurti terkuak setelah diyakinkan dan diberi kesempatan oleh Sukarno untuk menulis di Pikiran Rakyat, sebuah majalah politik corong Partindo yang kala itu terkemuka (Soebagio, 1981: 398). Keyakinannya pun membulat tatkala tulisannya dimuat di majalah tersebut. Rupanya itu adalah karya tulis pertama dan terakhir Trimurti di Pikiran Rakyat, karena Sukarno sebagai pimpinan Partindo ditangkap sehingga majalahnya dilarang terbit.

Tahun 1934, Trimurti kembali ke orang tuanya yang saat itu bertempat tinggal di Klaten. Di sana dia mengembangkan kemampuan menulisnya dengan  mengirimkan tulisannya ke harian Berdjoang di Surabaya. Harian ini  dikelola oleh seorang nasionalis di kota tersebut, Doel Arnowo (Soebagio, 1981: 399; aji.or.id). Selain itu, bersama dengan seorang kawannya dia pindah ke Solo dan menerbitkan majalah sendiri yang diberi nama Bedoeg. Sebuah nama yang dipilih untuk menggugah kesadaran rakyat bahwa mereka sedang dijajah. Rupanya penerbitan Bedoeg dianggap kurang berhasil karena menggunakan bahasa Jawa. Untuk mendapatkan pembaca yang lebih luas, maka diputuskan untuk mengganti Bedoeg menjadi majalah yang berbahasa Indonesia yang dinamai Terompet (aji.or.id). Selain itu, Trimurti juga aktif menulis di koran dan majalah lainnya, diantaranya Api Kartini, Berita Gerwani, dan Harian Rakyat.

Semangat jurnalistiknya selalu bertahan. Pada tahun 1937, setelah dia keluar dari Penjara Bulu di Semarang, Trimurti mendapatkan hadiah uang dari majalah Panjebar Semangat atas naskah cerita sandiwara yang ditulisnya. Hadiah ini digunakan oleh Trimurti untuk menerbitkan majalah Suluh Kita (Soebagio, 1981: 399). Agar lebih leluasa mengirimkan tulisan di berbagai majalah dan koran, dia tidak menempatkan diri sebagai pemimpin redaksi. Dengan posisinya yang independen ini, dia malah mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis di harian milik orang Jepang, Sinar Selatan.

Ketika bekerja di harian ini, Trimurti mendapatkan titipan artikel dari seorang kawan yang kemudian menjadi suaminya, Muhammad Ibnu Sajuti atau yang dikenal dengan nama Sayuti Melik, berjudul “Pertikaian Japan-Tiongkok. Sikap yang patut diambil oleh bangsa Indonesia terhadap pertikaian Tiongkok-Jepang”. Pada prinsipnya artikel tersebut menganjurkan agar bangsa Indonesia tidak perlu membantu Belanda manakala Jepang menyerbu. Pada saat itu, suasana ketegangan dunia mulai menggema di Indonesia, dan gelagat imperialisme Jepang sudah mulai terasa. Artikel provokatif ini membuat pemerintah kolonial marah dan mencari penulis artikel di kantor redaksi Sinar Selatan. Trimurti melindungi Sajuti dan mengakui bahwa dialah penulis artikel itu, sehingga dia pun harus mendekam di penjara untuk kedua kalinya. Dia didakwa melanggar 153 bis juncto 56, dan dihukum selama 6 bulan (aji.or.id; Soebagio, 1981: 400-01).

Ketika Trimurti dipenjara, Sajuti menerbitkan majalah Pesat. Kemudian majalah ini dikelola oleh mereka berdua, sebelum mampu merekrut tenaga yang membantu mereka. Pada masa kekuasaan Jepang, majalah ini dilarang terbit. Sajuti kemudian beralih pada penerbitan Sinar Baru (Soebagio, 1981: 401-02). Belum lama Sajuti mengelola Sinar Baru, dia ditangkap oleh Jepang. Dua minggu kemudian, Trimurti juga ditangkap oleh Jepang. Selama dipenjara, pasangan ini meninggalkan dua orang anak mereka, satu diantaranya masih bayi. Di penjara Jurnatan di Semarang ini, Trimurti mendapatkan siksaan dari Kenpetai sampai gigi-giginya goyah dan sulit makan. Atas bantuan dari Sukarno, Trimurti dapat dikeluarkan dari penjara. Sukarno mengajak Trimurti pindah ke Jakarta dan bekerja bersamanya di Poesat Tenaga Rakjat (Poetera). Di usia senjanya, Trimurti masih bersemangat dalam dunia jurnalistik. Tahun 1980-an, dia memimpin majalah kebatinan, Mawas Diri.

Trimurti juga seorang aktivis politik. Selama menjadi guru di Solo, dia aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Semula aktif sebagai anggota Rukun Wanita, dan sesekali menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh Boedi Oetomo. Akhirnya dia memutuskan untuk berhenti sebagai guru (pemerintah) dan menjadi anggota organisasi pergerakan nasional di bawah pimpinan Sukarno di Bandung, Partindo. Dia belajar politik pada Sukarno dan sempat tinggal di rumah istri pertamanya, Inggit (Wild dan Carey, 1986: 116; aji.or.id).

Sebagai anggota Partindo, Trimurti pernah menyampaikan pidato dalam suatu rapat umum partai di Bandung. Namun, pidato tidak boleh diselesaikan, dan dikenakan spreekdelict kepadanya (Soebagijo, 1981: 398). Trimurti sangat tersinggung dengan peringatan yang disampaikan oleh kepala  dinas intelijen politik (Politiek Inlichtingen Dienst, PID) yang menganggapnya masih belum dewasa dan terhasut oleh Sukarno. Padahal dia merasa sudah matang.

Sekalipun tidak dapat lagi aktif di Partindo karena pemenjaraan Sukarno, Trimurti yang pada tahun 1934 kembali ke Klaten masih menjalin hubungan dengan beberapa tokoh Partindo (Soebagio, 1981: 400; aji.or.id). Ternyata pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas politik masyarakat Indonesia, termasuk Trimurti sendiri. Dihadapkan pada pilihan apakah akan mundur dari dunia politik sehingga keamanan dan keselamatan keluarganya terjamin atau tetap aktif dalam politik pergerakan nasional, di awal tahun 1935 Trimurti menjatuhkan pilihannya untuk mendarmabaktikan hidupnya untuk pergerakan nasional.

Agar keluarganya tetap tenang dan dia dapat tetap aktif dalam politik, Trimurti meninggalkan keluarganya, pindah ke Yogyakarta dengan bermodalkan kain yang dijualnya. Di Yogyakarta dia tinggal bersama seorang kawan seperjuangannya, Sri Panggihan (Soebagio, 1981: 400). Di kota ini, Trimurti bergabung dengan organisasi Mardi Wanita. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Persatuan Marhaeni Indonesia dan menerbitkan majalah Suara Marhaeni (aji.or.id). Semboyan majalah ini adalah “Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui  Indonesia Merdeka” (Soebagio, 1981: 400). Sebuah semboyan sangat konkret, menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai langkah awal untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Trimurti dipercaya menjadi pemimpin redaksi dari majalah ini.

Pada masa berikutnya, organisasi ini pindah ke Semarang, sehingga Trimurti pun harus pindah ke Semarang. Di kota ini, Trimurti ketahuan oleh pihak keamanan karena menyebarkan pamflet yang dicetak dengan agar-agar yang menyampaikan ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda (Soebagio, 1981: 400; aji.or.id). Sebagai ganjarannya, dia harus mendekam selama sembilan bulan di Penjara Bulu, Semarang. Di kota inilah, Trimurti tetap berjuang untuk menyadarkan bangsanya agar menjadi bangsa merdeka meskipun beberapa kali harus dijebloskan ke dalam penjara.

Trimurti memiliki perhatian khusus terhadap perempuan baik secara simbolik maupun praksis. Secara simbolik dia menolak jika namanya, Soerastri, ditulis menjadi “Soelastri”. Penolakan ini disampaikan karena nama itu dimiliki salah satu istri Arjuna atau Janaka (Soebagio, 1981: 397), sementara Trimurti tidak setuju perempuan dimadu.

Secara praksis, Trimurti adalah salah satu pendiri Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi perempuan yang didirikan pada tahun 1950 (Tempo, 1986: 1142). Organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Seperti suaminya, sang pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sayuti Melik (Soebagio, 1981: 423-29), Tri berpendapat inti dari pandangan Soekarnoisme itu bukanlah Nasionalis–Agama–Komunis   (Nasakom), tetapi Nasionalis–Agama–Sosialis. Pendapat ini berbeda dengan pengurus Gerwani lainnya yang kemudian menjadikan Gerwani sebagai organ Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena perbedaan pandangan politik ini, maka Trimurti keluar dari organisasi tersebut. Namun, perhatiannya kepada perempuan tidak putus meskipun tidak aktif lagi di Gerwani.

Disamping itu, Trimurti juga seorang aktivis perburuhan. Pada kongres Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), bulan Juli 1947 di Malang, dia terpilih menjadi wakil bendahara pengurus pusat organisasi tersebut. Aktivitasnya pada organisasi buruh ini yang menghantarkannya menjadi Menteri Perburuhan pertama pada kabinet Amir Syarifuddin ke-2 (Shadily, 1983: 3626; Leclerc, 1995: 187-88). Ketika menjadi Menteri Perburuhan (1947-1948), Trimurti mengawasi perumusan Undang Undang Perburuhan (Lahiri-Dutt dan Robinson, 2008: 105). Perhatian ini terwujud pada penekanan agar perempuan terlindung dari lingkungan kerja yang tidak aman. Perempuan dilarang bekerja di pertambangan, perempuan berhak mendapatkan cuti menstruasi selama dua hari pada setiap siklus menstruasinya, perempuan berhak mendapatkan cuti hamil dan tetap digaji, perempuan berhak untuk beristirahat dan menyusui.

Perjuangan S.K. Trimurti menjadi kenangan nasional. Di hari Kebangkitan Nasional tahun 2008, di usianya yang ke-96, Trimurti meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto (https://regional. kompas.com/read/2008/05/20/20101343/wartawan.tiga.zaman.sk.trimurti.meninggal.dunia). Sesuai permintaan pemerintah, jenazahnya disemayamkan di Gedung Pola, dan esok harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta (https://nasional.tempo.co/read/123350/istri-pengetik-naskah-proklamasi-meninggal).

Penulis: Johny Alfian Khusyairi


Referensi

Lahiri-Dutt, Kuntala dan Kathryn Robinson. 2008. “’Period problems’ at the coalface”, dalam Feminist Review, 2008, No. 89 (2008), hlm. 102-121. 

Leclerc, Jacques. 1995. “Figures de direction en Indonésie: Harjono et le bureau de S.O.B.S.I.”, dalam Le Mouvement Social, les dynamiques ouvrières en Asie orientale, No. 173, hlm. 185-191.

Soebagio, I.N. 1981. Jagat Wartawan Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Shadily, Hassan. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru - Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects.

Tempo. 1986. Apa & Siapa sejumlah orang Indonesia 1985-1986. Jakarta: Pustaka Grafitipers.

Wild, Colin dan Peter Carey (ed.). 1986. Gelora Api Revolusi: sebuah antologi sejarah, Jakarta: BBC Indonesia bekerjasama dengan Gramedia.

Aliansi Jurnalis Independen. 2017. “SK Trimurti Award 2017”, dalam aji.or.id, diakses pada 30 Oktober 2021.

https://regional.kompas.com/read/2008/05/20/20101343/wartawan.tiga.zaman.sk.trimurti.meninggal.dunia, diakses pada 30 Oktober 2021.

https://nasional.tempo.co/read/123350/istri-pengetik-naskah-proklamasi-meninggal, diakses pada 30 Oktober 2021.