Badan Istimewa

From Ensiklopedia

Badan Istimewa yang dimaksudkan adalah lembaga intelijen pertama Republik Indonesia yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Dinas rahasia ini diletakkan dalam bagian Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang ditetapkan pada sidang PPKI pada 22 Agustus 1945. Badan Istimewa segera melakukan pendidikan dan pelatihan untuk menyegerakan mengisi kekosongan intelijen, yaitu pendidikan dan pelatihan di Cilincing dengan penekanan materi mengenai informasi, sabotase, dan psywar yang diajarkan oleh lulusan sekolah intelijen Jepang Seinen Dojo. Para pelatih lulusan  Seinen Dojo dan para peserta direkrut dari pemuda pejuang yang tergabung dalam BKR (Sukarno 2011: 3).

Sebutan Seinen Dojo arti harafiahnya pusat pelatihan pemuda. Mereka diberikan latihan dasar militer selama 6 bulan yang dimulai pada bulan Januari sampai Juni 1943 di pusat pelatihan khusus. Sejumlah 50 orang pemuda Indonesia dilatih di Tangerang. Tujuan pelatihan sebenarnya untuk mengetahui apakah pemuda biasa layak untuk direkrut di dinas militer ketika dibutuhkan. Letnan Yanagawa Motoshige dipilih sebagai komandan Seinen Dojo dan berhasil pada pelatihan pertama, sehingga setelah menyelesaikan pelatihan pertama dipilih lagi pada pelatihan kedua yang dimulai pada Juli 1943 (Notosusanto 1981: 36). Mereka dianggap sebagai pendahulu bagi Sekolah Perwira Pembela Tanah Air (PETA) yang ditugaskan menjadi pembantu pelatih di pusat pelatihan di Cimahi, Magelang, dan Bogor. Baik lulusan Seinen Dojo maupun lulusan pelatihan di kota tersebut direkrut menjadi tentara PETA (Moehkardi 2019: 121)

Para personil itu sebagai kelompok pemuda pejuang membentuk Badan Istimewa yang dipimpin oleh Zulkifli Lubis. Menurut kesaksian Hario Kecik (2009: 362), Zoelkifli Loebis berpangkat letnan kolonel,  pada masa Jepang mengikuti latihan di Seinen Dojo dan Yu Geki Tai, yang kemudian bertugas menyusun badan intelijen negara yang dibentuk untuk mengawal negara yang baru merdeka. Ancaman negara dapat datang dari Jepang meskipun telah menyerah, Sekutu (terutama Inggris dan Belanda), dan gangguan dari dalam negera (Sukarno 2011: 2). Pada awal pembentukan, karena keterbatasan personil, Badan Istimewa memanfaatkan militer yang tersebar di berbagai daerah di Jawa dalam operasi intelijen.

Badan Istimewa berubah menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) pada 7 Mei 1946 berada di bawah kementerian pertahanan dan memiliki akses langsung ke presiden. Pada saat itu, ibukota pemerintahan republik Indonesia pindah ke Yogyakarta pada awal Januari 1946. Perubahan tersebut sebagai langkah memperluas jaringan tidak hanya terbatas pada intelijen militer, tetapi juga intelijen politik dan strategis. Dengan demikian, BRANI sebagai payung bagi beragam unit khusus yang dibentuk oleh komandan lapangan di seluruh Jawa. Perekrutan dan pelatihan pertama dilakukan dengan sejumlah peserta tiga puluhan pemuda pejuang yang berhasil  menyelesaikan pelatihan pada minggu pertama bulan Mei 1946 (Conboy 2004: 17-18, Purwanto 2021: 52).

Kondisi masa perang mempersingkat waktu pelatihan, dan mereka langsung ditugaskan sebagai letnan dua angkatan pertama republik. Lulusan langsung diberi tanda pengenal atau kartu identitas sebagai anggota Badan Rahasia Negara Indonesia yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno (Conboy 2004: 17-18). Jaringan intelijen ini juga dibentuk di daerah, salah satu contohnya adalah Jawa Timur yang dikomandani oleh Hario Kecik (Kecik 2009: 354). Unit intelijen dibawah BRIN dibentuk di Surabaya yang dikenal sebagai Kontra-Intelijen, yang dituduh mencari sejumlah besar simpatisan Belanda di Jawa Timur.

Strategi lain dikenal sebagai "persiapan lapangan", yang diarahkan untuk melakukan pengintaian dengan mendorong dukungan untuk republik. Upaya ini tidak hanya terbatas di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, seperti Bali, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Sumatera. Zoelkifli Loebis mengatur sel-sel "persiapan lapangan" kecil dengan melakukan perjalanan dengan perahu ke tujuan tersebut (Conboy 2004: 17-18). Langkah ini didasarkan atas situasi politik yang menunjukkan ancaman nyata bahwa Belanda menginginkan berkuasa lagi, maka fungsi utama lembaga ini fokus pada ancaman peperangan antara Indonesia dan Belanda.

Penulis: Samidi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Conboy, Ken  (2004). Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service. Jakarta - Singapore: Equinox Publishing.

Kecik, Hario (2009). Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Moehkardi (2019). Bunga Rampai Sejarah Indonesia: Dari Borobudur hingga Revolusi Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Notosusanto, Nugroho (1981). "The Peta Army in Indonesia 1943 - 1945" dalam Japan in Asia, 1942 - 1945. Singapore: Singapore University Press.

Purwanto, Hari (2021). Intelijen dan Dinamika Demokrasi di Indonesia. Surabaya: Jakad Media Publishing.

Sukarno, Irawan (2011). Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia