Binnenlands Bestuur

From Ensiklopedia


Binnenlands Bestuur (BB) merupakan lembaga yang menjadi cikal bakal dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada masa sekarang. Pendirian lembaga ini dilatarbelakangi oleh Keputusan Kerajaan (Koninklijk Besluit) tertanggal 21 September 1866 (Anon. 1866). Keputusan ini berisi pendirian empat departemen dalam urusan pemerintahan di Hindia Belanda, yaitu: Binnenlands Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri); Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid (Pendidikan, Urusan Agama, dan Kerajinan); Burgerlijke Openbare Werken (Pekerjaan Umum Sipil); dan Financiën (Keuangan), serta pada tahun 1870 ditambahkan lagi Justitie (Kehakiman) (Anrooij 2014:15).

Pendirian Binnenlands Bestuur bertujuan untuk memperbaiki struktur pemerintahan dan kebijakan yang ada di Hindia Belanda, khususnya urusan dalam negeri. Tugas utama lembaga ini adalah mendirikan dan mengelola urusan pemerintahan dalam negeri, melakukan kerja sama dan pengawasan pada pegawai pemerintah (Eropa & Pribumi), serta menjalin kerja sama dengan para raja dan petinggi pribumi.

Sejak dikeluarkannya Undang-undang Desentralisasi pada tahun 1903, yang pelaksanaannya menjadi wewenang departemen Binnenlands Bestuur, masyarakat di setiap daerah diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan dan politik yang diwakili oleh sebuah dewan. Namun sejak tahun 1908, melalui Bagian Urusan Pemerintahan Wilayah Luar Jawa dan Madura, tugas departemen ini mulai dibenahi, di antaranya berupa pengalihan urusan tata pemerintahan dan kontrak politik (korte verklaringen) dengan pemimpin wilayah otonom kepada Bagian Urusan Pemerintahan Wilayah Luar Jawa dan Madura (Stroomberg 2018:107). Selain itu, sejak 1916 ditambahkan penasihat Orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) di departemen ini sebagai dampak semakin bertambahnya jumlah penduduk di Hindia Belanda.

Pada 1922 pemerintah Hindia Belanda kembali mengeluarkan sebuah Undang-undang, yaitu undang-undang Reformasi Pemerintahan yang implementasinya dibebankan kepada departemen ini. Cakupan Undang-undang ini jauh lebih luas daripada Undang-undang sebelumnya. Tujuan utama Undang-Undang ini ialah mereformasi bidang ketatanegaraan dan birokrasi di Hindia Belanda. Reformasi ini berdampak pada perubahan struktur pegawai pemerintah pada masa itu. Wewenang pegawai Eropa mulai dialihkan kepada pegawai pribumi (Ismarini 2014:180). Kehadiran Undang-Undang ini juga berdampak pada perubahan dalam bidang tata negara dan birokrasi di Hindia Belanda yang menyebabkan pengaruh Departemen Binnenlands Bestuur semakin meluas pada masa tersebut (Anrooij 2014:16).

Setelah terjadinya reformasi pada bidang pemerintahan dan birokrasi di Hindia Belanda, para pegawai dari kalangan Eropa mendapat lebih banyak tugas tambahan. Mereka sering berurusan dengan departemen di pemerintahan pusat, namun hubungan dengan pemerintah pusat dan daerah tetap menjadi kewenangan para residen. Bagi para pegawai Eropa, paruh kedua abad ke-19 dianggap sebagai masa pemerintahan “empiris-otokratis”, di mana pemerintah dianggap hanya mengatur hal-hal penting saja dan sisanya diserahkan kepada kekuatan rakyat (Agung 2009:218).

Sementara itu bagi para pegawai pribumi, paruh kedua abad ke-19 dianggap sebagai masa para kaum elite pribumi mulai mendapat pendidikan Eropa. Kemajuan ekonomi dan penerapan Politik Etis semakin membuat banyak kaum elite pribumi yang mendapat kesempatan belajar untuk dikader menjadi pejabat birokrasi pemerintah yang profesional (Furnivall 2009:235). Puncaknya pada tahun 1900 didirikanlah Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) sebagai sekolah calon pegawai pemerintah pribumi. Beberapa tokoh terkenal lulusan sekolah ini antara lain H.O.S Tjokromaninoto, Tirtoadisurjo, dan Soetardjo Arthohadikoesoemo.

Untuk menjaga suasana kondusif dalam tubuh Departemen Binnenlands Bestuur, para pegawai pribumi ditugaskan untuk mengurus urusan desa, pendidikan pribumi, kesehatan, penerangan, pertanian, dan pemungutan pajak. Sementara pegawai Eropa pada prinsipnya menjalankan kepengurusan tentang orang-orang Eropa dan Timur Asing, dan hanya mencampuri kelompok pribumi jika kepentingannya bersinggungan dengan kepentingan dua kelompok tersebut. Oleh sebab itu, pada tahun 1930-an sistem pemerintahan di Hindia Belanda lebih dikenal dengan ciri pemerintahan “birokratis-teknokratis.”

Penulis: Ahmad Muhajir
Instansi: Universitas Islam Sumatera Utara
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Agung, Anak Agung Gde Putra. 2009. Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anon. 1866. Staatsblad van Nederlandsch Indie 1866-1870.

Anrooij, Francien van. 2014. De koloniale staat (Negara kolonial) 1854-1942: Panduan Arsip Kementerian Urusan Tanah Jajahan Kepulauan Nusantara. Leiden: Nationaal Archief.

Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.

Ismarini, Ani. 2014. “Kedudukan Elit Pribumi dalam Pemerintahan di Jawa Barat (1925-1942).” Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya 6(2). doi: 10.30959/patanjala.v6i2.193.

Stroomberg, J. 2018. Hindia Belanda 1930. Yogyakarta: IRCiSoD.