Hans Bague Jassin (H.B. Jassin)

From Ensiklopedia
Hans Bague Jassin (H.B. Jassin). Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud


H.B Jassin memiliki nama lengkap Hans Bague Jassin, lahir di Gorontalo tanggal 31 Juli 1917, adalah kritikus sastra, penulis sastra, penyunting, penerjemah, dan juga cendekiawan muslim. Terlahir dari keluarga sederhana, ibunya bernama Habiba Jau dan ayahnya, Bagus Mantu Jassin, seorang staf administrasi pada Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Meski bekerja sebagai staf, ayahnya senang membaca dan memiliki perpustakaan pribadi dengan beberapa koleksi buku. Jassin diam-diam sering membaca buku koleksi ayahnya. Kebiasaan ini yang kemudian mendorongnya mendalami dunia sastra.

Masa kecil H.B Jassin dilalui di Gorontalo, yang saat itu memiliki sarana pendidikan yang masih sangat terbatas. Belum ada sekolah tingkat dasar pada masa tersebut. Beruntung ayahnya memiliki kenalan, sehingga Jassin dapat bersekolah, sampai kemudian dibuka Hollands Inlandsche School (HIS) dan Jassin langsung duduk di kelas dua. Jassin dikenal sebagai murid yang pandai mengarang dan membacakan cerita di depan murid-murid lainnya.  Selesai HIS, Jassin pindah ke Medan melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS).

Selama di Medan, Jassin mendapatkan banyak pengalaman antara lain bertemu dengan penyair Chairil Anwar pada perkumpulan pecinta baca dan olahraga. Sosok Chairil sudah dikenal sebagai penulis cerita dan mengasuh majalah dinding di sekolahnya. Pengalaman berharga lainnya adalah perjumpaan dengan wartawan terkemuka, Adinegoro, yang kelak menjadi titik balik penting dalam rintisan karir Jassin sebagai kritikus Sastra. Usai menyelesaikan pendidikan HBS-B 5 tahun di Medan (1939), ia disarankan ayahnya kembali ke Gorontalo. Tetapi dalam rencana perjalanan pulangnya, ia singgah dahulu ke Jakarta dan bertemu tokoh-tokoh senior, antara lain Sutan Takdir Alisyahbana (STA).

Saat itu Sutan Takdir sudah menjadi pengarang terkenal yang bekerja di Balai Pustaka. Jassin sempat bicara dan diskusi intens dengan STA. Perkenalan tersebut berlanjut karena STA terkesan, namun sayang Jassin harus kembali ke Gorontalo atas permintaan ayahnya. Setibanya di Gorontalo Jassin menerima surat STA yang mengabarkan terdapat lowongan di Balai Pustaka. Antara senang dan sedih Jassin menerima kabar tersebut, karena ia tak dapat memenuhi harapan STA. Ayahnya meminta Jassin bekerja di Kantor Asisten Residen, sebagai tenaga sukarela, namun Jassin hanya bertahan 5 bulan bekerja disana.

Pada tahun 1940, tepatnya setahun setelah Jassin kembali ke Gorontalo, ia minta izin kepada ayahnya untuk kembali ke Jakarta. Sampai Jakarta, Jassin langsung menemui STA dan sejak itu ia bekerja di Balai Pustaka dengan tugas membuat ulasan buku-buku sastra. Jassin merasa beruntung karena dapat bekerja bersama dengan tokoh sastra terkemuka seperti Tulis Sutan Sati, Armijn Pane, dan Aman Datuk Mojoindo. Ketelitian, kecermatan, dan ketekunan Jassin, membuat ia dipercaya mengelola majalah Sastra Pandji Pustaka, terbitan Balai Pustaka. Tahun 1947, Jassin berhenti dari Balai Pustaka namun tetap melanjutkan bekerja di bidang sastra dan kebudayaan, antara lain seperti Mimbar Indonesia (1947-1966), Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaya (1952-1963), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1969), dan Horison (1966-2000).

H.B Jassin menempuh pendidikan di Fakultas Sastra UI, lulus tahun 1957, menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1957), dan melanjutkan ke Universitas Yale, AS (1958-1959). Pengalaman kerja sebagai pegawai Kantor Asisten Residen Gorontalo (1939), Redaktur Balai Pustaka dan Pujangga Baru (1940-1942), Panji Pustaka (1942-1945), Panca Raya (1945-1947), Mimbar Indonesia (1947-1956), Majalah Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaya (1952-1963), Dosen Fakultas Sastra UI (1953-1959). Pegawai Lembaga Bahasa Nasional (sekarang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen P&K, 1954-1973).

Pengalaman dalam bidang sastra, dengan banyak membaca dan sekaligus sebagai kritikus sastra membuat Jassin memahami betul masing-masing gaya dan karakter penulisan para sastrawan. Berdasarkan pengetahuan dan wawasan tersebut, Jassin memberanikan diri membuat penggolongan para pengarang berdasarkan angkatan, yang kemudian dikenal dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ‘45 dan Angkatan ‘66. H.B. Jassin sendiri masuk dalam kategori Angkatan Pujangga Baru, yaitu merupakan nama yang diberikan kepada sejumlah pengarang yang menulis puisi, cerita pendek, roman drama, esei, kritik sastra dan telaah kebudayaan, yang karyanya terbit sebelum era kemerdekaan. Sebagian besar karya-karya tersebut diterbitkan di majalah “Poedjangga Baroe” yang terbit 29 Juli 1933.

Beberapa julukan yang melekat pada H.B. Jassin antara lain sebagai “Kritikus Sastra”, “Perawat Sastra Indonesia”, dan “Pembela Sastra Indonesia”. Sejak bekerja di Balai Pustaka tahun 1940, Jassin rajin menyimpan berbagai tulisan baik yang dimuat di majalah, surat kabar dan media cetak lain. Atas jasa Gubernur Provinsi DKI, Ali Sadikin, semua dokumen dan koleksi sastra H.B. Jassin mendapatkan tempat di salah satu area di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) yang kemudian dikenal sebagai Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin. Pada tanggal 28 Juni 1976, Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin, berdiri resmi berdasarkan Akta Notaris No 62, sehingga semua koleksi sastra yang tersebar di beberapa tempat dipindahkan ke PKJ TIM (Damono, 1987: 243).

Beberapa buku yang pernah ditulis H.B. Jassin: Angkatan 45 (1951), Tifa Penyair dan Daerahnja (1952), Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai jilid I—IV (1954, 1967; edisi baru 1985), Kesusastraan Dunia dalam Terdjemahan Indonesia (1966), Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggungjawaban (1970), Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1963), Pengarang Indonesia dan Dunianja (1963), Surat-Surat 1943-1983 (1984), Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), dan Koran dan Sastra Indonesia (1994).

H.B. Jassin juga menerjemahkan lebih dari 33 buku sejak tahun 1940-an. Salah satu buku terjemahan yang fenomenal adalah Max Havelaar: Atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda oleh Multatuli (1972) yang diterjemahkan dari bahasa Belanda. Pada pada tanggal 20 Januari 1973, H.B. Jassin memperoleh hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Berhard Fonds di Den Haag, Belanda, untuk terjemahan Max Havelaar karya Multatuli (Sofyan, 2020: 81).

Selain itu H.B. Jassin juga menjadi  editor 14 buku, yaitu  Pantjaran Tjinta: Kumpulan Tjerita Pendek dan Lukisan (1946), Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948), Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (1948), Kisah: 13 Tjerita Pendek (1955), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956), Analisis Sorotan Tjerita Pendek (1961), Amir Hamzah Raja Penyair Pudjangga Baru (1962), Pudjangga Baru Prosa dan Puisi (1963), Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik (editor bersama dengan Junus Amir Hamzah (1963), Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968), Polemik: Suatu Pembahasan Sastra dan Kebebasan Mentjipta Berhadapan dengan Undang-Undang dan Agama (kumpulan esai yang diterbitkan di Kuala Lumpur tahun 1972),  Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi (1995), Al Quran Berwajah Puisi (1997), dan Kontroversi Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia (2001) (Sofyan 2020: 78).

Pada 1960-an, H.B.Jassin tercatat sebagai salah satu perumus naskah , bersama seniman, budayawan dan penggerak budaya pada tahun 1963. Manifes Kebudayaan menekankan pentingnya menegakkan Pancasila sebagai falsafah Kebudayaan Nasional, dimana humanisme kultural harus diperjuangkan (Meljanto dan Ismail, 1995: 161-162). Keterlibatan H.B. Jassin dalam Manifes Kebudayaan berdampak terhadap karirnya sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia diberhentikan karena dianggap bertentangan dengan semangat Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Namun terhitung sejak tahun 1973, ia kembali mengajar dai  tercatat sebagai Lektor Tetap pada Perguruan Tinggi yang sama hingga pensiun.

Penghargaan yang pernah diterima H.B. Jassin, yaitu Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI tahun 1969, Hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds (Belanda) 1973, Hadiah Seni dari Pemerintah RI tahun 1983, dan Hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay, Filipina Tahun 1987. Ia juga Tercatat sebagai  anggota Akademi Jakarta sejak 1970 (seumur hidup) dan Ketua Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin sejak 1976.

H.B. Jassin meninggal pada 11 Maret 2000 di Jakarta, meninggalkan “mimpi” yang belum pernah terwujud yaitu mengembangkan Pusat Dokumentasi Sastra miliknya menjadi Pusat Dokumentasi Sastra Dunia. H.B. Jassin percaya bahwa sastra Indonesia memegang peranan penting dan banyak menjadi rujukan, sehingga satu saat Indonesia dapat menjadi pusat sastra dunia.

Penulis: Citra Smara Dewi


Referensi

Damono, Sapardi Djoko. (1987).  H.B Jassin 70 Tahun.  Jakarta : PT Gramedia, Jakarta.

https://dispusip.jakarta.go.id/hbjassin/angkatan-pujangga-baru-i/

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hans_Bague_Jassin

Moeljanto, D.S dan Ismail, Taufiq. 1995. Praha Budaya: Kilas Balik Offensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Penerbit Mizan.

Suharto, Prih. 2018. H.B Jassin Perawat Seni Sastra Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Sofyan, Oyon. 2020. H.B Jassin Sebuah Biografi. Jakarta: PT Tintamas Indonesia.