Chaerul Saleh
Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo atau lebih dikenal dengan nama Chaerul Saleh, adalah tokoh Pahlawan Nasional yang mempunyai kiprah penting sebagai pemimpin pemuda pada masa revolusi Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri, dan Ketua MPRS (Susetya, 2014: 1).
Chaerul Saleh dilahirkan di Sawahlunto, Sumatra Barat, 13 September 1916, dari ayah seorang dokter, Ahmad Saleh dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki. Pada usia dua tahun, orang tuanya bercerai dan ia dibawa oleh ibunya ke Lubuk Jantan, Lintau, Tanah Datar. Di usia empat tahun giliran ayahnya membawa Chaerul Saleh ke Medan untuk memperoleh pendidikan Sekolah Rakyat kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS), Bukittinggi 1924–1931 untuk meneruskan dan menyelesaikan pendidikannya di sana. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Medan. Kemudian dia merantau ke Jakarta 1931–1937 dan menyelesaikan Pendidikan HBS atau Koning Willemdrie di Jalan Salemba, Jakarta. Melanjutkan Pendidikan Tinggi di Fakultas Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Recht Hoge School (RHS) Jakarta 1937 – 1942. Selama masa kuliah, ia aktif dalam berorganisasi selama menjadi Mahasiswa dengan menjabat ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia 1940-1942 (Budi Harjo, t.t.: 50-52)
Pada masa pendudukan Jepang, Chaerul Saleh menjadi anggota panitia Seinendan dan anggota Angkatan Muda Indonesia, serta menjadi anggota Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) pimpinan empat serangkai: Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Mas Mansur. Tapi, demi melihat kekejaman pasukan Jepang, ia segera berbalik arah menjadi anti Jepang dan ikut membentuk Barisan Banteng. Chaerul Saleh bersama dengan Adam Malik, Pandu Wiguna, dan Maruto Nitimihardjo bergabung dalam gerakan bawah tanah yang dipimpin Sutan Syahrir. Chaerul Saleh merupakan salah satu golongan pemuda yang menolak menjalin kerjasama dengan Jepang dalam perjuangan meraih kemerdekaan pada kongres pemuda Mei 1945 di Yogyakarta dengan Chaerul Saleh sebagai ketua (Kahin, 1995: 143). Mereka bermaksud membentuk suatu Gerakan Angkatan Baru Indonesia yang digerakkan oleh pemuda dari Asrama Menteng 31 yang terdiri dari Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Cokroaminoto, Syarif Thayeb, dan Harsono. Para pemuda ini menyatukan prinsip bahwa mereka bukan hanya pekerja kasar tetapi turut duduk dalam pimpinan dan ikut bertanggung jawab dalam sebuah keputusan penting terutama menyangkut pelaksanaan cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika mendengar kekalahan Jepang Chaerul Saleh bersama para pemuda mendesak Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan, tetapi Sukarno dan Hatta menolak. Para pemuda kemudian membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Padahal ia juga menjadi anggota Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Ir. Sukarno. Para pemuda menghendaki Indonesia secepatnya mengumumkan kemerdekaannya sendiri. Kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia sendiri dan tidak bergantung pada siapapun juga. Di Rengasdengklok terjadi perdebatan dalam penandatanganan naskah proklamasi, Sukarno meminta semua yang ikut rapat menandatangani daan mencantumkan nama. Tapi, Chaerul Saleh menentang pendapat itu, karena sebagian yang hadir adalah pegawai Jepang. Sehingga tidak mungkin mereka ikut menandatangani proklamasi karena sumbangan mereka kepada perjuangan kemerdekaan tidak jelas. Hingga akhirnya naskah proklamasi hanya ditandatangani Sukarno-Hatta. Chaerul Saleh kemudian termasuk salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersama Subarjo, Kasman Singodimedjo, Sukarni, dan Wikana. Mereka melakukan rapat pertama pada tanggal 18 Agustus 1945. Ia merupakan wakil golongan Pemuda walaupun kemudian keluar dari PPKI karena menganggap PPKI adalah buatan Jepang (Kahin, 1995: 174-175).
Selanjutnya ia menjadi Wakil Ketua pada Gerakan Angkatan Baru Indonesia bersama Burhanuddin Muhammad Diah sebagai ketuanya. Ia juga pernah menjadi ketua Dewan Politik Laskar Rakyat Jawa Barat. Ketika ia menjadi ketua Biro Politik Perjuangan dalam organisasi Persatuan Perjuangan yang diprakarsai oleh Tan Malaka Ia bergabung dengan Komte Van Aksi yang didirikan oleh Tan Malaka pada Januari 1946 untuk mewadahi berbagai badan perjuangan (Budi Harjo, t.t.: 50-52). Termasuk menjadi sekretaris Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) yang menentang perundingan Republik Indonesia dan Belanda yang merugikan Indonesia. Chaerul Saleh, dan banyak tokoh pemuda radikal di masa awal kemerdekaan mengagumi pemikiran, militansi, keteguhan Tan Malaka dalam berjuang, yang rela menderita sedemikian parah, berkelana, diasingkan, dan dipenjarakan. Demi untuk membebaskan bangsanya dari cengkeraman penjajah. Sukarno sendiri menyebut Tan Malaka sebagai seorang mahir dalam revolusi.
Ketika terjadi Agresi Militer II, Chaerul Saleh bersama Divisi Siliwangi melakukan long march dari Yogyakarta ke Karawang dan Sangga Buana, Jawa Barat. Sikapnya yang tidak bersedia melakukan hubungan dengan Belanda dalam bentuk apapun membuat divisinya harus berhadapan dengan pasukan Belanda Netherlands Indies Civil Administration (NICA), dan juga Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Akhirnya ia bergabung dengan divisi Tentara Nasional 17 Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution setelah di bawah Pimpinan Mayor Sambas Atmadinata. Chaerul Saleh melarikan diri dari Jakarta ke Banten bersama anggota kesatuan diantaranya Kesatuan Laskar Rakyat dan kesatuan Bambu Runcing yang berhaluan kiri dari daerah-daerah Jakarta Timur, Bogor, Sukabumi, Tangerang, dan Banten telah bergabung di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Milisi-milisi bersenjata itu kemudian memindahkan pasukannya ke Banten Selatan menduduki Malingping dan Cibaliung. Mereka lalu mengadakan aksi bersenjata menentang Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1950. Chaerul Saleh terlibat sebagai penggerak peristiwa 3 Juli karena tidak setuju dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menyebabkan terjadinya peristiwa Banten Selatan. 16 Februari 1950–1952 ia dipenjara karena dianggap sebagai pelanggar hukum pemerintah Republik Indonesia. Chaerul Saleh ditahan di penjara Paledang (Bogor), kemudian dipindahkan ke berbagai rumah tahanan lainnya, seperti penjara Gang Tengah, Glodok, Banceuy (Bandung) sebelum akhirnya dipindahkan ke Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Karena bantuan Mohammad Yamin yang menjabat Menteri Kehakiman, Chaerul Saleh dibebaskan dan kemudian dikirim ke Jerman Barat dengan alasan untuk tugas belajar.
Setelah bebas kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1953. Ketika menjadi mahasiswa di Jerman Barat, seorang gadis Indo-Belanda Bernama Farida meramalkan jika Chaerul Saleh akan menjadi orang penting di Indonesia. Tidak cukup itu saja wanita itu juga meramalkan seterusnya andaikata buat satu hari saja, Chaerul Saleh akan menjadi Presiden Republik Indonesia kelak menggantikan Sukarno. Chaerul Saleh percaya akan ramalan itu mangkanya dia selalu bersikap berhati-hati setiap kali bersikap sambil menunggu waktu yang tepat (Rosihan 2007: 111).
Setelah kembali pada Desember 1956, ramalan tersebut mulai terwujud. Chaerul Saleh ikut mendirikan Legiun Veteran menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia. 9 April 1957, ia diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Veteran dalam Kabinet Djuanda. Pada masa Demokrasi Terpimpin. Chaerul Saleh menyampaikan ide atau gagasan negara kepulauan dan batas teritorial laut 12 mil dari garis pantai. Gagasannya ini kemudian menjadi bagian dari Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Dengan memberikan nama gagasan ini sebagai “Wawasan Nusantara”, yang berarti semua laut yang ada di antara pulau-pulau menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemikiran Chaerul Saleh kemudian disahkan sebagai Konvensi Internasional tentang Hukum Laut pada tahun 1982 di Montego Baya, Jamaika.
Pada 10 Juli 1959 ia diangkat menjadi Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan Kabinet Kerja I (1959-1960). Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan Kabinet Kerja II, III, dan IV (1960-1963). Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi dalam Kabinet Dwikora I (1964-1966). Ia juga pernah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1962-1966). Pada 13 November 1963 hingga 22 Januari 1966 Chaerul Saleh kemudian diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri III ini adalah sebuah jabatan unik saat itu karena tidak ada posisi Perdana Menteri, hanya ada presiden sebagai jabatan tertinggi. Tahun 1964 ia terlibat intrik Kekuasaan dengan mencoba menduduki Wakil Perdana Menteri I yang saat itu dijabat oleh Subandrio. Aturannya adalah jika Sukarno lengser maka Wakil Perdana Menteri I yang akan naik menjadi Perdana Menteri atau Presiden. Dengan menyingkirkan Soebandrio dari kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri, ia juga akan menyodorkan Adam Malik, untuk berupaya menggeser Soebandrio. Ia juga membendung Hatta yang sewaktu-waktu bisa saja naik dijadikan Wakil Perdana Menteri I. Chaerul Saleh menginstruksikan Selo Soemardjan untuk membentuk organisasi intelijen yang mengkonsolidasi kedudukannya. Pada masa itu selain orang-orang yang berasal dari Partai Murba, Angkatan Darat dan PKI juga memposisikan dirinya sebagai pengganti Sukarno.
Sebelumnya Chaerul Saleh menjadi salah satu tokoh Partai Murba pada 1950 hingga Januari 1965. Pada pemilu 1955, Partai Murba hanya memperoleh 2 kursi dari 257 kursi yang diperebutkan. Pada Demokrasi Terpimpin Sukarno memberikan peluang Partai Murba untuk terus berkembang sebagai penyeimbang Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai orang kepercayaan Sukarno, Chaerul Saleh memiliki keberanian menantang lawan-lawan politiknya. Tanggal 3 April 1961, Chaerul Saleh berkeliling Sumatra Barat dan berpidato di muka umum menentang para pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia seperti Natsir dan Syafruddin Prawiranegara yang dianggap menyetujui hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam kesempatan yang lain Chaerul Saleh ingin menjatuhkan wibawa Parta Komunis Indonesia (PKI) di mata Presiden Sukarno. Pada sidang kabinet di tahun 1964 Chaerul mengeluarkan sebuah dokumen yang menyatakan PKI berencana melaksanakan kudeta terhadap Presiden. Dokumen yang berjudul "Resume Program dan Aktivitas PKI Dewasa Ini" itu, menyatakan bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal. Dan PKI harus mengambil tindakan untuk merebut pemimpin revolusi.
Pembahasan dokumen itu terus berlanjut ke pertemuan partai politik di Bogor tanggal 12 Desember 1964. Di situ pemimpin PKI D.N. Aidit menuduh Chaerul Saleh telah membuat berita bohong dan sebagai antek-Nekolim. D.N. Aidit marah mengetahui surat yang mengatakan PKI hendak memberontak. Aidit menyerang balik Chaerul Saleh bahkan menuduhnya antek Central Intelligence Agency (CIA). Hal ini kemudian membuat mereka berdua berdebat hingga kemudian Presiden Sukarno menengahi perdebatan itu. Konflik Chaerul Saleh dan D.N. Aidit di rapat Kabinet itu akhirnya diselesaikan dengan bantuan Menteri Penerangan Sudibyo. Sang menteri mengajak keduanya makan bersama dan meminta Chaerul Saleh menjadi tuan rumah. Usulan itu pun disambut baik oleh Chaerul Saleh dan D.N. Aidit. Beberapa hari kemudian makan bersama dilaksanakan dirumah Chaerul Saleh dengan acara dipimpin oleh Sudibyo.
Dari pertemuan itu selanjutnya terbit Deklarasi Bogor yang bertujuan agar partai-partai politik tetap setia kepada pemimpin luhur revolusi, Sukarno. Dari berbagai kejadian bahwa Chaerul Saleh dan Partai Murba menjadi ancaman untuk PKI. Sukarno kemudian melarang Partai Murba, karena Partai Murba sudah sejak lama menentang PKI dalam memperebutkan kepemimpinan golongan kiri, dan tampaknya mendapat dukungan dari Uni Soviet (Ricklefs, 2008: 557) untuk melanjutkan keinginan Tan Malaka dan kawan-kawan yang ingin merdeka sepenuhnya, bukan pejuang yang takut berdarah-darah.
Pada saat peristiwa 30 September 1965 meletus, Chaerul Saleh termasuk seorang tokoh yang akan diculik oleh Pemerintahan Soeharto. Namun Aidit mencoret namanya karena pada tanggal 30 September Chaerul Saleh tengah berada di Peking, Republik Rakyat Cina (RRC), tetapi Presiden Soeharto kemudian tetap menangkapnya pada 18 Maret 1966. Awalnya Chaerul Saleh dikenakan tahanan rumah dan selanjutnya ditahan di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta tanpa proses peradilan. Ia meninggal pada 8 Februari 1967 dengan status tahanan politik. Penyakit jantung yang dia derita kambuh selama di tahanan. Ia kehabisan obat dan terkena serangan jantung kemudian pingsan. Hal ini sudah dilaporkan ke penjaga dan penjaga sudah melaporkan ke atasan bahwa Chaerul Saleh harus dilarikan ke rumah sakit tetapi setelah menunggu cukup lama tetap tidak mendapatkan izin, akhirnya Chaerul Saleh meninggal di tahanan di usia 50 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta oleh istri dan keluarganya (Budi Harjo, t.t.: 44-55) Selama hidup Chaerul Saleh menikah dengan Johanna Siti Menara Saidah, putri dari tokoh Minangkabau yang terkemuka di zaman kolonial, yakni Datoek Toemenggoeng. Johanna meninggal tanggal 19 Mei 1978 karena kanker payudara. Keduanya tidak mempunyai anak hanya memiliki satu anak angkat.
Atas jasanya di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat Jenderal kehormatan TNI AD dan menerima sejumlah bintang jasa, antara lain Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satrialencana Satya Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.
Penulis: Azrohal Hasan
Referensi
Anwar, Rosihan . (2007). Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bhima W. A., Susetya. (2014). Chaerul Saleh Dalam Memperjuangkan, Mengisi, Dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Surabaya: e-Journal Pendidikan Sejarah.
Budi Harjo Sayoga dkk. Kamus Sejarah Indonesia Jilid I. Jakarta; Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
https://historia.id/histeria/articles/tinju-chairul-hampir-mendarat-di-wajah-aidit-Db2LQ/page/3 diakses tanggal 17 Oktober 2021 Pukul 20:20 WIB.
Kahin, Goerge Mc Turhan. (1995). Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008.
Sayoga, Budi Harjo dkk. Kamus Sejarah Indonesia Jilid II. Jakarta; Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.