Basuki Rahmat: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Mayor Jenderal Basuki Rahmat adalah seorang Jenderal TNI AD yang berperan besar dalam geger tahun 1965 serta menjadi saksi penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pada peristiwa G30S tahun 1965, beliau merupakan negosiator yang berhasil merangkul kembali pasukan batalyon yang terpedaya G30S sehingga tidak terjadi pertempuran berskala besar. Selain itu, pada bulan Maret tahun 1966 Basuki Rahmat bersama dengan Jenderal Amir Machmud dan M. Jusuf bertemu d...")
 
No edit summary
Line 1: Line 1:
Mayor Jenderal Basuki Rahmat adalah seorang Jenderal TNI AD yang berperan besar dalam geger tahun 1965 serta menjadi saksi penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pada peristiwa G30S tahun 1965, beliau merupakan negosiator yang berhasil merangkul kembali pasukan batalyon yang terpedaya G30S sehingga tidak terjadi pertempuran berskala besar. Selain itu, pada bulan Maret tahun 1966 Basuki Rahmat bersama dengan Jenderal Amir Machmud dan M. Jusuf bertemu dengan Presiden Sukarno untuk membahas kondisi politik yang semakin kacau akibat Gerakan 30 September. Saat itu ketiganya membawa dokumen yang sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia, yaitu Surat Perintah Sebelas Maret. Dengan ditandatanganinya Supersemar, kekuasaan atas pemerintahan republik Indonesia beralih dari Presiden Sukarno ke Mayjen Suharto.
[[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Mayor Jenderal Basuki Rahmat]] adalah seorang Jenderal TNI AD yang berperan besar dalam geger tahun 1965 serta menjadi saksi penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pada peristiwa [[G30S/Gestok Tahun 1965|G30S]] tahun 1965, beliau merupakan negosiator yang berhasil merangkul kembali pasukan batalyon yang terpedaya [[G30S/Gestok Tahun 1965|G30S]] sehingga tidak terjadi pertempuran berskala besar. Selain itu, pada bulan Maret tahun 1966 [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] bersama dengan [[Amir Machmud|Jenderal Amir Machmud]] dan M. Jusuf bertemu dengan [[Sukarno|Presiden Sukarno]] untuk membahas kondisi politik yang semakin kacau akibat [[G30S/Gestok Tahun 1965|Gerakan 30 September]]. Saat itu ketiganya membawa dokumen yang sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia, yaitu Surat Perintah Sebelas Maret. Dengan ditandatanganinya Supersemar, kekuasaan atas pemerintahan republik Indonesia beralih dari [[Sukarno|Presiden Sukarno]] ke Mayjen Suharto.


Basuki Rahmat lahir pada tanggal 4 November 1921 di Tuban, Jawa Timur, dari pasangan Raden Soenodihardjo dan Soeratni (Said dan Wulandari, 1995: 69). Ibunda Basuki Rahmat meninggal pada saat ia berumur empat tahun.  Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Basuki Rahmat melanjutkan sekolah ke SMA Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia mulai berpindah ke bidang militer setelah kedatangan Jepang di Indonesia, bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) dan mendapatkan pangkat ''Shodanco''. Setelah Jepang hengkang dan PETA dibubarkan, Basuki Rahmat bergabung dengan TKR yang saat itu baru terbentuk. Basuki Rahmat kemudian ditempatkan di KODAM VII/Brawijaya, dikenal juga sebagai Wilayah Militer V/Brawijaya. Karir militer Basuki Rahmat terbilang cemerlang. Pada tahun 1953 ia sudah menjabat sebagai Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium V/Brawijaya. Pada tahun 1962 ia diangkat menjadi panglima KODAM VII/Brawijaya. Dengan demikian Basuki Rahmat menjadi panglima atas Batalyon 530. Latar belakang inilah yang di kemudian hari berperan penting pada kontribusinya dalam memadamkan pemberontakan G30S.
[[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] lahir pada tanggal 4 November 1921 di Tuban, Jawa Timur, dari pasangan Raden Soenodihardjo dan Soeratni (Said dan Wulandari, 1995: 69). Ibunda [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] meninggal pada saat ia berumur empat tahun.  Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] melanjutkan sekolah ke SMA Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia mulai berpindah ke bidang militer setelah kedatangan Jepang di Indonesia, bergabung dengan Pembela Tanah Air ([[PETA]]) dan mendapatkan pangkat ''Shodanco''. Setelah Jepang hengkang dan [[PETA]] dibubarkan, [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] bergabung dengan TKR yang saat itu baru terbentuk. [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] kemudian ditempatkan di KODAM VII/Brawijaya, dikenal juga sebagai Wilayah Militer V/Brawijaya. Karir militer [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] terbilang cemerlang. Pada tahun 1953 ia sudah menjabat sebagai Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium V/Brawijaya. Pada tahun 1962 ia diangkat menjadi panglima KODAM VII/Brawijaya. Dengan demikian [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] menjadi panglima atas Batalyon 530. Latar belakang inilah yang di kemudian hari berperan penting pada kontribusinya dalam memadamkan [[G30S/Gestok Tahun 1965|pemberontakan G30S]].


Menjelang tahun 1965 tensi politik di Indonesia semakin panas dan gesekan antar kelompok semakin kuat. Basuki Rahmat adalah salah seorang tokoh Angkatan Darat yang cukup waspada terhadap pergerakan-pergerakan PKI. Basuki Rahmat bahkan melakukan pengawasan terhadap pergerakan PKI di Jawa Timur dan sempat melaporkannya ke Jenderal Ahmad Yani pada bulan September 1965. Pada saat pemberontakan Gerakan 30 September meletus pada pagi hari tanggal 1 Oktober Basuki Rahmat diberi tahu oleh Mabes AD tentang penculikan yang terjadi pada malam sebelumnya dan bergegas melakukan pengawasan. Ia ditemani seorang ajudannya berkeliling kota dengan mengendarai mobil. Pada saat itulah ia mendapati Istana Kepresidenan dijaga oleh sekelompok pasukan tanpa identitas. Ia juga menyadari bahwa pasukan tanpa identitas itu ternyata adalah pasukannya dari Jawa Timur, Batalyon 530. Setelah mendapatkan informasi tersebut, Basuki Rahmat kemudian kembali pulang (Hadi dkk., 2017; Ricklefs, 2005).
Menjelang tahun 1965 tensi politik di Indonesia semakin panas dan gesekan antar kelompok semakin kuat. [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] adalah salah seorang tokoh Angkatan Darat yang cukup waspada terhadap pergerakan-pergerakan [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]]. [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] bahkan melakukan pengawasan terhadap pergerakan [[Partai Komunis Indonesia (1920-1966)|PKI]] di Jawa Timur dan sempat melaporkannya ke [[Ahmad Yani|Jenderal Ahmad Yani]] pada bulan September 1965. Pada saat [[G30S/Gestok Tahun 1965|pemberontakan Gerakan 30 September]] meletus pada pagi hari tanggal 1 Oktober [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] diberi tahu oleh Mabes AD tentang penculikan yang terjadi pada malam sebelumnya dan bergegas melakukan pengawasan. Ia ditemani seorang ajudannya berkeliling kota dengan mengendarai mobil. Pada saat itulah ia mendapati Istana Kepresidenan dijaga oleh sekelompok pasukan tanpa identitas. Ia juga menyadari bahwa pasukan tanpa identitas itu ternyata adalah pasukannya dari Jawa Timur, Batalyon 530. Setelah mendapatkan informasi tersebut, [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] kemudian kembali pulang (Hadi dkk., 2017; Ricklefs, 2005).


Mayor Jenderal Suharto kemudian meminta Basuki Rahmat untuk melakukan negosiasi kepada Batalyon 530 yang terlibat G 30 S agar menyerahkan diri sebelum pukul 18.00 WIB. Jika tidak, maka akan diambil tindakan keras atas pasukan Batalyon 530 itu. Pukul 16.00, dua jam sebelum tenggat waktu ultimatum Mayjen Soeharto dan Basuki Rahmat berhasil merangkul kembali pasukan Batalyon 530 sehingga pertumpahan darah dapat dihindari. Basuki Rahmat menggunakan pendekatan yang humanis dan menghormati pasukan Batalyon 530 sehingga pasukan itu mau menyerahkan diri (Hadi dkk., 2017).
Mayor Jenderal Suharto kemudian meminta [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] untuk melakukan negosiasi kepada Batalyon 530 yang terlibat [[G30S/Gestok Tahun 1965|G 30 S]] agar menyerahkan diri sebelum pukul 18.00 WIB. Jika tidak, maka akan diambil tindakan keras atas pasukan Batalyon 530 itu. Pukul 16.00, dua jam sebelum tenggat waktu ultimatum Mayjen [[Soeharto]] dan [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] berhasil merangkul kembali pasukan Batalyon 530 sehingga pertumpahan darah dapat dihindari. [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] menggunakan pendekatan yang humanis dan menghormati pasukan Batalyon 530 sehingga pasukan itu mau menyerahkan diri (Hadi dkk., 2017).


Kapasitas militer Basuki Rahmat sebagai perwira tidak dapat diragukan. Pada sebuah rapat antara Presiden Sukarno dan perwira-perwira militer terkait pengangkatan Panglima Angkatan Darat yang baru, nama Basuki Rahmat juga sempat disebutkan sebagai calon yang mumpuni, walaupun pada akhirnya ia tidak terpilih (Ricklefs, 2005). Basuki Rahmat meninggal pada tanggal 8 Januari 1969 dan dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata. Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Basuki Rahmat mendapatkan gelar Anumerta dan dinaikkan pangkatnya satu pangkat.
Kapasitas militer [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] sebagai perwira tidak dapat diragukan. Pada sebuah rapat antara [[Sukarno|Presiden Sukarno]] dan perwira-perwira militer terkait pengangkatan Panglima Angkatan Darat yang baru, nama [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] juga sempat disebutkan sebagai calon yang mumpuni, walaupun pada akhirnya ia tidak terpilih (Ricklefs, 2005). [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] meninggal pada tanggal 8 Januari 1969 dan dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata. Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, [[Basuki Rahmat, Mayor Jenderal|Basuki Rahmat]] mendapatkan gelar Anumerta dan dinaikkan pangkatnya satu pangkat.


Penulis: Muhammad Asyrafi
Penulis: Muhammad Asyrafi

Revision as of 22:04, 31 July 2023

Mayor Jenderal Basuki Rahmat adalah seorang Jenderal TNI AD yang berperan besar dalam geger tahun 1965 serta menjadi saksi penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pada peristiwa G30S tahun 1965, beliau merupakan negosiator yang berhasil merangkul kembali pasukan batalyon yang terpedaya G30S sehingga tidak terjadi pertempuran berskala besar. Selain itu, pada bulan Maret tahun 1966 Basuki Rahmat bersama dengan Jenderal Amir Machmud dan M. Jusuf bertemu dengan Presiden Sukarno untuk membahas kondisi politik yang semakin kacau akibat Gerakan 30 September. Saat itu ketiganya membawa dokumen yang sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia, yaitu Surat Perintah Sebelas Maret. Dengan ditandatanganinya Supersemar, kekuasaan atas pemerintahan republik Indonesia beralih dari Presiden Sukarno ke Mayjen Suharto.

Basuki Rahmat lahir pada tanggal 4 November 1921 di Tuban, Jawa Timur, dari pasangan Raden Soenodihardjo dan Soeratni (Said dan Wulandari, 1995: 69). Ibunda Basuki Rahmat meninggal pada saat ia berumur empat tahun.  Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Basuki Rahmat melanjutkan sekolah ke SMA Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia mulai berpindah ke bidang militer setelah kedatangan Jepang di Indonesia, bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) dan mendapatkan pangkat Shodanco. Setelah Jepang hengkang dan PETA dibubarkan, Basuki Rahmat bergabung dengan TKR yang saat itu baru terbentuk. Basuki Rahmat kemudian ditempatkan di KODAM VII/Brawijaya, dikenal juga sebagai Wilayah Militer V/Brawijaya. Karir militer Basuki Rahmat terbilang cemerlang. Pada tahun 1953 ia sudah menjabat sebagai Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium V/Brawijaya. Pada tahun 1962 ia diangkat menjadi panglima KODAM VII/Brawijaya. Dengan demikian Basuki Rahmat menjadi panglima atas Batalyon 530. Latar belakang inilah yang di kemudian hari berperan penting pada kontribusinya dalam memadamkan pemberontakan G30S.

Menjelang tahun 1965 tensi politik di Indonesia semakin panas dan gesekan antar kelompok semakin kuat. Basuki Rahmat adalah salah seorang tokoh Angkatan Darat yang cukup waspada terhadap pergerakan-pergerakan PKI. Basuki Rahmat bahkan melakukan pengawasan terhadap pergerakan PKI di Jawa Timur dan sempat melaporkannya ke Jenderal Ahmad Yani pada bulan September 1965. Pada saat pemberontakan Gerakan 30 September meletus pada pagi hari tanggal 1 Oktober Basuki Rahmat diberi tahu oleh Mabes AD tentang penculikan yang terjadi pada malam sebelumnya dan bergegas melakukan pengawasan. Ia ditemani seorang ajudannya berkeliling kota dengan mengendarai mobil. Pada saat itulah ia mendapati Istana Kepresidenan dijaga oleh sekelompok pasukan tanpa identitas. Ia juga menyadari bahwa pasukan tanpa identitas itu ternyata adalah pasukannya dari Jawa Timur, Batalyon 530. Setelah mendapatkan informasi tersebut, Basuki Rahmat kemudian kembali pulang (Hadi dkk., 2017; Ricklefs, 2005).

Mayor Jenderal Suharto kemudian meminta Basuki Rahmat untuk melakukan negosiasi kepada Batalyon 530 yang terlibat G 30 S agar menyerahkan diri sebelum pukul 18.00 WIB. Jika tidak, maka akan diambil tindakan keras atas pasukan Batalyon 530 itu. Pukul 16.00, dua jam sebelum tenggat waktu ultimatum Mayjen Soeharto dan Basuki Rahmat berhasil merangkul kembali pasukan Batalyon 530 sehingga pertumpahan darah dapat dihindari. Basuki Rahmat menggunakan pendekatan yang humanis dan menghormati pasukan Batalyon 530 sehingga pasukan itu mau menyerahkan diri (Hadi dkk., 2017).

Kapasitas militer Basuki Rahmat sebagai perwira tidak dapat diragukan. Pada sebuah rapat antara Presiden Sukarno dan perwira-perwira militer terkait pengangkatan Panglima Angkatan Darat yang baru, nama Basuki Rahmat juga sempat disebutkan sebagai calon yang mumpuni, walaupun pada akhirnya ia tidak terpilih (Ricklefs, 2005). Basuki Rahmat meninggal pada tanggal 8 Januari 1969 dan dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata. Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Basuki Rahmat mendapatkan gelar Anumerta dan dinaikkan pangkatnya satu pangkat.

Penulis: Muhammad Asyrafi


Referensi

Kuncoro Hadi, dkk. Kronik ’65 Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S Sebelum Hingga Setelahnya (1963-1971). Yogyakarta: Media Pressindo, 2017.

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2005.

Said, Julinar, and Triana Wulandari. Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Sub Direktorat Sejarah Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995.