Ahmad Yani

From Ensiklopedia
Ahmad Yani. Sumber: Reproduksi dari buku 30 tahun Indonesia Merdeka


Ahmad Yani adalah pahlawan revolusi dan tokoh militer penting yang pernah menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat di bawah pemerintahan Sukarno. Ia lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah, anak laki-laki pertama dari pasangan Sardjo bin Suhardjo dan istrinya Murtini. Ayahnya bekerja sebagai supir pribadi keluarga Jans Hulstijn, seorang Belanda yang menjabat sebagai administrateur di Purworejo. Pendidikan Ahmad Yani mulai tahun 1928 di Hollandsch  Inlandsche School (HIS), atas bantuan Jans Hulstijn. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Onderwijs (MULO) di Bogor selama tiga tahun (1935–1938). Pada tahun 1938, Ahmad Yani berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Algemene Middelbare School (AMS)  B untuk  ilmu-ilmu pasti (Salim, 2016: 15).

Namun, pendidikannya di AMS-B hanya berlangsung hingga tahun ke-2. Ahmad Yani tertarik di bidang militer. Maka saat pemerintah Hindia Belanda  mengeluarkan himbauan kepada kaum muda untuk turut dalam upaya pembelaan wilayah dari serbuan Jepang, ia memutuskan untuk bergabung pada pendidikan milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) pada angkatan yang ke-3 tahun 1940. Ia menempuh pendidikannya militernya selama enam bulan di Magelang pada Aspurant Militan Topografie Dienst (Dinas Milisi Topografi). Untuk menambah ilmunya di bidang topografi, Yani dikirim ke Malang, Jawa Timur mengikuti pendidikan lanjutan selama enam bulan. Pada tahun 1941 Ahmad Yani diperintahkan untuk mengikuti pendidikan basis kemiliteran atau Lerling Kadet Militent Dienst yang berlangsung selama tiga bulan di Bogor. Kemudian, ia bertugas di Bandung dan berpangkat sersan. (Salim, 2016:18-19).

Pada Maret 1942, Ahmad Yani ditangkap oleh tentara Jepang karena menjadi bagian dari pasukan Hindia Belanda. Namun, berstatus tentara pribumi, ia akhirnya dilepaskan. Setelah bebas, Ahmad Yani kembali ke kampungnya dan memutuskan untuk mengikuti kursus mengetik di Purworejo. Salah satu guru kursus mengetiknya adalah Yayu Rulia Subandiah yang akhirnya menjadi istrinya.  Setahun kemudian Ahmad Yani memutuskan untuk masuk Heiho, kesatuan militer yang dibentuk oleh Jepang. Ia kemudian mendapatkan pangkat Shodancho (Komandan Kompi). Lalu, pada tahun 1944 ia dipindahkan ke Magelang dengan jabatan sebagai Komandan Seksi I Batalyon (Daidan) II Magelang (Salim, 2016: 20-21).

Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Ahmad Yani berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Kemudian, ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Ahmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. (Sugiarto, dkk, 2021:3).

Pada bulan Oktober 1945, Batalyon 4 yang dipimpin Ahmad Yani terlibat dalam suatu pertempuran dengan pasukan Inggris di Banyubiru, Ambarawa. Pertempuran ini dikenang dan populer sebagai bagian dari peristiwa Palagan Ambarawa. Pasukan yang dipimpin Ahmad Yani berhasil memukul mundur pasukan Inggris ke Semarang dengan meninggalkan perlengkapan dan persenjataannya. Pasukan Ahmad Yani terus mengejar sehingga terjadi pertempuran di Lapangan Banten, Semarang.  Ahmad Yani tidak hanya memiliki kemampuan  di bidang militer tetapi juga handal di bidang diplomasi. Ia menjadi anggota delegasi dalam perundingan mengenai penentuan garis demarkasi antara daerah Republik Indonesia dan Belanda sebagai bagian dari perundingan Linggarjati (Salim, 2016: 23-24)

Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi Letnan Kolonel pada saat penerimaan jabatan barunya sebagai Komandan Wehrkreise II. Ia juga diserahi tugas bergerilya di Gunung Merapi, Merbabu dan juga Sumbing. Aksi gerilya yang dilakukan oleh kesatuannya mendatangkan kesulitan bagi musuh. Pihak Belanda berupaya untuk bisa mengunci pasukan Ahmad Yani, namun selalu gagal karena strategi perang gerilyanya yang cerdik. Kehebatan Ahmad Yani dan pasukannya ini diakui oleh Kolonel van Zanten, Komandan pasukan Belanda  untuk Magelang dan sekitarnya. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pasukan yang dipimpin oleh Ahmad Yani turun gunung dan kembali ke kota.

Pengabdian Yani sebagai perwira ditunjukkan dengan kehebatannya dalam memimpin pemberantasan pemberontakan AUI dan DI/TII di Jawa Tengah. Pada tahun 1950 Ahmad Yani sebagai Komandan Brigade turun secara langsung ke medan perang untuk menghadapi pemberontakan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu. Dalam waktu singkat ia dan pasukannya berhasil memukul mundur para pemberontak dan pimpinan AUI tewas dalam pertempuran. Tak berselang lama, pada tahun 1951, muncul pemberontakan yang lebih besar dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Amir Fatah di Jawa Tengah. Pemberontakan tersebut berlangsung cukup lama, yakni dari tahun 1952-1954. Ahmad yani kemudian berhasil menumpas perlawanan DI/TII dengan bantuan pasukan khusus yang dibentuknya dan dikenal sebagai “Benteng Raiders”.

Setelah pemberontakan DI/TII Amir Fatah berhasil ditumpas maka Pasukan Raiders semakin melambung dan Ahmad Yani kembali menjalankan tugas keseharian sebagai Komandan Infanteri XII di Purwokerto (Salim, 2016: 32). Setahun kemudian, Letnan Kolonel Ahmad Yani mendapat tugas dari Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD) untuk menjalani pendidikan keluar negeri yakni Command and General Staff College (CSGC) di Forth Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. CSGC merupakan sebuah pusat pendidikan militer dan perwira paling bergengsi serta prestisius di Amerika Serikat. Ia kemudian menyelesaikan seluruh tugas pendidikannya pada tahun 1956. Kemudian, setelah kembali ke tanah air, Ahmad Yani lalu mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Asisten II KASAD (Kepala Satuan Angkatan Darat). Setelah satu tahun bertugas di Mabes, tepatnya pada tahun 1957, Ahmad Yani mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Kolonel (Salim, 2016: 33).

Ketika berpangkat Kolonel, Ahmad Yani ditunjuk sebagai pemimpin Operasi 17 Agustus dengan tugas khusus mengamankan daerah Sumatra Barat yang merupakan jantung pusat pemberontakan. Perlawanan itu disebut sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara sekitar tahun 1958. Pemberontakan itu berhasil ditumpas dengan waktu yang cukup singkat yakni kurang dari satu bulan. (Komandoko, 2007:40). Pada tahun 1960 dalam usianya yang ke-38 tahun, Ahmad Yani mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal. Masih di tahun yang sama pula ia mendapatkan kepercayaan untuk dipromosikan menjadi Wakil KASAD. Selang satu tahun, yakni pada 1961, Ahmad yani kembali mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal (Salim, 2016: 46).

Pada April 1961 pemerintah membentuk satuan untuk memuluskan rencana operasi militer di Papua Barat akibat sifat keras kepala pihak Belanda yang terus bersikeras tak ingin melepaskan Papua Barat kepada Indonesia. Satuan itu disebut sebagai Gabungan Kepala Staf (GKS), yang mana Ahmad Yani sendiri merupakan utusan dari Angkatan Darat bersama Brigjen Soeharto. Lalu pada 14 Desember 1961 dibentuklah KOTI Pemirbar (Komando Operasi Tertinggi Pembebasan Irian Barat). Ahmad Yani memegang jabatan sebagai Kepala Staf KOTI. Kemudian, tepat pada 19 Desember 1961, Sukarno mengeluarkan satu Komando pembebasan yang dinamakan Trikora (Tiga Komando Rakyat) (Salim, 2016: 50-51).

Akhirnya pada 23 Juni 1962, Mayor Jenderal Ahmad Yani dilantik menjadi KSAD yang menggantikan Jenderal Nasution. Dengan demikian dalam usianya yang ke-40 tahun ia berhasil menduduki jabatan tertinggi dari Korps Angkatan Darat. Setelah itu muncul isu “Dewan Jenderal” pada bulan Mei 1965. Isu tersebut membuat gaduh masyarakat dengan penemuan dokumen yang menyatakan bahwa Dewan Jenderal telah bekerja sama dengan CIA, Central Intelligence Agency, Amerika Serikat untuk melakukan kudeta terhadap kekuasaan Bung Karno. Kemudian, isu tersebut diperparah dengan beredarnya berita tentang kondisi kesehatan Sukarno yang memburuk. Ahmad Yani kemudian menjelaskan kebenaran dari isu tersebut langsung kepada Bung Karno dan menyatakan bahwa personil AD patuh dan akan selalu berada di belakang Sukarno (Salim, 2016: 67-68).

Tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00-04.00 terjadi kegaduhan di kediaman Ahmad Yani. Segerombolan pasukan berseragam Cakrawibawa menerobos masuk kedalam rumah. Tak lama setelah itu terdengar berondongan senjata yang tertuju kepada Letjen Ahmad Yani, ia akhirnya tertembak di depan kamarnya yang disaksikan oleh anak-anaknya. Segerombolan pasukan itu lalu menyeret jenazah Ahmad Yani keluar dan membawanya ke suatu tempat yang bernama Lubang Buaya di Kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Gerombolan yang menamakan diri sebagai “Gerakan 30 September” dan dipimpin oleh Letkol Untung Samsuri serta diduga didalangi oleh PKI juga menculik dan membunuh beberapa jenderal dan pejabat di lingkungan AD. Akhirnya, pada 4 Oktober, ketujuh jasad ditemukan dan diautopsi. Lalu pada 5 Oktober, bertepatan dengan hari ABRI ke-20, para perwira yang gugur dan juga Ahmad Yani dikebumikan dalam satu upacara kebesaran militer dari Mabes AD menuju Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta. (Salim, 2016: 70-74).

Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi 

Salim, Agus. 2007. Jenderal (TNI) Anumerta Ahmad Yani “Sang Perwira ditengah Badai Revolusi”. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia.

Sugiarto, R. Too, dkk. 2021. Ahmad Yani (1922-1965) hingga D.I Pandjaitan (1925-1965). Hikma Pustaka.

Komandoko, Gamal. 2007. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Jogjakarta: Pustaka Widyatama.