Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) adalah lembaga tertinggi negara yang menjalankan fungsi dan perannya dari tahun 1959 hingga 1967. MPRS dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pembentukan MPRS itu sendiri diatur dalam Penetapan Presiden (Penpres), yang menyatakan bahwa MPRS terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, yakni propinsi dan Golongan Karya (Penpres no. 2/1959; Asri 2014).).
Peranan Presiden memang sangat besar dalam keberadaan MPRS. Di samping ketentuan seperti yang disebut di atas, peranan Presiden dalam lembaga ini juga terlihat dari ketentuan yang mengatakan bahwa Ketua dan Wakil Ketua MPRS diangkat oleh Presiden. Di samping itu, Presiden melalui keputusannya juga menentukan jumlah anggota MPRS dan komposisi keanggotaan lembaga ini. Keputusan Presiden No. 199 tahun 1960 mengatakan bahwa jumlah anggota MPRS adalah sebanyak 616 orang, yang terdiri dari 257 orang anggota DPR-GR, 241 orang Utusan Golongan Karya dan 116 orang Utusan Daerah. Unsur pimpinannya terdiri dari seorang Ketua, empat orang Wakil Ketua dan seorang Sekretaris. Terpilih sebagai Ketua adalah Chaerul Saleh, Wakil Ketua adalah Ali Sastroamidjojo, K.H. Idham Chalid, D.N. Aidit, Wilujo Puspojudo dan sekretaris adalah Harvan.
Pada masa jayanya pemerintahah Sukarno, MPRS bersidang sebanyak tiga kali. Ketiganya diadakan di Bandung. Sidang pertama diadakan dari tanggal 10 November s.d. 7 Desember 1960, sidang kedua diadakan dari tanggal 15 Mei s.d. 22 Mei 1963, dan sidang ketiga diadakan dari tanggal 11 s.d. 16 April 1965. Pada setiap sidang selalu dihasilkan Ketetapan MPRS. Kecuali ketetapan yang berkenaan dengan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional dan Pedoman Pelaksanaan Garis Besar Negara, bisa dikatakan hampir semua ketetapan yang dihasilkan lembaga ini adalah buah pikiran dari Sukarno. Di samping itu, ketetapan yang dihasilkan sangat terlihat nuansanya untuk mendukung Presiden. Salah satu contoh ketetapan seperti ini adalah Tap MPRS No. II tahun 1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden Indoensia Seumur Hidup (Syawawi 2010; Oktava 2017).
Peristiwa G30/S mengubah tatanan politik tanah air, termasuk keberadaan MPRS. Perubahan yang paling nyata pada lembaga ini adalah dikeluarkannya unsur PKI atau pendukung Sukarno. Berbeda dengan masa sebelumnya, sidang keempat MPRS tahun 1966 diadakan di Jakarta. Juga, sidang keempat yang diadakan antara tanggal 21 Juni sampai 5 Juli itu menghasilkan 24 ketetapan, sebagian merupakan koreksi atau pembatalan dari berbagai produk hukum sebelumnya, termasuk berbagai keputusan atau ketetapan yang berkenaan dengan Presiden Sukarno.
Hal yang menarik, pada sidang keempat ini pulalah untuk pertama kali pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno ditolak. Penolakan tersebut berlanjut dengan keluarnya resolusi dan memorandum DPR-GR yang mengatakan bahwa "Kepemimpinan Presiden Sukarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila". Konsekuensi penolakan adalah pemberhentian Sukarno dari Presiden RI melalui Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967. Pasca-Sidang Istimewa tersebut MPRS berubah nama menjadi MPR (Oktava 2017).
Penulis: Wiwiek Anatasia Swastiwi
Referensi
Asri, Agustiwi, 2014. “Keberadaan Lembaga Negara Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia” dalam Jurnal Rechstaat, Vol. 8 No. 1 (Maret).
Keputusan Presiden No. 199 Tahun 1960
Mukhlis, 2011. “Kewenangan Lembaga-lembaga Negara Dalam Memutus dan Menafsirkan UUD Setelah Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Syiar Hukum, Vol. 13 No. 1 (Maret 2011).
Oktava, M. Saoki. 2017. “Eksistensi Ketetapan MPRS Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia” dalam Kajian Hukum dan Keadilan. Vol V. Nomor 1. April 2017,. hal. 120-142.
Penetapan Presiden No. 2/1959.