Perhimpunan Indonesia

From Ensiklopedia

Embrio organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda adalah Indische Vereeniging (IV) yang didirikan pada 25 Oktober 1908 dengan ketuanya Sutan Kasayangan Soripada dan wakil sekaligus bendahara R. M. Sumitro. Organisasi ini baru diumumkan secara resmi pada 15 November 1908 di restoran “Oost en West” Kota ‘s-Gravenhage. Empat belas tahun kemudian namanya diubah menjadi Indonesische Vereniging dan pada tahun 1925 menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Nama majalahnya juga ikut berubah, dari Hindia Poetra yang mulai terbuit 1916 menjadi Indonesia Merdeka pada 1924 (Hatta 2011: 226; Sagimun 1989: 121-122).    

Tahap perkembangan organisasi ini dibagi empat: pencarian arah (1908-1913), pikiran baru menuju politik (1913-1919), kerja sama politik (1919-1923), dan politik non-kooperasi (1923-1928) (Hatta 1976: 26-36). Pada tahap pertama organisasi ini merupakan wadah untuk bersilaturrahmi dan membicarakan berbagai hal tentang kondisi tanah air. Sejak tahap kedua, seiring kedatangan tokoh Tiga Serangkai dari Indonesia (R.M. Suardhi Surjaningrat, Tjipto Mangoenkusoemo, dan Douwes Dekker), tumbuh kesadaran untuk memperluas orientasi ke arah politik. Pada tahap ketiga, IV bergabung dalam Indonesische Verbond, suatu perkumpulan yang terdiri atas organisasi mahasiswa Indonesia, Belanda, dan Tionghoa. Kendati sudah bergabung, perbedaan pandangan dan sikap antara mahasiswa Indonesia dan Belanda tidak dapat dihindarkan. Perbedaan itu membuka jalan bagi lahirnya politik non-kooperasi, yang dilukiskan dengan kalimat berikut: “Selamat tinggal politik memohon dan mengemis! Selamat tinggal politik memohon restu! Selamat tinggal politik menadahkan tangan!” (Hatta 1976: 97).

Pada Januari 1925 disetujui empat program asas PI yaitu: persatuan nasional, mengesampingkan perbedaan antar kelompok dan mewujudkan suat aksi massa nasionalis yang sadar dan berdiri atas kekuatan sendiri; solidaritas, turut sertanya semua lapisan bangsa Indonesia dalam perjuangan bersama mencapai kemerdekaan; non-kooperasi, mempertajam dan menekankan pertentangan antara pihak penjajah dan yang dijajah; dan self-help, bekerja keras agar hubungan-hubungan rohani dan jasmani menjadi normal (Hatta 1976: 124-125. Prinsip tersebut dijadikan sebagai inti ideologi pergerakan yang disebarluaskan oleh PNI di Indonesia. Selain pernyataan pemberontakan terhadap ide-ide yang lebih moderat dari berbagai organisasi pergerakan di tanah air, seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam, prinsip tersebut merupakan pemberontakan terhadap paternalisme pemerintah Belanda yang merendahkan martabat dan kebudayaan, bahasa, serta pendapat orang Indonesia (Ingleson 1993: 16).

Pengurus PI membangun hubungan dengan mahasiswa-mahasiswa dari negeri-negeri yang dijajah di Asia dan Afrika yang belajar di Eropa (Paris, London, Berlin, Wina, dan Moskow). Mereka aktif memperkenalkan Indonesia melalui forum-forum internasional, antara lain “Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial” di Brussel pada 15-20 Februari 1927. Delegasi Indonesia dipimpin Ketua PI Mohammad Hatta (1926-1930) dan anggotanya adalah Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Tarumihardjo, dan Abdul Manaf. Sebelum kongres ditutup, dimufakati mendirikan organisasi baru yang akan meneruskan usaha liga dengan nama “Liga Menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional Rakyat Terjajah”. Hatta terpilih untuk duduk dalam prisidium liga tersebut (Hatta 2011: 273-277).

Gerakan non-koperasi dan perluasan jaringan perjuangan PI di Benua Eropa menimbulkan reaksi dari pemerintah Belanda. Satu demi satu anggota PI ditangkap. Hatta ditangkap pada 23 September 1927, kemudian Nazir Pamontjak, Ali Sastraoamidjojo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Pada 9 Maret 1928, Hatta menyampaikan pembelaan di depan Mahkamah dengan pidato berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Pada 22 Maret, hakim mengangap mereka tidak terbukti bersalah seperti dituduhkan, mereka dibebaskan dari tahanan.

Setelah kejadian itu pengurus PI menyelesaikan studi dan kembali ke tanah air. Para ketua PI di Belanda adalah: Sutomo (1920-1921), Herman Kartowisastro (1921-1922), Iwa Kusuma Sumantri (1922-1923), Nazir Datuk Pamuntjak (1923-1924), Sukiman Wiryosandjoyo (1924-1925), dan Mohammad Hatta (1926-1930) (Djoyoadisuryo 1978: 117). Tokoh-tokoh PI lain adalah Sartono, Soenario, Ishaq Cokroadisuryo, Budiarto, Ahmad Soebardjo, Samsi, Soekiman, dan Ali Sastroamidjojo (Sagimun 1989: 141-148). Mereka aktif dalam berbagai organisasi pergerakan nasional seperti PNI, PPPI, dan Pemuda Indonesia. Mereka menjadi aktor penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Djoyodisuryo, A.S (1978) Kesadaran Nasional: Otobiografi Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo. Jakarta: Gunung Agung.

Hatta, Mohammad (1976) Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang.

Hatta, Mohammad (2011) Untuk Negeriku: sebuah Otobiografi Jilid 1. Jakarta: Kompas.

Ingleson, John (1993) Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sagimund MD (1989) Peranan Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi. Jakarta: Bina Aksara.