Kusumo Utoyo
Raden Mas Ario Adipati Kusumo Utoyo adalah seorang bangsawan dan politisi pada masa kolonial. Ia putra dari Patih di Pekalongan, yaitu R.M. Sujudi Sutodikusumo, juga sebagai cucu dari R. M. Surokusumo, dan sebagai cicit dari Sultan Hamengku Buwono I. Ia lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 13 Januari 1871, diberi nama oleh orang tuanya, yaitu Utojo. Ibu Kusumo Utoyo bernama R. A. Suratinem, puteri dari Raden Adipati Arung Binang, Bupati Kebumen. Ia dibesarkan di dalam lingkungan keluarga Islam yang taat dan mendapat gelar dari keraton Kasultanan Yogyakarta, yaitu R.M.A.A. (Raden Mas Ario Adipati) – dengan nama panggilan Mas Utoyo.
Ketika R.M.A.A. Kusumo Utoyo masih berusia balita, ayahnya menduduki jabatan sebagai asisten wedana di desa Bedug, sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Purworejo. Ketika berusia 6 tahun, R.M.A.A. Kusumo Utoyo masuk ke sekolah partikelir setempat, karena di wilayah belum ada sekolah gubernemen (negeri). Setiap hari, pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke sekolah. Sore harinya ia mengaji di sebuah pesantren yang terletak sekitar satu kilometer dari kediamannya. Di sekolah ia belajar menulis huruf bahasa Jawa, huruf bahasa Belanda, dan berhitung, sedangkan sore hari di pesantren belajar Al-Qur'an dan menulis huruf Arab. Pada usia 7 tahun, R.M.A.A. Kusumo Utoyo telah berhasil menamatkan (khatam) Al-Qur'an.
Pada tahun 1877, Kusumo Utoyo mulai masuk sekolah partikelir (swasta) di desa yang berada di sebelah selatan Kota Purworejo. Ia adalah seorang pelajar yang rajin dan cerdas, sehingga oleh orang tuanya disekolahkan ke Sekolah Menengah Umum HBS (Hogere Burger School) di Semarang. Pada waktu itu di daerah Purworejo belum ada sekolah HBS. Ia dapat menyelesaikan studinya di HBS pada tahun 1891 dan mendapat sebuah diploma dengan predikat lulusan terbaik di sekolahnya dan orang pertama dari orang Jawa yang memiliki ijazah HBS.
Kusumo Utoyo menikah dengan R.A. Ataswarin yang merupakan putri dari Pangeran Buminoto sekaligus cucu dari Sultan Hamengku Buwono VI. Salah satu putra Kusumo Utoyo, yaitu R.A.A. Sumitro Kusumo Utoyo, (yang pernah menjabat sebagai Bupati Jepara dari tahun 1942 sampai dengan 1950).
Seperti keluarga priyai Jawa lainnya, Kusumo Utoyo setelah selesai mengenyam pendidikan di HBS bercita-cita ingin mengembangkan kariernya di lingkungan birokrasi Pangreh Projo (Inlands Bestuur). Untuk mendapatkan pekerjaan itu, ia harus mengikuti kerja magang (nyantrik) di Kabupaten Ngawi pada tahun 1902. Pada tahun 1903, ia diminta untuk menjadi salah satu anggota Tim Komisi Kekurangmakmuran (Mindere Welaart Commissie) yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melakukan penelitian tentang kondisi ekonomi penduduk bumiputra, yang akan dijadikan dasar untuk pembuatan kebijakan pembangunan kesejahteraan penduduk bumi putera (Politik Etis).
R.M.A.A. Kusumo Utoyo termasuk generasi priayi pertama yang meraih posisi bupati melalui jalur profesional. Pada masa sebelumnya jabatan bupati itu harus dari berasal dari kalangan kerabat keraton dan ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kenyataan ini membuktikan bahwa R.M.A.A. Kusumo Utoyo mendapat pengakuan atas kapasitas dan kemampuan dirinya, sehingga ia dianggap memiliki legitimasi yang kuat sebagai pimpinan di suatu pemerintahan di tingkat kabupaten.
R.M.A.A. Kusumo Utoyo juga terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Di dewan ini ia adalah wakil dari rakyat bumiputra yang kritis. Di dalam sidang Volksraad yang kedua pada 3 Januari 1930, Ia menyampaikan suati mosi kepada pemerintah yang terkenal dengan istilah Mosi Kusumo Utoyo: “Tidak Aman Hati di Antara Penduduk Negeri”.
R.M.A.A Kusumo Utoyo meminta penjelasan tentang tindakan Pemerintah Hindia Belanda menangkap sejumlah pimpinan pergerakan rakyat Indonesia. Banyak kalangan kemudian menyebut mosi ini sebagai “Mosi Keresahan” karena dalam pidatonya R.M.A.A Kusumo Utoyo beberapa kali menggunakan ungkapan ‘perasaan hati yang tidak aman’. Keresahan R.M.A.A Kusumo Utoyo itu kemudian ditegaskan lagi oleh M. H. Thamrin dalam persidangan di Volksraad berikutnya, khususnya tentang proses pemahaman dan cara-cara penggeledahan yang tidak tertib. Hal ini mendapat perhatian dari masyarakat agar hak asasi dan harkat kemerdekaan warga negara lebih dihormati.
R.M.A.A Kusumo Utoyo memang diketahui berteman baik dengan M. H. Thamrin. Pertemanan mereka tidak hanya sebatas ketika berada dalam Volksraad (Dewan Rakyat), namun mereka juga bersama-sama mengelola Fonds Nasional, sebuah badan yang menerbitkan buku-buku yang berisikan cerita-cerita perjalanan mengejar cita-cita suci, mengejar Indonesia merdeka. Hasil penjualan buku-buku tersebut digunakan untuk membantu kegiatan-kegiatan pergerakan nasional.
R.M.A.A Kusumo Utoyo bersama dengan M.H. Thamrin mengadakan peninjauan ke Sumatra Timur dalam rangka melakukan penyelidikan terhadap nasib buruh perkebunan yang sangat menderita sebagai akibat dari punale sanctie – peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan ditangkap polisi kemudian dikembalikan kepada mandor atau atasannya. Penyelidikan mereka tersebut akhirnya membawa hasil dengan dihapuskannya kebijakan punale sanctie itu.
R.M.A.A. Kusumo Utoyo pernah menjabat sebagai Bupati Jepara sejak tahun 1942. Di dalam masa jabatannya itu, ia sangat berkooperatif dengan kelompok pergerakan nasional di daerahnya. Setelah berusia 54 tahun, ia mengajukan pensiun dini sebagai bupati. Keputusan ini ia harus lakukan, karena saat itu ia merasakan bahwa kepongahan pemerintah kolonial benar-benar telah mengoyak harga dirinya. Hal ini diawali saat seorang wedana, yang merupakan bawahannya, melaporkan kepada pemerintah bahwa Bupati Kusumo Utoyo tidak melakukan tekanan terhadap kelompok Sarekat Islam yang berkembang subur di wilayahnya. Dalam persidangannya terjadi hal yang menyakitkan karena R.M.A.A. Kusumo Utoyo harus bersimpuh di lantai rumah sendiri menghadapi asisten residen yang bertindak selaku penyidik.
Pada usia senjanya, di awal tahun 1950-an, R.M.A.A. Kusumo Utoyo aktif sebagai anggota Badan Sensor Film. Menjadi anggota Badan Sensor Film tersebut karena terkait dengan kesukaan R.M.A.A. Kusumo Utoyo menonton film, di samping itu bahwa ia juga dikenal sebagai seorang budayawan dan tokoh yang konsisten memegang teguh nilai dan etika sosial-budaya.
R.M.A.A. Kusumo Utoyo wafat pada tanggal 26 Mei 1953. R.M.A.A Kusumo Utoyo dimakamkan di Taman Makam Pekuncen. Saat ini nama R.M.A.A. Kusumo Utoyo diabadikan sebagai nama sebuah jalan: Jln. Kusumo Utoyo di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Penulis: Sudarno
Referensi
Anhar Gonggong. 1985. Muhammad Husni Thamrin. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Dokumentasi Sejarah Nasional.
Atashendartini Habsjah. 2007. at al, Perjalanan Penjang Anak Bumi: Biografi R.M. A. A. Koesoemo Oetojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koesoemo Oetoyo. 1934. 21ste Vergadering-Woendag 25 Juli 1934. Begrooting van Nederlandsch-Indie voor 1935 (ond.1), afd VI, departement van Economische Zaken met afdeling VI A-D. Batavia: Volksraad.
Perpustakaan Nasional. 1955. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Gamal Abdul Naser (Mesir) di tengahnya tampak Kusumo Utoyo dalam rangka Konferensi Asia Afrika 18 April 1955 di Bandung. Jakarta: Yayasan Idayu.
Post, Peter. 2010. The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: In Cooperation with the Netherlands Institute for War Documentation. Boston: Brill.
Reni Dikawati dan Ajat Sudrajat. 2018. Pemikiran Dan Peranan R.M.T Koesoemo Oetoyo Dalam Pergerakan Nasional Indonesia di Bidang Politik, Sosial, Dan Ekonomi tahun 1908-1942. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.