Bersiap
Istilah “bersiap” merujuk kondisi Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945 sampai akhir 1946. Bulan September adalah masa kebangkitan rakyat Jakarta dan masa mulainya aksi bersiap, di mana kampung demi kampung harus membela diri, dan massa merampungkan perebutan kekuasaan sipil di departemen-departemen, balai kota, kepolisian, perusahaan, dan sebagainya. Gerakan ini umumnya dilakukan atas inisiatif para pemuda (Nasution 1977: 303).
Pada masa ini, pemuda-pemuda di kota-kota selalu dipanggil menghadapi kemelut baru dengan teriakan panjang “siaaap”. Di daerah pedesaan, di mana tidak ada musuh Indonesia yang nyata, periode tersebut dikenal sebagai waktu “daulat", ketika orang-orang Indonesia yang menempati kedudukan-kedudukan berkuasa mengalami “kedaulatan rakyat” dalam bentuk penculikan, intimidasi atau pembunuhan (Reid 1996: 90).
Pada 19 September 1945 diadakan rapat besar di lapangan Ikada Jakarta. Rakyat dengan antusias datang dari berbagai penjuru kota untuk menyaksikan Sukarno dan Hatta berpidato. Pada saat yang sama Jepang mengancam dengan barikade tank-tank dan pasukan di setiap sudut dan persimpangan jalan menuju Ikada. Sukarno, yang didampingi Hatta, menyampaikan pidato singkat. Ia meminta rakyat tunduk kepada pemerintah dan pulang ke rumah masing-masing dengan tenang dan tertib. Setelah rapat itu Jepang melarang orang-orang berkumpul dan mengibarkan bendera merah putih. Larangan itu dijawab oleh rakyat dengan menaikan bendera merah putih dan dan berkumpul di mana-mana disertai kata “siap”. Siapa yang menodai bendera yang sudah dinaikan maka golok dan bambu runcing yang menyambutnya (Malik 1982: 96-99).
Kata “bersiap” juga digunakan merespon ancaman pasukan Inggris. Pada 10 November 1945, Surabaya digempur oleh tentara Inggris dari darat, laut, dan udara. Radio Surabaya dan Surakarta berkumandang memanggil rakyat berjuang menentang pasukan Sekutu. Para pemimpin Indonesia silih berganti berbicara di depan corong radio: “Bersedia dan bersiaplah untuk membela hak dan keadilan negara kita!” (Djoyohadisuryo 1978: 403-407). Di Palembang, pasukan RI dan para pejuang serta rakyat meningkatkan kekuatan dan kemampuannya menghadapi pasukan Sekutu (Inggris) yang memanfaatkan tentara Jepang, lalu disusul tentara Belanda. Akibatnya, terjadi perlawanan rakyat di berbagai daerah dengan semboyan “merdeka atau mati” (Perwiranegara 1987: 37-39). Di Sulawesi Selatan, Belanda melancarkan teror dan pembunuhan terhadap penduduk secara massal di berbagai daerah pada Desember 1946 sehingga dikenal peristiwa korban “40.000 ribu jiwa”.
Bagi Belanda, periode akhir 1945 sampai awal 1946 merupakan era ledakan kekerasan ekstrem “bersiap” yang dipicu oleh berbagai faktor dan pihak. Para pemuda dengan semangat nasionalisme berupaya membebaskan bangsanya dari kuasa kolonial. Mereka tidak hanya menyerang Belanda dan elite tradisional yang berkolaborasi dengan Belanda, tetapi juga warga Indo-Eropa, Tionghoa dan kelompok penduduk lain yang dicurigai pro Belanda dan mendukung pemulihan kekuasaan kolonial di Indonesia. Sementara itu, Belanda menolak berunding dengan para pemimpin Republik. Pasukan KNIL di kota-kota, seperti Jakarta dan Bandung, bertindak tanpa otorisasi, tanpa kedisiplinan, penuh provokasi, dan membantai orang-orang Indonesia yang dituduh terlibat aksi-aksi pembunuhan (Limpach 2019: 32-34).
Uraian di atas menunjukkan kekerasan sebagai unsur paling dominan pada era bersiap. Pelakunya berasal dari pihak Indonesia, Jepang, Belanda, dan Inggris. Pihak yang disebut terakhir bertindak atas nama pasukan Sekutu untuk mengambil alih kekuasan dari Jepang pasca Perang Dunia II.
Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Reid, A.J.S (1996) Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Djoyodisuryo, A.S (1978) Kesadaran Nasional: Otobiografi Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo. Jakarta: Gunung Agung.
Limpach, R. (2019) Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Malik, A (1982, cetakan pertama 1950) Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Jakarta: Widjaya.
Perwiranegara, A.R (1987) Perjuangan Kemerdekaan di Sumatera Bagian Selatan 1945-1950. Jakarta: Karya Unipress.
Nasution, A.H (1977) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1 (Proklamasi). Bandung: Angkasa.