Al-Washliyah
Al-Jam’iyatul Washliyah atau sering disebut al-Washliyah adalah organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam baraliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (sunni) yang lahir di Medan, Sumatera Utara pada 30 November 1930. Secara bahasa, kata al-Washliyah berarti organisasi yang memperhubungkan atau mempertalikan (Ja'far, 2022).
Berdasarkan arti nama tersebut, organisasi al-Washliyah memiliki lima fokus usaha, pertama, memperhubungkan antara sesama anggotanya. Kedua, memperhubungkan antara pengurus ranting dengan pengurus cabang dan daerahnya. Ketiga, memperhubungkan antara satu perhimpunan dengan perhimpunan lain. Keempat, memperhubungkan umat Islam dengan agamanya. Kelima, memperhubungkan manusia dengan Tuhannya (Sulaiman, 1956).
Al-Washliyah didirikan oleh sejumlah pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) dan pelajar dari Madrasah Al-Hasaniyah (Ja'far, Citra Al-Washliyah: Histori, Moderasi dan Jihad untuk NKRI, 2022). Di antara para pelopor itu adalah Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Abdurrahman Syihab, Ismail Banda, Yusuf Ahmad Lubis, H. Adnan Nur Lubis, Sulaiman, Syamsuddin Said dan lain-lain (Hasanuddin, 1988).
Dalam catatan lain disebutkan bahwa para perintis organisasi di Tanah Batak ini melebihi dari yang sudah disebutkan tadi. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan pelajar dan ulama melainkan ada juga yang berlatar pengusaha, politisi dan militer (Dahlan, 2022). Mereka adalah Abdul Azis, Letkol Baharuddin Ali, Usman Deli dan Syaikh Muhammad Yunus. Nama yang disebutkan terakhir, juga merupakan sesepuh atau penasihat organisasi yang telah menamai organisasi ini dengan nama Al Jam’iyatul Washliyah (Ja'far, Citra Al-Washliyah: Histori, Moderasi dan Jihad untuk NKRI, 2022).
Dalam orientasi pemikiran keisalaman, corak keagamaan yang ditampilkan al-Washliyah sama seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yakni mengusung keberisalaman yang moderat atau washatiyah. Meski begitu, kepopuleran atau pengaruhnya tidak sebesar dua organisasi tersebut, al-Washliyah lebih kuat di tataran daerah (Azra, 2015).
Dari segi metode dakwah, al-Washliyah cenderung menjunjung nilai-nilai tradisional sebagaimana ditemui di kalangan ulama-ulama NU, meski di sisi lain al-Wasliyah memiliki sistem pendidikan yang variatif antara pendidikan tradisional dan modern. Sejak awal berdiri, al-Washliyah sudah memiliki madrasah sebagai representasi sistem pendidikan tradisional dan sekolah mewakili sistem pendidikan modern dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat (Rozali, 2016).
Al-Washliyah tercatat sebagai salah satu organisasi yang memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, baik saat masih dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda maupun sesudah Ir Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan Indonesia merdeka. Perjuangan yang dilakukan al-Washliyah cukup kompleks. Kontribusi mereka meliputi kegiatan yang berupa kemiliteran maupun non-kemiliteran. Pada tanggal 29 Oktober 1945, al-Washliyah menggelar konferensi dengan dihadiri sejumlah guru dan ulama untuk mendiskusikan tindakan-tindakan, strategi dan pertanggungjawaban apa yang perlu dilaksanakan (Sulaiman, 1956).
Di dunia kemiliteran, al-Washliyah membentuk Hizbullah al-Washliyah. Gerakan sayap ini dibentuk saat muktamar al-Washliyah yang kelima pada 30 November 1945 di Pematang Siantar. Hizbullah al-Washliyah merupakan produk keputusan muktamar melalui pembentukan Majelis Pertahanan Kemerdekaan Indonesia al-Washliyah, mengingat kondisi saat itu hampir seluruh wilayah Indonesia kembali didatangi oleh Belanda dengan membawa negara sekutu untuk melakukan agresi militer (Sulaiman, 1956).
Sebagai sebuah organisasi, terdapat tiga tujuan yang menjadi fokus al-Washliyah, pertama, mengamalkan ajaran Islam untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Kedua, mewujudkan masyarakat yang beriman, bertaqwa, aman, damai, adil, makmur, dan diridhoi Allah SWT dalam NKRI. Ketiga, menumbuhkan gairah dan dorongan yang kuat dalam masyarakat Indonesia untuk turut berperan serta aktif dalam pembangunan Nasional. Tujuan ini kemudian diejawantahkan dalam beberapa bentuk kegiatan seperti di bidang pendidikan, dakwah dan amal sosial (Kemenag, 2017).
Adapun visi dan misi al-Washliyah adalah menjadikan AI-Jam'iyatul Washliyah sebagai organisasi terbesar yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia agar mewujudnya Hablum-Minallah wa Hablum-Munannas dan terciptanya negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbuna Ghafur. AI-Jam'iyatul Washliyah bertekad membina dan membangun umat, masyarakat, dan bangsa Indonesia untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu pengetahuan, serta berakhlak mulia serta memperjuangkan tercapainya tujuan hidup dunia dan akhirat (Kemenag, 2017). Saat ini, kepengurusan al-Washliyah sudah memiliki 25 cabang yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Daftar Pustaka
Azra, A. (2015). Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Institusi dan Gerakan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemendikbud.
Dahlan, Z. (2022). Al Washliyah Studies: Catatan Menuju 1 Abad Al-Jam'iyatul Washliyah. Medan: Pusat Kajian Al Washliyah.
Hasanuddin, C. (1988). Al-Jamíyatul Washliyah, 1930-1942: Api dalam Sekam di Sumatera Timur. Bandung: Pustaka.
Ja'far. (2022). Citra Al-Washliyah: Histori, Moderasi dan Jihad untuk NKRI. Medan: Pusat Kajian Al-Washliyah.
Ja'far. (2022). Dialog Kealwashliyahan: Sketsa Gerakan Al-Washliyah di Pentas Lokal, Nasional dan Global. Medan: Pusat Kajian Al Washliyah.
Kemenag. (2017). Direktori Organisasi Kemsyarakatan Islam (Ormas Islam). Jakarta: Dirjen Bimas Islam.
Rozali, M. (2016). Tradisi Keulamaan Al Jam'iyatul Washliyah. Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Sulaiman, N. (1956). Peringatan 1/4 Abad Al-Djamiatul Washlijah. Medan: Pengurus Besar Al-Djamiatul Washlijah.