Abdullah Idrus

From Ensiklopedia
Abdullah Idrus. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI No. L.1829

Idrus memiliki nama lengkap Abdullah Idrus atau yang sering dipanggil Idrus, merupakan pelopor prosa Indonesia Angkatan 45. Ia lahir di Padang, 21 September 1921, menempuh pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS) di Kayutanam 1936, lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Idrus merantau ke Jakarta melanjutkan pendidikan ke Algemene Middlebare School (AMS), lalu di Recht School, mengambil Fakultas Hukum, meski tidak sampai selesai (Idrus, 2010: 170).

Pengalaman sebagai pengarang dimulai ketika bekerja di Balai Pustaka khususnya bagian sidang pengarang, kemudian menjadi Redaktur Kebudayaan Indonesia, Daya, Gema Suasana. Ia juga pernah menjadi redaktur majalah Kisah pada tahun 1956 bersama M. Balfas dan H.B. Jassin. Pada masa pendudukan Jepang, Idrus bekerja di Poesat Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) di bawah pimpinan Dinas Propaganda Jepang. Selain bekerja di Balai Pustaka, Idrus juga pernah bekerja di Garuda Indonesian Airways dan perusahaan perkapalan Belanda (sekarang PELNI). Dia juga pernah menjadi direktur penerbit Tintamas, Jakarta sampai tahun 1956. Pada tahun itu ia juga menjadi redaktur majalah Kisah bersama M. Balfas dan H.B. Jassin. Ia juga pernah bekerja pada penerbit Indira dan bagian propaganda unilever. Idrus juga pernah menjadi pengasuh majalah Gema Dunia dan Jenaka.

Idrus merupakan sastrawan yang berpikir realistis. Menurutnya di Indonesia penyair tidak hanya bisa hidup dari mengarang sehingga harus mencari uang dulu sehingga harus mencari uang terlebih dahulu (Rosidi, 2008: 576). Atas dasar pemikiran tersebut pada tahun 1964 tepatnya pada usia 43 tahun, Idrus pindah ke Malaysia dan berada disana selama enam bulan dan bekerja pada salah satu stasiun radio. Melanjutkan pengalamannya ke Jerman, dan singgah selama dua bulan, dan pada tahun 1965 pindah ke Australia untuk mengajarkan Bahasa dan Satra di Monash University.

Selain itu, Idrus dikenal sangat kritis dan berani mengkritik, misalnya pada ceramah di Palembang tahun 1958, “Penjabaran Kesusastraan Indonesia”. Dihadapan para seniman dan pemerintah daerah, menyindir para kritikus-kritikus Jakarta yang dianggap telah menjelma menjadi diktator kesusastraan, karena mengkondisikan seolah hanya Jakarta sebagai ukuran nasional dalam bidang sastra. Kondisi tersebut menyebabkan perkembangan kesusastraan Indonesia di daerah-daerah menjadi macet (Pedoman, 1958).

Karya-karya Idrus yang penting dicatat dan berpengaruh pada perkembangan sastra di Indonesia yaitu “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” yang merupakan kumpulan cerpen yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1948. Buku ini menggambarkan dinamika sosial pada masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan. Hamzad Rangkuti menilai karya tersebut merupakan tonggak cerpen Indonesia yang melampaui zamannya, karena tidak lagi bicara pertentangan adat, namun lebih kepada pergolakan jiwa tokoh-tokohnya. HB Jassin menilai, “Jalan Lain ke Roma”, merupakan perkawinan yang berhasil dari romantisme idealisme dalam “Ave Maria” dan “Kejahatan Membalas Dendam” dengan realisme “Corat-Coret di Bawah Tanah” (Idrus, 2010: ix).

Karya fenomenal lainnya novel “Surabaya” yang berisi sindiran terhadap pejuang-pejuang Indonesia. Novel-novel lainnya “Aki”, “Perempuan dan Kebangsaan”, “Dengan Mata Terbuka”, “Hati Nurani Manusia”, “Hikayat Putri Penelope”, “Hikayat Petualang Lima”. Selain menulis cerpen dan novel, Idrus juga menerjemahkan beberapa buku antara lain, “Keju“, Kathryn Fobers yang berjudul “Ibu yang Ku Kenang“, “Kereta Api Baja” karya pengarang Rusia Vsevolod Iwanov, “Toti Kita Sehari-Hari” dan “Dari Penciptaan Kedua” karya Ilya Enrenburg. Idrus juga menulis drama, yaitu Dokter Bisma dan Jibaku Aceh. (Idrus, 2010:178). Melalui karya-karya tersebut Idrus  dinilai sebagai pembaharu dalam bidang prosa karena dianggap memiliki kesederhanaan, realistis, naturalis dan kecenderungan satire dengan sindiran yang terbilang tajam. Peran Idrus dalam perkembangan sastra yaitu memisahkan antara prosa zaman revolusi dan prosa masa Pujangga baru.  Idrus meninggal dunia pada usia 58 tahun, tepatnya  tanggal 18 Mei 1979, di tanah kelahirannya, Padang, yaitu rumah ibunya Jl. A.R. Hakim. Mimpinya yang belum terwujud adalah menulis tentang cerita rakyat di Minangkabau yang merupakan bahan disertasinya.

Penulis: Citra Smara Dewi


Referensi

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Idrus

https://ibtimes.id/mengenang-abdullah-idrus-sastrawan-kemanusiaan-generasi-45/

Idrus (2010) Dari Ave Mari ke Jalan lain ke Roma, Jakarta:PT Balai Pustaka

Rosidi, Ajip (2008) Hidup Tanpa Ijasah Yang Terekam Dalam Kenangan, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya

Jassin, H. B (2018) Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45, Yogyakarta: Narasi

Pedoman (1958) “Penjabaran Kesusastraan Indonesia”.  24 November 1958 Thn. X No. 476.