Barisan Sabilillah
Barisan Sabilillah berarti Pasukan di jalan Tuhan, atau Pasukan Berani Mati, yang sebagian besar dipimpin para kiai. Barisan Sabilillah dibentuk pada masa revolusi fisik, tepatnya terejawantah atas inisiatif Masyumi ketika melakukan kongres pertama di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Anggota dari barisan ini adalah umat Islam, pimpinan pusatnya bernama Markas Besar Sabilillah, yang terdiri dari 1 orang ahli siasat, 2 orang ahli agama, dan 2 orang ahli penerangan (Kartosoewirjo, tt: 11-12). Tujuan pembentukan Barisan Sabilillah antara lain adalah: 1). Memperkuat persiapan umat Islam untuk berjihad fi sabilillah. 2). Memperkuat pertahanan Indonesia dengan berbagai usaha yang diwajibkan oleh agama Islam, maka perlu dibuat sebuah barisan khusus bernama barisan sabilillah di bawah pengawasan Masyumi (Maschuroh, 2003: 49).
Kongres Umat Islam di Yogyakarta telah melahirkan kembali Masyumi, menggantikan Madjelis Islam a’la Indonesia (MIAI). Bersamaan dengan itu, kongres juga menghasilkan dua resolusi besar, yaitu memperkuat persiapan umat Islam untuk berjuang di Jalan Allah dan perkuat pertahanan Indonesia dengan membentuk pasukan yang siap berperang (Madiner, 2015: 75-76). Pembentukan Barisan Sabilillah ini murni bersifat militer dengan maksud mempersiapkan dan memperkukuh kesigapan umat Muslim dalam rangka melakukan pertahanan terhadap peperangan mempertahankan kemerdekaan RI. Organisasi ini bernaung dan menjadi bagian dari Masyumi, dan karenanya menunjukkan bahwa saat itu para tokoh ulama juga terlibat langsung revolusi fisik dengan menjadi barisan istimewa TKR atau Tentara Keamanan Rakyat (Suryanegara, 1996: 300)
Barisan Sabilillah ini memang merupakan organisasi semi-militer. Sabilillah berarti Jalan Allah. Barisan Sabilillah mempunyai kesamaan dengan Laskar Hizbullah karena keduanya di bawah naungan Masyumi (Madiner, 2015: 76-77, 356-357). Yang berbeda ialah soal keanggotaan dan tujuannya. Barisan Sabilillah ini terbuka untuk umat Muslim dengan batasan usia antara 35-50 tahun, sedangkan Hizbullah sepenuhnya di bawah otoritas partai Masyumi dan melalui pendidikan dan pelatihan yang resmi. Tujuannya mempertahankan kemerdekaan Indonesia berdasarkan resolusi jihad para ulama pada Oktober 1945 (Bush, 2009: 42).
Ide pembentukan Barisan Sabilillah ini muncul setelah Masyumi bangkit kembali dan bermaksud memperluas fungsi di bidang militer. Meski saat itu sudah ada Barisan Hizbullah, namun para pemimpin Masyumi merasa perlu menambah kekuatan dengan melibatkan peran umat Islam secara lebih luas, yakni dengan membentuk Barisan Sabilillah ini (Kersten, 2017: 136).
Secara struktural Barisan Sabilillah ini termasuk ke dalam naungan Departemen Pembelaan Partai Masyumi, yang saat itu dipimpin KH. Masjkur. Karena berada dibawah naungan Masyumi, Barisan Sabilillah berkembang dengan cepat. Organisasi militer Islam ini hadir menyebar di Jawa sampai ke pelosok desa-desa. Markas besarnya berada di kota Malang (Farih, 2016: 253). KH. Masjkur memimpin pasukannya untuk bergerak menuju Surabaya guna menghadapi tentara Sekutu pada November 1945. Dengan membawa bambu runcing, senapan rampasan dari Jepang, dan juga bendera merah putih yang telah dituliskan kalimat “Laa ilaaha ilallah”, mereka menghadapi tentara sekutu. Dalam perkembangannya tidak sedikit dari Barisan Sabilillah ini melebur ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1947-1948 (Zuhdi dan Nursam: 35-36).
Barisan Sabilillah menunjukkan bentuk nyata dari keterlibatan para ulama dalam perang revolusi melawan kolonialisme. Melalui seruan jihad, mereka mewajibkan kepada seluruh umat Islam agar bergerak mempertahankan kemerdekaan, dengan mengangkat senjata, dan kewajiban itu merupakan bagian dari jihad seorang Muslim (Adnan, 1999: 87). Dengan demikian, perjuangan mempertahankan kemerdekaan hukumnya wajib bagi setiap umat Muslim dan perang melawan penjajah termasuk perang suci Jihad fi Sabilillah (Bruinessen, 1994: 59). Seruan tersebut telah memberikan dampak besar terhadap respons langsung umat Islam melaksanakan “perang suci”. Gerakan ini mampu menyatukan para ulama dan santri bersama masyarakat untuk berjuang bersama-sama dalam rangka merebut kemerdekaan kembali dengan berjuang melawan Belanda (Salik, 2020: 60).
Penulis: Akhmad Yusuf
Instansi: Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi:
Adnan, M. Mas`ud. Resolusi Jihad dalam peristiwa 10 November, Surabaya: Jawa Pos, 1999.
Anderson, Benedict Richard O'Gorman. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. India: Equinox Pub., 2006.
Boland, B. J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1971.
Bruinessen, Martin Van. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Farih, Amin. “Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya dalam memperjuangkan Kemerdekaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indononesia., Jurnal Walisongo, Vol. 24. No. 2 November 2016.
Formichi, Chiara. Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia, Leiden: KITLV Press, 2012.
Kartosoewirjo. SM. Anggaran Dasar dan Roemah Tangga, Program Perdjoangan dan Program Oesaha Tjepat Masjomi (Partai Politik Islam). N.p.: Masjoemi Tjabang Bogor, (n.d.).
Kersten, Carool. A History of Islam in Indonesia Unity in Diversity, UK: Edinburgh University Press, 2017.
Madinier, Rémy. Islam and Politics in Indonesia The Masyumi Party between Democracy and Integralism, Singapore: NUS Press, 2015.
Maschuroh, Emi. Sejarah Pembentukan dan Peranan Hizbullah dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Bogor (1945-1947), UIN Jakarta: Skripsi S-1, Prodi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, 2003.
Ricklefs, Merle Calvin., Nugraha, Moh. Sidik. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Salik, Mohamad. Nahdlatul Ulama dan Gagasan Moderasi Islam, Malang: PT. Literindo Berkah Jaya, 2020.
Sejarah perjuangan Hizbullah Sabilillah, Divisi Sunan Bonang. Indonesia: Yayasan Bhakti Utama bekerjasama Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Yogyakarta, 1997.
Simpul Sejarah: Mengikat makna perjuangan Umat Islam Bangsa Indonesia. N.p.: Argopuros Pena Aksara, 2017.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1996.
Zuhdi, Susanto., dan Nursam. ed. Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, Nation Information, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.