Abdurrahman Baswedan

From Ensiklopedia
Abdurrahman Baswedan (1957). Sumber: ANRI. Daftar Arsip Foto Personal. No. P09 363

Abdurrahman Awad Baswedan atau AR Baswedan adalah salah satu sosok penting dalam sejarah pergerakan kebangsaan awal abad ke-20. Keterlibatannya dalam pergerakan menjadikan persoalan kewargaan menjadi tema penting dalam perjuangan kebangsaan. Struktur sosial pada masa kolonial Hindia Belanda dibagi berdasarkan sistem rasial. Struktur kelas sosial atas ditempati oleh kaum kulit putih, orang Eropa. Kedua, ditempati oleh vreemde oosterlingen atau warga kulit kuning, Timur Asing, Cina, India dan Arab. Ketiga, golongan kulit cokelat, masyarakat pribumi atau bumiputra (Rivai, 2000:28; Kartodirjo, 1992: 210-212). Pengelompokan masyarakat berdasarkan garis rasial inilah yang ingin didobrak kaum pergerakan baik dari masa awal pergerakan hingga kemerdekaan, tak terkecuali oleh kaum peranakan.

A.R. Baswedan saat masa pergerakan lebih dikenal sebagai seorang jurnalis pro kemerdekaan yang bekerja pada media Tionghoa progresif milik Lim Koen Hian, yakni Sin Tit Po. Kedekatan keduanya terjalin, sebagai warga sesama keturunan, lebih intensif lagi setelah keduanya masing-masing mendirikan partai. Lim Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dan AR Baswedan Partai Arab Indonesia (PAI) sebagai bentuk keinginan untuk menjadi bagian dari negara Indonesia merdeka. Bagi A.R. Baswedan, dan juga warga keturunan lainnya, kemerdekaan tidak hanya memperjuangan dari pihak penjajah, namun juga belenggu identitas kewarganegaraan yang seringkali dianggap sebagai sang “liyan” oleh sesama anak bangsa.

Polemik identitas ini bahkan telah “memakan” korban sejak perumusan bab pasal kewarganegaraan pada sidang BPUPK (Badan Penyelidik Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan) yaitu saat Liem Koen Hian mengundurkan diri sebagai anggota BPUPK karena perumusan mengenai pasal kewarganegaraan pasal 26 ayat 1 tetap mencantumkan kata “ yang menjadi warga negara ialah bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara” (Purwanto, 2019: 72-73). Padahal sebelumnya A.R. Baswedan bersama dengan Liem Koen Hian dalam sidang BPUPK berkali-kali menunjukkan keseriusan bahwa tidak ada yang namanya bangsa Arab di Indonesia, bangsa Cina, dan timur asing lainnya, ketika kehadiran mereka—warga keturunan—saja sudah mencapai generasi keenam, berarti mereka adalah orang Indonesia (Kusuma, 2004). Sebagaimana pernyataan A.R. Baswedan sendiri, “Indonesia tanah airku, Hadramaut tanah para leluhurku” di tahun 1934 (Purwanto, 2019). Pandangan yang menyatakan dimana seseorang dilahirkan, maka disitulah tanah airnya, adalah sebuah pernyataan sikap hakiki tentang kemerdekaan.

A.R. Baswedan lahir di Ampel, Surabaya, 9 September 1908  dari seorang ayah keturunan Arab sedangkan sang kakek Umar bin Abu Bakar bin Mohammad bin Abdullah berasal dari Hadramaut yang merupakan Arab totok dan neneknya Noor binti Salim Makfud Bakhtir adalah seorang perempuan Indonesia, suku Jawa, asal Surabaya (Suratmin,1989: 18). Kelahirannya dalam keluarga besar Arab keturunan telah membentuk dirinya yang terbiasa untuk berada di tengah perkampungan, ataupun masyarakat Indonesia lainnya. Pengalaman masa kecil A.R. Baswedan yang seringkali dirundung oleh kelompok arab totok membuatnya mengenal lebih awal soal perlakuan yang diskriminatif.

Pendidikan awal yang dijalankan A.R. Baswedan berupa pendidikan agama Islam melalui Madrasah Jamiat al-Khair, maupun al-Rabitah (Kasheh, 1996). Kedua lembaga pendidikan ini menjadi ciri khas dari pendidikan di kalangan komunitas Hadrami. Meski demikian, pemikiran serta tingkah laku Baswedan unik dan penuh “pemberontakan” karena selalu mengambil jalan yang berbeda dengan adat istiadat kelompok Arab lainnya (op.cit,Ibid.). Sikap dan laku yang berbeda dengan kebanyakan warga Arab lainnya, mengantarkan Baswedan menjadi seorang penulis sekaligus jurnalis yang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya dalam media baik saat ia sejak bergabung dengan Sin Tit Po, Soeara Oemoem dan Matahari, hingga media yang ia kelola sendiri  Lembaga Baroe, Zaman Baroe, Al-Jaum, dan Aliran Baroe (op.cit.Ibid, 9-10)

Perkenalan dalam dunia jurnalistik ini, membuatnya mengetahui pergerakan kemerdekaan di kalangan aktivis pada periode itu. Terinspirasi dari pergerakan kongres Soempah Pemoeda, A.R. Baswedan lalu membentuk satu organisasi yang menyatakan bahwa warga keturunan Arab adalah bangsa Indonesia, dan ia kemudian mengajak seluruh warga keturunan arab menjadi warga negara Indonesia, karena Indonesia sebagai tanah kelahiran. Ajakan A.R. Baswedan ini jelas membuat perdebatan internal di kalangan warga Arab sendiri.

Warga keturunan Arab pun kemudian terbagi dua kelompok yakni kelompok yang merasa sebagai totok, karena tidak bercampur dengan darah pribumi, sehingga merasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan warga Arab keturunan yang sudah bercampur dengan pribumi. A.R. Baswedan ingin mendobrak cara pikir semacam ini dan kemudian mengajak untuk meleburkan diri menjadi bangsa Indonesia pada saat pendirian organisasi “Persatuan Arab Indonesia” pada 4 Oktober 1934 (op.cit.ibid). Usahanya tidak sia-sia, hingga tiga tahun kemudian, “persatuan” diganti menjadi “Partai Arab Indonesia” dan kemudian pada kongres ke-4 tahun 1939 PAI memiliki  banyak cabang di Hindia Belanda (Jonge, 1993 : 16). Beberapa pokok pikiran AR Baswedan adalah sebagai berikut: 1) Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia; 2) Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia-Islam; 3) Berdasarkan ketentuan di atas, Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia; 4) Untuk memenuhi kewajiban itu, perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan; 5) Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab; 6) Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia. (Suratmin,op.cit.:80)

Perjuangan mengenai kewarganegaraan perlu mendapat ruang yang lebih besar melalui konstitusi. Peluang perjuangan melalui konstitusi ini akhirnya dapat terwujud karena AR Baswedan kemudian menjadi Anggota BPUPK yang dibentuk untuk mempersiapkan kebutuhan apa sajakah yang diperlukan dalam membentuk negara.

Pembahasan dalam sidang BPUPK mengenai bab kewarganegaraan dibahas cukup mendapat perhatian yang cukup intens pada sidang kedua BPUPK. Berikut ini, kutipan langsung pandangan dari Baswedan dalam menerangkan mengenai keinginan dan alasan menjadi warga negara Indonesia jika kelak Indonesia menjadi negara merdeka  pada Sidang Besar BPUPK tanggal 11 Juli 1945 :

“...........Saudara Ketua! Dalam beberapa tempat ada beberapa pamili peranakan Arab kira-kira sampai 2 dan 4 atau 6 turunan, tetapi ini cuma beberapa pamili saja. Umumnya jikalau orang mengadakan penyelidikan, maka mereka itu datang di beberapa daerah dan bertemu disini dan hidup bersama-sama dengan bangsa Indonesia sampai bercampur dengan orang Indonesia. Tetapi menurut turunannya mereka itu disebut lagi Orang Arab. Kira-kira di dalam waktu 300 tahun lamanya mereka itu sudah lenyap dan meresap di dalam bangsa Indonesia. Maka dengan sendirinya cultureel mereka itu penduduk Arab. Terutama peranakannya tidak berbeda sama sekali dengan penduduk Indonesia lain-lainnya. Karena kita mengerti, bahwa agama Islam itu di dalam  soal-soal yang mengenai pergaulan masyarakat juga mencampuri keadaan masyarakat sampai mereka itu cultureel di dalam lingkungan rumah tangga dan diluar rumah tangga itu tidak dapat dibedakan lagi daripada bangsa Indonesia pada umumnya, kecuali barangkali nama saja.
.....................
Paduka Tuan Ketua. Hal ini sesungguhnya kalau ditilik dari sudut keinginan juga ada kebenerannya meskipun dalam agama Islam tidak ada tanda atau hukum kerakyatan dan sebagainya yang berhubungan dengan soal tatanegara dalam perkara ini, akan tetapi semangat agama Islam menentukan bahwa orang yang lahir dan tinggal di suatu tempat ia kan menjadi anak negara itu, ia harus berjuang untuk itu, dimana ia hidup dan dapat rejeki. Hal ini tidak heran dalam literatur Arab kita dapat menulis yang terkenal yang bernama Ibnu Hasan Andalusia sebab dia dari Andalusi. Seperti diketahui ia pengarang besar mengatakan dengan tegas bahwa orang harus disebut menurut negeri tempat ia lahir atau tempat tinggal beberapa tahun lamanya.
.............................
Jadi, Paduka Tuan Ketua, perkara agama Islam itu, disitu kebangsaan tidak tetap menurut keturunan, akan tetapi menurut tempat dimana ia ada. Oleh sebab itu, saya sendiri punya pendirian, saya harap bisa dimaklumi oleh teman-teman, agama Islam berpaham begitu, itu menurut perasaan saya. Saya sendiri mempunyai pendirian sebagai seorang nasionalis Indonesia. Apa sebabnya? Sebab saya orang islam, maka saya seorang Nasionalis Indonesia disebabkan oleh pelajaran Islam daripada riwayat sejarah.” (A.B. Kusuma, 2004:  290-292)

Pemikiran pentingnya menyangkut pernyataan kewarganegaraan ini, tidak berhenti hingga sidang BPUPK saja. Secara konsisten, Baswedan juga membela kewarganegaraan kelompok Tionghoa pasca kemerdekaan yang dianggap masih bukan sebagai warga negara sebelum melakukan naturalisasi dan juga dipaksa harus mengganti penggunaan nama Tionghoanya (Lie, 2018). Perannya yang lain setelah kemerdekaan adalah menjadi Anggota KNIP, dipilih menjadi menteri muda, lalu anggota konstituante. Namun, setelah pembubaran Dewan Konstituante, kehidupan di dunia politik ditinggalkannya lalu menjalani kehidupan sebagai dai, penulis serta wartawan hingga akhir hidupnya pada tahun 16 maret 1986.

Penulis: Anna Mariana


Referensi

Bambang Purwanto, Praktik Kewarganegaraan di Indonesia dalam Perspektif Historiografis, Yogyakarta: Ombak, 2019.

Ravando Lie, “Bagaimana Abdurrahman Baswedan membela Tionghoa?”, dalam https://tirto.id/bagaimana-abdurrahman-baswedan-membela-tionghoa-c9Ug

RM. A.B.  Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Memuat Salinan Otentik Badan oentoek Menyelidiki Oesaha–Oesaha Persiapan Kemerdekaan), Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2004.   

Jong, Huub de “Discord And Solidarity Among the Arabs in the Netherlands East Indies, 1900-1942”, Indonesia No. 55, The East Indies and the Dutch (Apr., 1993), pp. 73-90 (18 pages).

Kesheh, Natalie Mobini “The Arab Periodicals of the Netherlands East Indies, 1914-1942” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 1996, Deel 152, 2de Afl. (1996), pp. 236-256.

Sartono Kartodirjo, Pengantar sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional: Dari kolonialisme sampai nasionalisme, Jakarta: Gramedia, 1992.

Suratmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan pengabdiannya, Jakarta: Direktorat sejarah dan Nilai Tradisional, 1989.

Taufik Rahzen dkk. Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta: Iboekoe, 2007.