Slamet Riyadi

From Ensiklopedia
Revision as of 16:57, 25 August 2023 by Admin (talk | contribs) (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
https://en.wikipedia.org/wiki/Slamet_Rijadi#/media/File:Slamet_Rijadi.jpg

Slamet Riyadi adalah pahlawan nasional terkait peran pentingnya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan pada 26 Mei 1926 di Kampung Danukusuman Solo, Jawa Tengah. Slamet Riyadi merupakan anak kedua dari pasangan Idris Prawiropralebdo dan Soetati. Idris ayahnya merupakan seorang abdi dalem prajurit Keraton Surakarta dan ibunya, Soetati, merupakan seorang pedagang buah-buahan di pasar. Terlahir dengan nama Soekamto, Slamet Riyadi mengenyam pendidikan dasar HIS Ardjoeno, sebuah sekolah swasta yang didirikan oleh perkumpulan theosofi. Hal ini kemudian membentuk karakter Slamet yang religius dan menjadi anggota Pandu Truno Kembang (PTK), kegiatan kepanduan dengan anggota para keluarga abdi dalem Keraton Surakarta.

Setelah beberapa tahun menjadi anggota PTK, Slamet kemudian memutuskan pindah keanggotan pandu ke Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Sesuai dengan namanya, KBI merupakan kepanduan yang bergerak di bidang politik, yakni sebuah gerakan kebangsaan. Setelah menyelesaikan pendidikan  di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), atas kebaikan hati seorang rohaniawan Katolik yang menanggung biaya pendidikannya, Slamet kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) Broederan yang terletak di belakang Gereja Katolik Purbayan Solo.

Baru dua tahun bersekolah di MULO, Jepang menduduki Indonesia dan melarang segala bentuk pendidikan Barat, termasuk MULO. Dengan berat hati, Slamet harus berpindah ke Sekolah Menengah Mangkoenegaraan, salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Solo yang diizinkan buka oleh pemerintah Jepang. Semasa mengenyam pendidikan inilah Slamet mendapat nama tambahan baru menjadi Slamet Riyadi. Alasan penambahan nama itu adalah karena terdapat banyak siswa yang menggunakan Slamet, jadi untuk membedakan dengan pemilik nama Slamet yang lain, masing-masingnya mendapatkan nama tambahan, termasuk Slamet yang mendapat tambahan Riyadi.

Setelah menamatkan SMP, Slamet Riyadi bersama teman-temannya mengikuti ujian masuk Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) yang didirikan oleh tentara Jepang sejak 1943 dengan nama Kootoo Seinen Yoseisho. Pada saat itu, banyak pemuda Indonesia bergabung dengan Peta dan Heiho. Slamet Riyadi memilih masuk SPT dengan alasan Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan dibutuhkan pelaut untuk menjaga dan melindunginya. Ia dan teman-temannya mendaftar SPT Di Cilacap, memilih jurusan navigasi. Selama menjalani pendidikan di SPT, Slamet Riyadi juga tertarik dengan bidang politik. Secara diam-diam, Slamet Riyadi mempelajari ilmu politik dengan membaca buku dan berdiskusi (Pour 2008: 19-21).

Untuk mendukung Perang Asia Pasifik, pemerintah Jepang di Indonesia berencana untuk mengirim lulusan terbaik SPT untuk belajar lanjutan di Kyoto, Jepang. Slamet Riyadi termasuk alumni terbaik dan akan diberangkatkan ke Jepang. Sebelum berangkat ke Jepang, Slamet Riyadi beserta perwira Rikugun lainnya ditempatkan di asrama Jakarta. Akan tetapi, rencana itu dibatalkan oleh pemerintah Jepang karena pasukan Sekutu terus terdesak dan kekalahan demi kekalahan dialami Jepang dalam berbagai medan tempur. Saat menunggu pemberangkatan inilah Slamet Riyadi berusaha menemui pejuang-pejuang bawah tanah yang menentang pemerintah Jepang. Sebagai anak yang memiliki jiwa revolusioner, Slamet Riyadi bahkan pernah menghadiri diskusi dengan Sutan Syahrir dan rekan-rekannya di Matraman.

Ketika meletus pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945, Slamet Riyadi mengirim anak buahnya, yakni Soetjipto, untuk menemui Daidancho, Komandan Batalyon Kaman Singodimedjo dan menyatakan siap untuk bergabung melancarkan aksi bersama melawan Jepang. Namun, Kasman Singodimedjo kemudian membatalkan rencana aksi. Hal ini membuat Slamet Riyadi dan rekannya harus melarikan diri karena gerak-geriknya sudah diketahui oleh Kempetai. Slamet Riyadi melarikan diri ke wilayah Sleman dan kemudian ke Solo. Selama berada di Solo, Slamet Riyadi sering menyusun strategi bersama dengan pejuang gerakan bawah tanah untuk menyerang pasukan Jepang.

Setelah terdengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Slamet Riyadi bersama temannya menyerang Kempetai dan mengakibatkan para serdadu Jepang itu kewalahan menangkis serangan tersebut. Selain itu, segera setelah kemerdekaan diproklamirkan, Presiden Sukarno menginstruksikan agar eks PETA, Heiho, pemuda-pemuda dan sebagainya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Atas dasar itu, Slamet Riyadi kemudian menghimpun teman-temannya untuk membentuk kesatuan tentara setingkat batalyon. Awalnya batalyon yang dipimpin Slamet Riyadi tidak  memiliki nama. Ketika BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), batalyon yang dipimpin Slamet Riyadi dilebur dengan pasukan Oerip Soemohardjo dalam satu kesatuan militer setingkat Resimen dengan nama Resimen 26 Divisi X TKR. Di dalam kesatuan tersebut, Slamet Riyadi ditetapkan sebagai komandan di Batalion II Resimen 26 dengan pangkat mayor (Pour 2008: 29-33).

Ketika pasukan Sekutu masuk ke Indonesia, Slamet Riyadi bertugas di Solo dan bertanggungjawab atas keamanan wilayah tersebut. Saat terjadi bentrokan antara pasukan Republik dengan Sekutu untuk merebut Ambarawa, Slamet Riyadi turut aktif membantu mengirimkan pasukan untuk berpartisipasi dalam pertempuran. Selain itu, Slamet Riyadi juga membantu menjaga perbatasan Semarang, Salatiga hingga ke Magelang.

Setelah pasukan Jepang berhasil dilucuti oleh pasukan sekutu, Belanda berupaya untuk kembali untuk menduduki Indonesia. Rencana Belanda tersebut tentu saja mendapat reaksi dari rakyat Indonesia termasuk masyarakat di Solo. Sebagai salah satu komandan batalyon di Solo, Slamet Riyadi dan pasukannya melakukan perlawanan dengan taktik gerilya melawan Belanda. Atas keberaniannya tersebut, Slamet Riyadi kemudian memperoleh kenaikan pangkat. Selama Agresi Militer Belanda I Slamet Riyadi memimpin pasukan batalyon di beberapa daerah seperti Ambarawa dan Semarang. Selain itu, pasukan Slamet Riyadi juga melakukan penyisiran di sepanjang Gunung Merapi dan Gunung Merbabu (Ensiklopedi Umum, 1973: 1024-1025).

Atas keberhasilannya memimpin pasukan, pada September 1948 Slamet Riyadi dipromosikan dan diserahi tugas memimpin empat batalyon pasukan tentara dan satu batalyon tentara pelajar. Dua bulan setelah penyerahan tugas tersebut, Belanda kembali melakukan serangan ke kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota negara. Meskipun Slamet Riyadi dan pasukannya melancarkan serangan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten, tentara Belanda akhirnya berhasil memasuki Yogyakarta. Dengan menerapkan taktik gerilya, Slamet Riyadi beserta pasukannya mampu menghalau pasukan Belanda dalam waktu empat hari (Ensiklopedi Umum, 1973: 1024-1025).

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), terjadi pemberontakan dalam negeri yang diprakarsai oleh Raymond Westerling. Pemberontakan tersebut diberi nama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Jawa Barat. Slamet Riyadi beserta pasukannya dikirim untuk menumpas pemberontakan APRA di Jawa Barat. Tidak lama setelah pemberontakan APRA berhasil dipadamkan, Republik Maluku Selatan (RMS) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Indonesia. Atas keberhasilannya menumpas pemberontakan APRA, pada 10 Juli 1950 kemudian Slamet Riyadi dikirim ke garis depan untuk menumpas RMS. Operasi untuk penumpasan RMS ini diberi nama Operasi Senopati. Untuk menumpas pemberontakan RMS, Slamet Riyadi membawa setengah pasukannya dan menyerbu dari arah pantai timur Maluku, sedangkan sisanya menyerbu dari arah utara. Terdapat perlawanan dari RMS, akan tetapi pasukan Slamet Riyadi berhasil menguasai wilayah pantai dan kemudian pasukan Kol. A.E Kawilarang dapat mendaratkan lebih banyak infanteri dan kendaraan lapis baja (Pour 2008: 8).

Pada tanggal 3 Oktober 1950, pasukan Slamet Riyadi bersama dengan pasukan Kol. A.E Kawilarang ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota  dari pemberontakan RMS di New Victoria (Ambon). Slamet Riyadi dan Kawilarang memimpin tiga serangan, pertama, pasukan darat menyerang dari utara dan timur, kedua, pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Sementara itu, serangan ketiga dipimpin oleh Slamet Riyadi dengan merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau. Perjalanan penyerangan tersebut memakan waktu selama sebulan. Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Slamet Riyadi sehingga keadaan ini menyulitkan pasukannya (Pour 2008: 12).

Meskipun kesulitan dalam menghadapi serangan pasukan RMS pasukan Slamet Riyadi berhasil tiba di New Victoria. Setibanya di New Victoria, pasukan Slamet Riyadi kembali diserang oleh pasukan RMS. Slamet Riyadi dan pasukannya yang sedang menaiki sebuah tank ditembaki pemberontak. Penembakan tersebut melukai Slamet Riyadi, satu peluru berhasil mengenai perutnya. Slamet Riyadi dilarikan ke rumah sakit kapal. Selama mendapat perawatan, Slamet Riyadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter kemudian berupaya memberi perawatan untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Slamet Riyadi menghembuskan nafas terakhir pada malam hari dan jenazahnya  dimakamkan di Ambon (Ensiklopedi Umum, 1973: 1024-1025). Atas jasa-jasanya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan hingga menumpas pemberontakan, pada 9 November 2007, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Slamet Riyadi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia (Suara Merdeka, 2007).

Penulis: Edi Sumarno


Referensi

Pour, Julius, (2008), Ignatius Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempetai Sampai Menumpas RMS, Jakarta: Gramedia. Suara Merdeka, 10 November 2007.

Pringgodigdo, Abdul Gaffar dan Shadily, Hassan, (1973), “Slamet Riyadi” dalam Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.