Alexander Willem Frederik Idenburg
Idenburg adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-22 sejak 1816, ketika koloni ini dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. Politikus senior dengan kariernya yang panjang ini–baik di negeri induk maupun koloni-koloninya–lahir di Rotterdam, Belanda (1861) dari keluarga Protestan ortodoks. Ayahnya seorang dokter yang berdinas di Angkatan Laut. Menginjak usia 16, Idenburg dikirim ke Akademi Militer Kerajaan di Breda dan lulus sebagai perwira zeni. Pada 1882, sebagai letnan dua dirinya ditugaskan ke Hindia Belanda, mengawali karier militer yang akan berlangsung selama dua puluh tahun.
Idenburg aktif dalam mewujudkan "Pax Neerlandica" dan terlibat dalam kampanye-kampanye militer di Kalimantan Barat (1884) dan Aceh (1889-1890). Perwira muda ini dipromosikan sebagai kapten (1892) dan empat tahun kemudian dirinya diangkat sebagai Ajudan Panglima Tentara Hindia Belanda, Letnan Jenderal J.A. Vetter, jabatan yang dipegangnya hingga 1901. Pada 1882 Idenburg menikahi Maria Elisabeth Duetz, barangkali menjelang keberangkatannya ke Hindia. Selain empat anak yang meninggal muda, dari pernikahan ini lahir dua putri dan satu putra (Fasseur, 1983)
Latar belakang agama Kristennya yang fanatik membawa Idenburg berjemaat di Gereja Reform di Kwitang, Batavia. Dirinya kemudian terpilih selaku penatua dan ketika terjadi kekosongan pendeta selama beberapa bulan (1899), dia yang memimpin kebaktian di gereja ini. Imannya kemudian menciptakan kehebohan di Batavia. Sebagai perwira muda, Idenburg menolak menghadiri resepsi atasannya yang diadakan di hari Minggu dengan alasan dia hendak menjalankan ibadah agamanya. Pada 1901 ia kembali ke Belanda dengan cuti sakit sekaligus mengakhiri kariernya di militer (Fasseur, 1983).
Selama cuti ke Eropa pada 1894 dan 1895, Idenburg melakukan kontak dengan Abraham Kuyper (1837–1920). Sosok teolog yang sangat berpengaruh ini merupakan pendiri Gereja Reformed Belanda, pemimpin partai politik Kristen "Partai Anti-Revolusioner", pemimpin redaksi harian "De Standaard" dan sekaligus pendiri "Vrije Universiteit" di Amsterdam, yang kemudian menjadi Perdana Menteri (1901–1905) (Holtrop, 2000: 143). Perkenalan ini menandai awal persahabatan pribadi dan hubungan politik yang langgeng, dan nantinya berpengaruh besar pada karier Idenburg selanjutnya. Kuyper lah yang memasukkan Idenburg–yang baru saja kembali dari Hindia Belanda–ke dalam dunia politik Belanda yang berawal dari keanggotaannya di Majelis Rendah (1901) (Fasseur, 1983).
Karier politik veteran perang ini terus menanjak dengan pesat karena dukungan Kuyper dan partai Kristen konservatif. Idenburg dipercaya menjalankan tugas yang terkait dengan urusan koloni-koloni Belanda, yang diawali dengan posisi Menteri Urusan Jajahan (yang kemudian dijabatnya hingga tiga kali: 1902–1905; 1908–1909 dan 1918–1919) serta Gubernur Suriname, koloni Belanda di Amerika Selatan (1905-1908) ("A.W.F. Idenburg", t.t.)
Pada 1909 partai Kristen konservatif meraih kemenangan besar di Belanda. Maka tokoh-tokohnya menduduki posisi penting. J.H. de Waal Malefijt (1852–1931) menjadi menteri urusan jajahan dan Idenburg–dengan Dekrit Kerajaan 21 Agustus 1909–diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Posisi ini dijabatnya mulai Desember 1909 sampai Maret 1916, lebih lama dari masa jabatan umum lima tahun, dikarenakan adanya Perang Dunia I ("A.W.F. Idenburg", t.t.).
Sejak diberlakukannya kebijakan ekonomi liberal (1870)--yang membuka kesempatan luas bagi pengusaha swasta untuk berperan serta dalam kehidupan ekonomi–masyarakat Eropa di Hindia Belanda mulai menyadari pentingnya perhatian terhadap penduduk lokal. Mulailah bermunculan gagasan untuk meningkatkan taraf hidup mereka, yang diwakili dua orang humanis: C.Th. Van Deventer dan Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Puncak gerakan ini adalah pidato Ratu Belanda Wilhelmina di depan Parlemen, yang memperkenalkan Politik Etis di dalamnya (September 1901) (Aritonang- 2004: 146-147).
Ketika Kuyper diangkat sebagai perdana menteri (1901), tidaklah mengejutkan bahwa dalam pidato kenegaraannya, dia menghubungkan gagasan Belanda sebagai "Kekuatan Kristen" dengan "panggilan moralnya" untuk Hindia. Di pihak lain, Idenburg juga menganggap Kristenisasi Hindia sebagai titik awal, atau lebih tepatnya sebagai "kandungan istimewa" dari program Partai Anti-Revolusioner yang berkuasa bagi koloninya (Holtrop, 2000: 146). Dan Idenburg adalah orang "yang...mendapat tugas untuk....melakukan usaha untuk merealisasikan politik kolonial etis, yang untuknya Kuyper telah merumuskan titik tolaknya serta tujuannya” (Verkuyl, 1990: 40-41). Sejarawan Belanda Fasseur (dalam Holtrop, 2000: 147) menyebut Idenburg, "Perwujudan versi Kristen dari kebijakan kolonial etis" ("The incarnation of the Christian version of the ethical colonial policy").
Selama seabad pemerintah memberlakukan prinsip netralitas terhadap agama. Namun, di bawah duo penguasa ini pembatasan misi dan zending yang sudah sejak lama diberlakukan di Hindia Belanda dihapuskan. Maka kegiatan misi dan zending Kristen di Jawa semakin gencar, khususnya di Jawa Tengah. Pemerintah bahkan mengeluarkan "edaran" (sirkuler). Tentu langkah pemerintah ini menimbulkan protes berbagai pihak, baik dari kalangan liberal dan sosialis Belanda maupun masyarakat Islam yang. "Makin percaya bahwa Kristenisasi besar-besaran sedang melanda Hindia Belanda" (Simbolon, 2007: 158-159; Suminto, 1985: 22-23). Kalangan Eropa banyak mengecamnya karena dia dianggap terlalu sikap moderat kepada Sarekat Islam (SI), yang saat itu muncul sebagai suatu kekuatan massa yang memiliki ribuan anggota.
Namun Idenburg mengidentifikasi munculnya SI, “Sebagai salah satu langkah menuju kebangkitan rakyat yang berfungsi melayani Politik Etis untuk mencapai tujuannya" (Alfian, 2010: 48). Dalam hal ini Idenburg sepaham dengan penasehat urusan pribumi, G.A.J. Hazeu. Mereka berdua mampu melihat adanya perubahan besar yang sedang terjadi dalam kehidupan pribumi. Maka Idenburg menolak banyaknya desakan untuk menindas SI, bahkan dirinya memberikan status badan hukum bagi SI di tingkat-tingkat lokal (Suminto, 1985: 126-127). Tambahnya, secara resmi tidak ada alasan baginya untuk mencurigai SI, karena mereka berperilaku "benar", "setia", dan "tidak revolusioner" (Holtrop, 2000: 151). Intinya SI "bersikap kooperatif dan tidak anti Belanda" (Verkuyl, 1990: 47)
Sikap sederhana Idenburg yang ditunjukkannya saat audiensi dengan pengurus SI, sangat memberikan kesan mendalam kepada para pimpinan organisasi tersebut. Dia melarang mereka untuk duduk di lantai di depannya, suatu kebiasaan yang berlaku pada saat itu. Pers pribumi menyebut Idenburg berlaku laksana "seorang bapak", bukan "raja muda". Keramahannya sangat mengesankan, sampai Tjokroaminoto menulis bahwa "nama Idenburg tetap akan tercantum dalam hati jutaan orang Indonesia, terutama dalam hati para anggota Sarekat Islam" (Korver, 1985: 64). Seorang tokoh SI lainnya, Haji Agus Salim bertahun kemudian masih terkenang dengan peristiwa tersebut. Verkuyl (1990: 46) menulis: "Ia tidak habis-habisnya ngomong tentang cara yang manusiawi dan sederhana yang dilakukan oleh...Idenburg untuk menerima dan memperlakukan dia dan yang lain-lain sama derajat".
Di sini nampak adanya sikap kontras Idenburg terhadap Indische Partij, yang baginya berfaham, "Anti Belanda dan anti penjajahan dan berjuang menuju ke ...kemerdekaan Hindia". Tanpa kompromi, partai yang berdiri Desember 1912 itu dibubarkannya tiga bulan kemudian dan ketiga tokohnya–E.F.E Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suryadi Suryaningrat–dibuang ke Belanda (Verkuyl, 1990: 47).
Di kalangan oposisi di Belanda, apa yang dilakukan Idenburg dinilai memberikan terlalu banyak kemudahan pada zending, yang akhirnya membangkitkan perasaan antipati kalangan Islam, khususnya SI (Suminto, 1985: 24-25). Tidaklah mengherankan bahwa organisasi ini berkembang pesat sehingga berkembang menjadi kekuatan politik yang mengancam keberadaan Belanda di Hindia. Maka para penentangnya memelesetkan kepanjangan SI sebagai "Salah Idenburg" (Aritonang, 2004: 157: Suminto, 1985: 127), sambil mengejeknya sebagai "sang fanatik" yang bertahta di singgasana Buitenzorg ("de dweper" op de Buitenzorgse troon) (Fasseur, 2013)
Setelah tugasnya di Hindia selesai, Idenburg kembali ke Belanda. Sejak 1920–1924 dia menjabat menteri negara dan anggota senat. Pada 1924 ia diangkat menjadi anggota dewan penasihat sekaligus penasihat pribadi Ratu Wilhelmina sampai wafatnya pada 1935 (Holtrop, 2000: 144).
Penulis: Didi Kwartanada
Referensi
Alfian (2010). Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap Kolonialisme Belanda. Terjemahan Machnun Husein. Jakarta: Al-Wasath.
Aritonang, Jan S. (2004). Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
"A.W.F. Idenburg" (t.t) www.parlement.com di laman https://www.parlement.com/id/vg09ll1wtfwj/a_w_f_idenburg (diakses 25 November 2021).
Fasseur, C (2013). "Idenburg, Alexander Willem Frederik (1861-1935)", Resources Huygens Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, di laman http://resources.huygens.knaw.nl/bwn1880-2000/lemmata/bwn1/idenburg (diakses 30 Oktober 2021)
Holtrop, Pieter N. (2000). "The Governor a Missionary? Dutch Colonial Rule and Christianization during Idenburg’s Term of Office as Governor of Indonesia (1909-16)". Studies in Church History. Subsidia, 13, h. 142–156. doi:10.1017/s0143045900002830
Korver, A.P.E (1985). Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? Jakarta: Grafiti Pres
Simbolon, Parakitri T. (2007). Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas.
Siminto, H. A. (1985). Politik Islam Hindia Belanda: het Kantoor voor Inlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES.
Verkuyl, J. (1990). Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada masa Politik Kolonial Etis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.