Marco Kartodikromo: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 38: | Line 38: | ||
Taman Pewarta, 2 Maret 1914 | Taman Pewarta, 2 Maret 1914 | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tokoh]] | [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 15:10, 9 August 2023
Marco Kartodikromo adalah jurnalis dan aktivis pergerakan antikolonial awal abad ke-20. Ia lahir di Blora tahun 1890, ia lahir dari golongan keluarga priayi berpangkat rendah, ayahnya bekerja sebagai kepala desa. Sewaktu berusia 15 tahun, Marco sudah mulai bekerja di Nederlandsch Indische Spoorweg, Perusahaan Kereta Api Nasional Hindia Belanda di Semarang. Namun, tahun 1911, ia memilih untuk meninggalkan perusahaan tersebut karena merasa tidak nyaman dengan kebijakan rasis yang ada di sana. Marco Kartodikromo kemudian pergi ke Bandung dan bekerja di Medan Prijaji, surat kabar yang dikelola Tirto Adho Soerjo selama satu tahun. Di tempat ini, ia diajari Tirto bekerja sebagai seorang wartawan. Akan tetapi, tahun 1912, surat kabar tersebut ditutup oleh Belanda. Marco lantas pergi ke Surakarta.
Karir jurnalistik Marco mulai terbentuk ketika dirinya menjadi redaktur surat kabar Medan Prijaji, disana ia termasuk salah satu didikan R.M Tirtoadisoerjo. Di dalam Medan Prijaji Marco juga bertemu dengan Goenawan seorang yang kemudian menjadi pendiri Sarekat Islam (SI) Cabang Batavia dan Raden Marthodarsono salah satu pencetus SI Surakarta bersama dengan Haji Samanhudi. Marco mulai meninggalkan Medan Prijaji pada awal 1912 setelah surat kabar tersebut berkali-kali terbelit masalah hukum dengan redaktur surat kabar Pewarta Pegadaian.
Marco resmi menetap di Surakarta tepatnya di Kusumoyudan pada bulan September 1912, ia terang-terangan mendukung gerakan Sarekat Islam pimpinan Haji Samanhudi. Di Surakarta Marco bekerja di surat kabar resmi milik SI Surakarta yakni Sarotomo, dan menjadi salah satu penulis yang produktif. Di dalam Sarotomo itulah Marco kerap mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda, sehingga pemerintah berkali-kali berpikir untuk menghentikan penerbitan Sarotomo dan membubarkan kepengurusan SI di Surakarta.
Salah satu yang menjadi bahan kritik Marco adalah Dr. Rinkes, seorang penasehat bumiputra dan Arab yang bekerja mewakili pemerintah Hindia Belanda. Dr. Rinkes menilai SI Surakarta adalah kelompok radikal, ia menyebut Marco adalah jongos Haji Samanhudi yang segala hidup dan pekerjaanya ditanggung olehnya.
Marco Kartodikromo mulai merintis karir di Surakarta dengan menghidupkan kembali surat kabar Sarotomo dan menjadi anggota SI Surakarta. Pada 11 November 1913 Marco mulai merintis Inlandsche Journalisten Bond (IJB), sebuah perkumpulan jurnalis yang bertujuan mengentaskan buta huruf di kalangan pribumi. Salah satu produk yang dihasilkan IJB adalah terbitnya surat kabar Doenia Bergerak yang mulai terbit perdana pada 1 Januari 1914. Kantor Doenia Bergerak berdiri dekat sekretariat SI Surakarta yakni di daerah Kabangan. Beberapa tokoh yang berperan menghidupkan IJB dan Doenia Bergerak adalah Haji Bakrie, Sosroekoernio, Marthodarsono, Dhipomardjojo, Tondokoesoemo, Wirdomardjojo, Roewijo Darmobroto, dan Poespo Hadikosoemo.
Konten dalam Doenia Bergerak berbeda dengan surat kabar pada umumnya. Doenia Bergerak lebih memperlihatkan konten opini, motivasi serta seruan untuk bangkit melawan penindasan. Oleh karena itu beberapa kolumnis senior yang sudah banyak menerbitkan tulisan ikut mendukung bahkan juga menulis dalam surat kabar tersebut. Beberapa orang diantaranya adalah Darnakoesoemah redaktur De Goentoer dan R. Ayu Siti Soendari pemimpin redaktur Wanita Sworo.
Selain itu ada beberapa anonim yang aktif mengirimkan tulisan kritis seperti Jong Madioner, Toekang Gembreng, Wisanggeni, Sambermoto dan The Girl. Bahkan di kalangan Priayi yang hatinya tergerak dengan aksi-aksi Marco, mereka mulai menawarkan dirinya untuk bekerja sebagai redaktur di dalam surat kabar tersebut, seperti R. Harjo Soerjosoetanto dari pihak Mangkunegaran. Selain dari kelompok priayi, Marco sendiri telah menerima kabar bahwa ada seorang kelompok pelajar bumiputra yang sedang menuntut ilmu di Kairo, Mesir memberi dukungan pada Doenia Bergerak (Sarotomo, 1914). Sampai pada Agustus 1914 Doenia Bergerak sudah tersebar ke berbagai negeri, terutama di wilayah kekuasaan Islam seperti Jeddah, Kairo, Konstantinopel dan di eropa seperti Den Haag, dan Genewa, Swiss (Doenia Bergerak, 1914).
Pengaruh Doenia Bergerak juga berdampak pada pindahnya Tjipto Mangunkusumo ke Surakarta, meskipun faktor lain seperti ramainya Sarekat Islam dan tumbuhnya jurnalisme Islam di Surakarta juga menarik Tjipto untuk datang ke Surakarta. Pada pertengahan November 1914 Tjipto datang ke Surakarta dan menetap di dekat rumah M.Bekel Kebopanantas di Kusumoyudan, sebuah pemukiman yang dihuni oleh banyak anggota SI. Kedatangan Tjipto telah membuat Marco merasa wajib untuk merangkulnya menjadi anggota SI dan membuat pergerakan baru di Surakarta. Marco berharap Tjipto dapat menjadi dokternya SI, yang dapat membantu sesama umat Islam. Marco menjadikan Tjipto sebagai dokter yang kemudian menjadi saingan para zending agama Kristen, yang sudah lebih dahulu banyak melakukan pengobatan di Surakarta. Harapan Marco pada Tjipto juga dipicu oleh melemahnya pergerakan SI di Surakarta pada 1914, terutama setelah kongres kedua SI di Yogyakarta pada April 1914 (Sarotomo, 1914).
Selain Tjipto, juga datang seorang tokoh pergerakan dari Bandung yang bernama Darnakoesoemah (Doenia Bergerak, 1914). Sejak awal terbitnya Doenia Bergerak, Darnakoesoeah memang sudah dimasukan oleh Marco sebagai redaktur dan bertugas mengirim tulisan opini yang berasal dari Jawa Barat. Pada akhir November 1914 Darnakoesoemah pindah ke Surakarta dan menetap bersama Tjipto di Kusumoyudan. Darnakoseoemah merupakan seorang jurnalis dari surat kabar De Goentoer, sebuah media milik perkumpulan Insulinde di Bandung. Nama De Goentoer itulah yang kemudian mempengaruhi Doenia Bergerak berubah nama menjadi Goentoer Bergerak. Meskipun pada November 1914 ketika Darnakosoemah pindah ke Surakarta, Marco juga ingin mengubah nama Doenia Bergerak menjadi Hindia Moelja. Sejak kemunculan Darnakoesoemah di Surakarta, Marco sudah merencanakan agar Doenia Bergerak dicetak oleh Drukkerij Insulinde di Bandung untuk membuat kolom dalam bahasa Melayu dan Belanda.
Kerja sama antara Marco, Tjipto dan Darnakoesoemah sangat berdampak bagi pergerakan SI di Surakarta, terutama pandangan pemerintah mengenai SI itu sendiri. Sampai pada awal 1914 Surakarta sudah menjadi tempat bagi munculnya redaktur baru yang progresif, bahkan jurnalis lokal seperti Sosrokoernio, R. Soleiman dan Haji Bakrie sudah menjadi perhatian pemerintah pusat. Dalam sebuah vergadering SI di Sriwedari pada November 1914, Haji Samanhudi juga telah menyinggung masalah penggabungan beberapa surat kabar yang dirintis oleh aktivis SI Surakarta diantaranya adalah Sarotomo, Doenia Bergerak dan De Goentoer yang rencananya diserahkan oleh Darnakoesoemah untuk menjadi bagian dari pergerakan SI Surakarta. Meskipun kemudian rencana penggabungan tiga surat kabar tersebut batal terjadi, karena pihak administrasi De Gontoer konflik dengan Darnakoesomah dan tidak setuju De Gontoer digabungkan dengan surat kabar yang berhubungan dengan pergerakan SI. Bahkan alamat redaktur De Gontoer sudah berubah dan diganti ke alamat kediaman Van de Kastelee seorang ketua Insulinde Bandung. Bagi Marco, Van de Kastelee tidak berperan banyak bagi perkembangan jurnalistik, ia hanya seorang penjaga toko dan tidak berperan bagi perkembangan De Gontoer (Sarotomo, 1914).
Pengaruh Darnakoeseomah dan Tjipto cukup berpengaruh pada pemikiran Marco yang tidak jauh dari lingkungan Insulinde dan Komite Bumiputera Bandung, sebuah pergerakan yang dibentuk Tjipto bersama Suwardi Suryaningrat. Meskipun begitu pemikiran Marco juga dipengaruhi oleh kalangan santri dari Laweyan yang diisi oleh ajaran Islam sebagai ruh bagi kehidupan pribumi. Pada awal 1914, Marco sebenarnya ingin di berangkatkan ke Konstantinopel, Turki, oleh pengurus SI Surakarta untuk belajar agama Islam. Beberapa donatur sudah dikumpulkan, bahkan aktivis lokal juga mendukung keputusan tersebut yang membujuk Marco agar mau diberangkatkan ke Turki. Akan tetapi kebijakan tersebut batal, dan menghilang begitu saja. Marco pun sempat menulis dalam Doenia Bergerak yang terbit pada 10 Februari 1914 bahwa ia sendiri sebenarnya lebih khawatir mengenai kondisi perang yang ada di Turki daripada masalah keuangan (Taman Pewarta, 1914).
Penulis: Adhytiawan Suharto
Referensi
Doenia Bergerak, 15 Agustus 1914
Doenia Bergerak, 22 Agustus 1914
Sarotomo, 23 November 1914
Sarotomo, 22 Oktober 1914
Sarotomo 24 Desember 1914
Taman Pewarta, 2 Maret 1914