Noto Suroto: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 31: | Line 31: | ||
''1600-1950''. Jakarta: KPG-KILTV. | ''1600-1950''. Jakarta: KPG-KILTV. | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tokoh]] | [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 11:23, 9 August 2023
R.M. Noto Suroto (Noto Soeroto) adalah penulis, budayawan, dan penganjur politik asosiasi antara Timur dan Barat pada masa kolonial. Ia lahir di Keraton Pakualaman Yogyakarta pada 5 Juni 1888 dan wafat di Surakarta, 25 November 1951. Ia adalah cucu Paku Alam V (1833/1835-1900). Oleh karena itu ia masih memiliki hubungan kerabat dengan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) yang merupakan saudara sepupunya. Ayah Noto Suroto bernama Pangeran Ario Notodirodjo (1858-1917), salah seorang pendiri Boedi Oetomo yang menjadi ketua organisasi tersebut pada 1912. Ibundanya bernama Raden Ajeng Fatima (Karels, 2008:25).
Noto Suroto menyelesaikan H.B.S (Hogere Burger School) di Semarang. Pada 1906 ia lalu pergi Belanda untuk melanjutkan pendidikan menengah di Den Haag, Belanda. Setelah lulus ujian negara, ia melanjutkan belajar ilmu hukum di Universitas Leiden. Pada bulan Juni 1911 ia menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum (Poeze, 2014: 66).
Minat jurnalistik Noto Suroto tumbuh di Belanda dan pada 1909 ia mulai mengirimkan sejumlah artikel ke surat kabar-surat kabar di Belanda, antara lain Nieuwe Rotterdamsche Courant. Ia menulis artikel panjang mengenai berbagai masalah Hindia-Belanda. Dari sejumlah artikel yang ia tulis, ada tema tertentu yang paling menonjol. Menurutnya baik Belanda maupun Hindia-Belanda untuk sementara berkepentingan untuk menjaga ikatan di antara keduanya. Belanda sebagai negeri pelindung harus membimbing Hindia (Poeze, 2014: 67).
Pentingnya kerjasama antara Belanda dengan Hindia-Belanda selalu dibicarakan oleh Noto Suroto yang menurutnya demi emansipasi Jawa dan baginya sama dengan Hindia. Oleh karena itu perselisihan lama di antara orang Jawa harus digantikan dengan kerjasama atas dasar kesadaran nasional. Untuk memajukan Jawa harus dikembangkan perdagangan dan industri Jawa sendiri sehingga modal dapat dibentuk yang akhirnya dapat membawa kesejahteraan untuk rakyat. Berulang kali ia menulis mengenai upaya memajukan perhimpunan dagang, perlunya mendirikan sekolah-sekolah pertukangan, memajukan perikanan laut dan pelayaran. Ia berpendapat perpaduan antara kekuatan fisik dan mental dapat menjadi jaminan terbaiknya tumbuhnya kesejahteraan (Poeze, 2014: 70-71).
Noto Suroto turut aktif dalam Indische Vereeniging yang dibentuk pada tahun 1908. Dalam pidatonya tahun 1911 ia menyatakan bahwa Indische Vereeniging dibentuk sebagai kelompok pendukung para mahasiswa Hindia, sarana untuk membangun solidaritas antar mahasiswa, saling membantu serta sarana untuk menyampaikan kabar dari tanah air ketika mereka sedang menjalani kehidupan belajar di Leiden, Amsterdam, dan Rotterdam yang terkadang keras, dingin, kelabu, dan suram. Rasa kebersamaan asal para mahasiswa membuat mereka merasa sebagai ‘saudara sebangsa’. Bahkan salah satu saran untuk mendirikan cabang Boedi Oetomo pernah ditolak. Menurut Noto Suroto dalam artikel di Bandera Wolanda 1909, perkumpulan yang dibentuk seharusnya tidak hanya beranggotakan orang Jawa, melainkan semua suku di Hindia-Belanda seperti orang Sumatra, Ambon, Manado (Poeze, 1986: 65, 75).
Noto Suroto juga aktif menulis puisi. Antara tahun 1915-1931 ia menerbitkan tujuh bundel puisi. Karya puisi pertamanya adalah Melati Knoppen (Kuncup-kuncup Melati) pada 1915 dan karya puncaknya Wayang-liederen pada 1931 (Kerdijk, 2002: 21). Hasil perbincangannya dengan Rabindranath Tagore juga dibukukan dengan judul Tagore Opvoedingen (1921), Tagore, Leerschool van den papegaai dan Toespraken in Shantinikiten (1922). Pada 1923 ia menerbitkan majalah Oedaya untuk menampung usaha persahabatan dan kerja sama antara Belanda dan Hindia.
Berbeda dengan kaum Nasionalis di Indonesia yang memilih jalur revolusi untuk mencapai kemerdekaan, Noto Suroto menganjurkan sintesa antara Belanda dan Indonesia. Bahkan ia menjadi ketua kehormatan, Nederlandsch-Indonesich Verbond (N.I.V), perkumpulan dengan anggota dari kedua bangsa (Kerdijk, 2002: 24).
Pada 1932 Noto Suroto kembali ke Hindia, meninggalkan keluarganya di Belanda. Namun, masa depresi, munculnya fasisme di Eropa, dan nasionalisme di Hindia membuatnya gagal mendapatkan dukungan secara politik dan sosial. Ia lalu lebih berkonsentrasi di Mangkunegaran sebagai sekretaris pribadi Mangkunegoro VII dan kegiatan-kegiatan intelektual dan budaya. Sekembalinya dari Belanda pada 1937 membuat Noto Suroto yang kembali berpisah dengan keluarganya depresi berat. Pada 1939 ia menyusun Het Triwindoe Gedenkboek Mangku Negoro VII, karya epik dalam 600 halaman yang memuat 165 artikel dari seluruh teman Mangkunegoro VII baik di Hindia maupun Belanda. Wafatnya Mangkunegoro VII secara mendadak pada 1944 dan naiknya penguasa baru membuat Noto Suroto terbuang dari pergaulan istana. Pada masa kemerdekaan, Noto Suroto semakin tersisih dari teman-temannya. Ia masih sempat menghidupkan kembali majalah Oedaya dengan nama baru Udaya pada bulan Mei 1949 namun hanya bertahan dua tahun karena kekurangan biaya. Menjelang masa akhir hidupnya ia tetap masih aktif menulis di beberapa surat kabar, antara lain De Locomotief (Kerdijk, 2002: 32-33).
Penulis: Ahmad Sunjayadi
Referensi
Karels, René B. (2008). Mijn Aardse Leven Vol Moeite en Strijd. Raden Mas Noto
Soeroto Javaan, Dichter, Politicus 1888-1951. Disertasi Universiteit van Amsterdam.
Kerdijk, Rosa M.T. (2002). Wayang Liederen. Biografi Politik Budaya Noto Soeroto.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Poeze, Harry A. (2014). Di Negeri Penjajah. Orang Indonesia di Negeri Belanda
1600-1950. Jakarta: KPG-KILTV.