Ahmad Khatib Al-Minangkabawi: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
m (Text replacement - "Penulis: Martina Safitry" to "{{Penulis|Martina Safitry|UIN Raden Mas Said Surakarta|Dr. Andi Achdian, M.Si}}")
Line 30: Line 30:
Ahmad Khatib memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan belajar agama Islam di Tanah Suci. Melalui murid-murid ini terjalin hubungan dengan umat Islam di Indonesia. Di antara murid-murid Ahmad Khatib yang terkenal adalah Syekh [[Muhammad Djamil Djambek]], Haji [[Abdul Karim Amrullah]], Haji [[Abdullah Ahmad]], Haji [[Ahmad Dahlan]], Syaikh [[Sulaiman Ar-Rasuli]] dan Kyai Haji [[Hasyim Asj’ari]]. Di samping mengajarkan fikih mazhab Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk membaca tulisan-tulisan karya  pembaharu Muhammad Abduh dari Mesir yang dimuat dalam majalah ''al-Urwah al-Wusqa'' dan Afsir ''al-Manar'' (Noer, 1980: 39), yang memang menjadi sarana utama sosialisasi gagasan-gagasan pembaharuan Islam di hampir seluruh dunia Muslim (Abdullah, 2013).  
Ahmad Khatib memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan belajar agama Islam di Tanah Suci. Melalui murid-murid ini terjalin hubungan dengan umat Islam di Indonesia. Di antara murid-murid Ahmad Khatib yang terkenal adalah Syekh [[Muhammad Djamil Djambek]], Haji [[Abdul Karim Amrullah]], Haji [[Abdullah Ahmad]], Haji [[Ahmad Dahlan]], Syaikh [[Sulaiman Ar-Rasuli]] dan Kyai Haji [[Hasyim Asj’ari]]. Di samping mengajarkan fikih mazhab Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk membaca tulisan-tulisan karya  pembaharu Muhammad Abduh dari Mesir yang dimuat dalam majalah ''al-Urwah al-Wusqa'' dan Afsir ''al-Manar'' (Noer, 1980: 39), yang memang menjadi sarana utama sosialisasi gagasan-gagasan pembaharuan Islam di hampir seluruh dunia Muslim (Abdullah, 2013).  


Penulis: Martina Safitry
{{Penulis|Martina Safitry|UIN Raden Mas Said Surakarta|Dr. Andi Achdian, M.Si}}





Revision as of 13:51, 10 August 2023

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi memiliki nama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khatib Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari al- Minangkabawi. Lahir di Koto Tuo, kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat. Mengenai tahun kelahirannya terjadi perdebatan antara penulis biografinya yaitu Hamka, Abdul Jabar dan Deliar Noer. Hamka dan Abdul Jabar menyebut ia lahir pada hari Senin, 26 Mei 1860 M atau 6 Dzulhijjah 1276 H. Sedangkan Deliar Noer mengatakan ia lahir pada tahun 1885 dan wafat pada tanggal 8 Jumadil Awal 1334 H/1916 M (Abdullah, 2013: 281; Ilyas, 2017: 88, dan Wirman, 2017: 163).

Ayahnya bernama Buya Abdul Latif adalah seorang ulama yang terpandang dan salah seorang pejuang Perang Padri. Ketika Ahmad Khatib masih muda, ia diajak ayahnya untuk pergi ke Tanah Suci melaksanakan ibadah haji dan mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an. Ibunya bernama Limbak Urai (Aminah) binti Tuanku Nan Rancak , seorang yang berasal dari Koto Tuo Balai Gurah (Ahsin, 2020: 64; Ilyas, 2017: 88). Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah anak pertama dari lima bersaudara yakni H. Mahmud, H. Hafsah, H. Aisyah, H. Safiah. Ia memiliki hubungan keluarga dengan H. Agus Salim dari pihak ayah, dan bersaudara dengan H. Thaher Jalaluddin dari pihak ibu. H. Thaher Jalaluddin (1869-1956 M) adalah seorang ulama yang ahli di bidang ilmu astronomi dan ilmu falak yang mendirikan jurnal A-Imam (1906-1908) di Singapura. Pada masanya, terbitan ini adalah terbitan pertama yang mensosialisasikan gagasan pembaharu Islam dari Mesir (Abdullah, 2013: 56). Jika ditinjau dari silsilahnya, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi memiliki hubungan dengan Tuanku Nan Tuo (1723-1830 M). Tuanku Nan Tuo adalah seorang guru dari para pejuang dan ulama-ulama Paderi yang usia hidupnya mencapai 107 tahun (Kemendikbud, 2017; Wirman, 2017: 163). Kakek atau buyutnya bernama Abdullah adalah seorang ulama yang ditunjuk dan dipilih oleh masyarakat koto Gadang untuk menjadi seorang imam dan Khatib (Ilyas, 2017: 88). Sejak ditunjuknya beliau menjadi seorang Imam dan Khatib, akhirnya gelar Khatib mulai melekat hingga anak keturunannya, termasuk kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menikahi seorang gadis yang bernama Khadijah putri dari seorang pemilik toko buku di Makkah yang bernama Muhammad Saleh Kurdi. Di usia pernikahan yang tidak begitu lama Khadijah istri Ahmad Khatib wafat dengan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Abdul Karim. Oleh karena kagumnya Shaleh al-Kurdi dengan sosok Ahmad Khatib terutama karena ketekunan, kerajinan, kepandaian dan keahliannya di dalam penguasaan akan ilmu agama Islam, sepeninggal wafat putri pertamanya, Shaleh al-Kurdi menginginkan Ahmad Khatib menjadi menantu untuk putri keduanya, Fatimah. Dari Pernikahan kedua ini  lahirlah tiga orang anak bernama Abdul Malik, Abdul Hamid , dan Khadijah (Wirman, 2017: 88).

Dalam menjalani kehidupan masa mudanya di negeri Arab, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi hidup dalam disiplin keilmuan yang tinggi. Ia menjadi sosok yang mampu menjadi pionir awal pembuktian bahwa seorang asli Nusantara bisa menjadi Imam dari mazhab Syafi’i di Masjidil Haram, Mekkah sekaligus menjadi syekh (guru besar) dalam bidang berbagai macam ilmu agama Islam. Hal tersebut merupakan kedudukan yang terpandang yang pernah diraih oleh orang Indonesia di Mekkah (Abdullah, 2013: 281; Ahsin, 2020: 62 dan Pambudi, 2019: 5). Ketajaman pemikiran serta keilmuannya yang luas sering menjadi rujukan bagi ulama-ulama di Indonesia di dalam mengatasi dan menentukan suatu hukum yang berkaitan tentang permasalah Aqidah, Syariah, dan Muamalah. Tentu saja keilmuan itu ia dapatkan melalui proses belajar yang panjang.

Perbendaharaan keilmuan seorang Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berawal dari ayah kandungnya, Syekh Abdul Latif yang diketahui adalah seorang ulama dan juga sekaligus seorang Khatib yang dihormati di Bukittinggi. Bersama ayahnya, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi muda belajar banyak hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu dasar di dalam agama Islam seperti ilmu membaca dan menghafalkan sebagian Al-Qur’an. Ahmad Khatib pernah menimba pendidikan formal mulai dari tingkat dasar di Sekolah Rendah (SR) hingga di tingkat Sekolah Raja atau Kweekschool (Sekolah Guru, sekarang menjadi SMA 2 Kota Bukittinggi) pada tahun 1871 (Azra, 2017: 17; Kemendikbud, 2019). Tercatat ia pernah belajar bahasa Inggris di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sebuah lembaga yang didirikan Belanda pada waktu itu (Wirman, 2017: 89). Kemudian saat berumur sekitar kurang lebih 11 tahun, ia diajak ayahnya untuk pergi berhaji ke Mekkah. Ahmad Khatib dibiarkan oleh ayahnya untuk tetap tinggal di Mekkah agar ia dapat menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya. Namun dalam referensi lain dijelaskan bahwa beliau dan ayahnya tidak langsung pulang ke tanah air, namun beliau dan ayahandanya sempat menetap sekitar 5 tahun di kota suci (Ilyas, 2017: 89). Di negeri Arab sana seorang Ahmad Khatib muda memiliki banyak kesempatan dan peluang untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama/ilmuan-ilmuan besar yang ada di Mekkah. Dihimpun dari beberapa referensi (Abdullah, 2013: 39; Ahsin, 2020: 67 dan Yatim, 1999: 256-261), berikut adalah nama guru-gurunya saat belajar di Mekkah:

  1. Tiga keluarga Syatha’:
    • Syekh Bakrî ibn Muhammad Zain al-‘آbidîn Syatâ,
    • Syekh Umar ibn Muhammad Zain al-‘آbidîn Syatâ, dan
    • Syekh Uthmân ibn Muhammad Zain al-‘آbidîn Syatâ.
  2. Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân.
  3. Syekh Muhammad Nawawi Banten (menurut pendapat dari Amirul Ulum).
  4. Muhammad Saleh Kurdi (mertua Ahmad Khatib yang seorang ulama, dan sekaligus seorang saudagar yang memiliki toko kitab/buku).
  5. Syekh Abdul Hâdi.
  6. Syaikhah Fâtimah (Istri Syekh Abdul Hâdi).


Keluarga Syata’ terkenal sebagai suatu keluarga yang sangat kental akan nilai-nilai keagamaan, dan dunia keilmuan. Komunitas Jawi yang belajar ilmu agama Islam terutama yang belajar ke negeri Arab akan sangat familiar jika disebutkan nama keluarga tersebut dan banyak juga ulama-ulama yang sekolah ke negeri Arab berguru dan menimba ilmu kepada mereka (Ahsin, 2020: 67).

Dari beberapa orang gurunya, seorang Ahmad Khatib dapat menyelami berbagai disiplin keilmuan, khususnya ilmu-ilmu yang berbau keagamaan, dan beberapa ilmu umum. Di antara ilmu-ilmu yang telah dia pelajari selama menimba ilmu di negara Arab adalah seperti Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fikih, Ilmu Usul Fikih, Ilmu Usul Hadȋts, Ilmu Qowaidul Lughot (Nahwu dan Saraf), Ilmu Balâghah, Ilmu Mantiq (Ilmu Kalam/Ilmu Logika), Ilmu Tarikh, Ilmu Siyar/Atsar (Ilmu yang membahas seputar kisah hidup Rasulullah SAW), dan Ilmu Riyâdiyat (Ilmu Matematika), dan lain-lain.

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah seorang ulama yang tergolong produktif. Sedikitnya tercatat ada 46 buah buku telah selesai ditulis. Buku-buku tersebut biasanya menggunakan bahasa Arab atau bahasa Melayu. Beberapa diantaranya membahas tentang Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Tasawuf, Ilmu faraid (Ilmu Mawaris), dan lain-lain. Berikut adalah karya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dihimpun dari beberapa sumber (Bahtiyar, 2019: 51-63 dan Mudhafier, 2013:14): Irsyadul Hiyara fi Izalati Ba‟dha Syibhi Nashara (1911); Tanbihul Anam fi ar-Raddi „ala Risalati Kaffil Awam anil Khaudhi fi Syirkati al-Islam (1911). Al-Qawlu as-Shidqu fi Ilhaq al-Walad bi al-Muthalliq (1910). As-Syumus al-Lami‟ah fi ar-Raddi „ala Maratibi as-Sab‟ah (1907). Husnu ad-Difa‟ fi Nahyi „an Ibtida’ (1901). Al-‘Umdah fi Man‟i Qashr fi Masafati al-Jiddah (1899). Al-Qawlu al-Mufid Syarhu Mathla‟ as-Sa‟id (1896). As-Suyuf wal Khanajir ala Riqab Kulli man Yad‟u lil Kafir (1895). Al-Jawahir al-Faridah fi al-Ajwibah al-Mufidah (1893). Raddu ala Taftihil Muqillatin (1892). Dhaw‟u as-Siraj (1891). Ar-Riyadh al-Wurdiyah fi al-Ushul at-Tauhidiyah wa al-Furu‟ al-Fiqhiyah (1890). Alamul Hisab fi „Ilmi al-Hisab (1889). Raudhat al-Hisab fi A‟mali al-Hisab (1889). Ad-Da‟i al-Masmu‟ fi Raddi ala man Yurisu al-Ukhuwah wa al-Akhawat maa Wujudi al-Ushuli wa al-Furu’ (1888). Al-Jawahir an-Naqiyah fi A’mali al-Jaibir (1888). An-Nafahat Hasyiyatu al-Waraqat (1885). Hasyiyatu Fathul Jawad, Al-Bahiyah Saniyah fi al-A‟mal al-Jaibiyah, Salul Hisam, Tanbihil Ghafil li Suluki Thariqati al-Awail, Iqna‟un Nufus bi Ilhaq Awraq anwath bi ‘Umlati al-Fulus, Raf‟u al-Iltibas ‘an Hukmil Anwatil Muta’amal biha Baina an-Nas, Al-Khithah al-Mardiyah fi ar-Raddi „ala man Yaqulu bi Bid‟ati at-Talaffuzh bi an-Niyah, Al-Maw’izhah al-Hasanah Liman Yarghab minal A’mal al-Hasana, Al-Hawi fi an-Nahwi, Mukhtashar al-Hawi, As-Saifu al-Battar fi Muhiqqi Kalimat Ba’du Ahli al-Ightirar, Al-Ayat al-Bayyinat lil Munshifin fi Raddi Khurafat minal-Muta’asshibin, Kasfyu al-Ghain fi Istiqlal Kulli min Qawlai al-Jihad wal ‘Ain, Izharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-Shadiqin, Maslaku ar-Raghibin fi Thariqi Sayyidil Mursalin, As-Sharim asl-Mufra li Washalallahu ‘alaihi wassalam isi Kulli Kazibin wa Muftara, Al-Aqwal al-Wadhihat fi Hukmi man „Alaihi Qadha’i as-Shalawat, Hillul Uqdah fi Tashih al-‘Umdah, Kasyfu ar-Ran fi Hukmi Wadh‟i Yad Ba‟da Tathawuli az-Zaman, Fathul Khabir fi Basmalati at-Tafsir, Ad-Durrah al-Bahiyah fi Ada’i Zakati az-Zurrah al-Habasyiyah, Fathul Mubin Liman Salaka Thariqal Washilin, An-Natijah fi Tahqiqi as-Sanah as-Syamsiyah wa al-Qamariyah, Mu’iunul Jayiz fi Taqiqi, An-Nur as-Syum’ah fi Akhami Jum’ah, Shalahul Jama’atain fi Jawazi Ta’addudil Jum’atain, dan juga kitab An-Nukhlah al-Bahiyah, Al-Minhaj al-Masyru’.

Mendekati pergantian abad ke-18 ke-19, terdapat perdebatan baru yang menghangat di kalangan Kaum Muda (kelompok muda). Hal ini terjadi akibat dampak dari kebijakan politik, sistem ekonomi kapitalis pemerintah Belanda, dan ditambah dengan masuknya berbagai gagasan baru yang berasal dari Singapura, Mekkah, dan Mesir yang didalamnya ada pengaruh dari Syekh Ahmad Khatib.  Ia memang dikenal tidak hanya sebagai ulama yang menekankan pemurnian praktek-praktek ajaran Islam, tapi sekaligus ‘guru untuk generasi pertama kaum muda’ (Steenbrink, 1984: 145-146) di Melayu-Indonesia. Beberapa kelompok Kaum Muda menginginkan agar terciptanya modernisasi hukum yaitu mengubah hukum adat yang konservatif menjadi hukum dengan pola-pola barat dan sekuler. Wujud dari gerakan itu adalah adanya Kelompok Pemuda Melayu pada 1906, kemudian Perkumpulan Usaha pada 1912, dan Persatuan Pemuda Sumatra pada 1918. Langkah-langkah tersebut bertujuan untuk mencoba memperkenalkan sebuah sistem pendidikan baru yang lebih modern dan juga berupaya untuk memasukkan gagasan Barat yang bersifat Sekuler ke dalam hukum adat lama yang dianggap kuno/konservatif (Indrawati, 2016: 6).

Ahmad Khatib memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan belajar agama Islam di Tanah Suci. Melalui murid-murid ini terjalin hubungan dengan umat Islam di Indonesia. Di antara murid-murid Ahmad Khatib yang terkenal adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Haji Ahmad Dahlan, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli dan Kyai Haji Hasyim Asj’ari. Di samping mengajarkan fikih mazhab Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk membaca tulisan-tulisan karya  pembaharu Muhammad Abduh dari Mesir yang dimuat dalam majalah al-Urwah al-Wusqa dan Afsir al-Manar (Noer, 1980: 39), yang memang menjadi sarana utama sosialisasi gagasan-gagasan pembaharuan Islam di hampir seluruh dunia Muslim (Abdullah, 2013).

Penulis: Martina Safitry
Instansi: UIN Raden Mas Said Surakarta
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Abdullah, Taufik. 2013. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia jilid 2. Jakarta: Direktorat Sejarah, Kemendikbud.

Ahsin, Moh. 2020. “Studi Pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb Al-Minangkabawi Tentang Pembagian Harta Warisan di Minangkabau dalam Kitab Al-Dâ`Ȋ Al-Masmȗ” Tesis. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta; Kencana.

Bahtiyar, Anis, 2019, “Pengaruh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Terhadap Dinamika Intelektual Islam di Indonesia 1900-1947 M.” Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. http://digilib.uinsby.ac.id/33121/1/Anis Bahtiyar_A02215002.pdf .

Ilyas, Ahmad Fauzi. 2017 “Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara”, Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies Vol.1, no. 1 diakses dalam http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JCIMS/article/viewFile/1008/844.

Indrawati, Nadia Nur 2016, “Peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916 M) dalam Islamisasi Nusantara”, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.

Kemendikbud, 2017. “Makam Tuanku Nan Tuo IV Angkek” Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Dapat diakses dalam laman  https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/makam-tuanku-nan-tuo-iv-angkek-agam/ .

Kemendikbud. 2019, “Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja Bukittinggi)”,  dapat diakses dalam laman https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/kweekschool-fort-de-kock-sekolah-raja-bukittinggi/

Mudhafier, Fadhlan, 2013, “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya Masa 1276 – 1334 Hijriah (1852 – 1915 Masehi)”, dalam Adam Fauzi Hafiddin (ed) in Monografi, Jakarta: Penerbit Kemala Indonesia.

Pambudi, Rangga Hafizh. 2019. “Pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Tentang Pendidikan Islam” Skripsi. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.

Teguh, Irfan  “Syekh Ahmad Khatib, Guru Para Guru & Ulama yang Tak Gentar Berdebat”, https://tirto.id/syekh-ahmad-Khatib-guru-para-guru-ulama-yang-tak-gentar-berdebat-dnFq .

Wirman,  Eka Putra. 2017. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, Jurnal Ulunnuha Vol.6, no.2 doi:10.15548/JU.V6I2.598. 

Yatim, Badri. 1999. Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah. Jakarta: Rajawali Press.