Amir Sjarifuddin
Amir Sjarifuddin adalah politisi dan aktivis pergerakan yang terlibat aktif dalam proses pembentukan negara Republik Indonesia dengan kedudukannya sebagai Perdana Menteri dalam kabinet yang dipimpinnya. lahir pada 27 April 1907 di Medan. Ia mendapatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) Medan sekitar pertengahan 1910-an. Pada Desember 1915 ia tercatat masuk sekolah dasar di Sibolga dan menyelesaikan pendidikan dasarnya pada 1921. Ia fasih dalam beberapa bahasa asing antara lain Yunani klasik dan Latin, Perancis, Inggris; pembaca sastra; dan berbakat dalam berorganisasi.
Lulus dari pendidikan dasar, ia melanjutkan ke Leiden dan memasuki Stedelijk Gymnasium (sekolah non agama). Pada September 1925 ia pindah dari Leiden dan memasuki Stedelijk Gymnasium di Haarlem. Sekitar 1926-1927, Amir menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. Menurut kawan sekolahnya, Amir ingin mengenal kebudayaan dan pemikiran Belanda dengan baik, karena ia akan melawan mereka dengan budaya dan pemikiran itu untuk membebaskan negerinya (Leclerc, 1982).
Pada September 1927 Amir pulang ke Indonesia setelah lulus ujian tingkat kedua. Ia melanjutkan pendidikan tinggi bidang hukum di Rechtshogeschool, Batavia. Selama tinggal di Batavia, ia menempati asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106. Ia wakil pemuda Batak/Jong Batak dan duduk sebagai bendahara panitia penyelenggara Kongres Pemuda II di Kramat Raya 106 pada Oktober 1928. Amir menyelesaikan pendidikan hukum di sekolah tinggi hukum itu pada 5 Desember 1933. Pada Desember 1937 Amir terdaftar sebagai pengacara di Mahkamah Agung kemudian menjalankan profesi sebagai pengacara di Sukabumi hingga 1938.
Tahun 1928 hingga 1930, Amir menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Raja yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI). Ia juga menjadi pengurus di organisasi Jong Sumatranen Bond antara 1929-1930. Amir juga menjadi propagandis Partai Indonesia (Partindo) pada 1931 dan aktif dalam kelompok diskusi. Pada Juli 1931, Amir menjadi wakil ketua Partindo cabang Jakarta dan mengurus penerbitan organisasi ini. Ia mengikuti Kongres III Indonesia Moeda di Surabaya pada Januari 1932. Empat bulan kemudian, 15-17 Mei 1932 dalam Kongres I Partindo, Amir menjadi pengurus bidang pendidikan.
Pada 30 Maret 1933 sebuah tulisan berjudul "Massa Actie" terbit di majalah Banteng, yakni majalah Partindo cabang Jakarta yang dipimpin Amir. Akibat tulisan ini, Amir dikenakan tuduhan melakukan kejahatan pers dan dijatuhi hukuman penjara 18 bulan pada 7 Desember 1933. Ia ditahan selama enam bulan di penjara Struiswijk (Salemba, Jakarta) dan setahun di Sukamiskin (Bandung). Amir dibebaskan dari penjara pada 5 Juni 1935.
Pada 4-19 April 1933 dalam Kongres II Partindo di Surabaya, Sukarno menjadi Ketua, Sartono Wakil Ketua 1, dan Amir Wakil Ketua 2. Amir juga duduk dalam Komite Tetap (Sekretariat Politik) dan menjadi penanggung jawab bidang pendidikan. Pada tahun itu, Amir aktif dalam perlawanan terhadap Wilde Scholen Ordonantie atau ordonansi sekolah liar.
Nomor perdana surat kabar Kebangoenan terbit pada 5 Juni 1936. Redaksinya terdiri dari Muhammad Yamin (Pemimpin Umum), Sanoesi Pane (Ketua Redaksi), Liem Koen Hian dan Amir sebagai Staf Redaksi. Tahun berikutnya, pada 24 Mei 1937, berdiri Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). A.K. Gani sebagai ketua, sementara Amir mengurus bagian propaganda. Ketika Petisi Soetardjo menjadi perbincangan publik, Amir aktif di dalam pergerakan ini antara 5 Oktober 1937 hingga 11 Mei 1939. Di antara tahun-tahun itu, Amir berkecimpung dan menjadi koresponden Berita Antara pada 1937.
Pada 25-28 Juni 1938 berlangsung Kongres Bahasa Indonesia di Solo. Amir menyampaikan makalahnya berjudul "Adaptasi Kata-Kata Asing dan Konsep-Konsep ke dalam Bahasa Indonesia". Dalam kongres ini, ia duduk sebagai Wakil Ketua Panitia Kongres urusan pelaksanaan keputusan kongres. Pada tahun yang sama, 20-24 Juni, berlangsung Kongres I Gerindo. A.K. Gani menjadi ketua, sementara Amir duduk sebagai wakil ketua. Amir juga menjadi Ketua Komite Tetap Partindo pada tahun ini. Tahun itu terbit nomor perdana majalah bulanan politik Toedjoean Rakjat. Nama Amir ada dalam susunan redaksi bersama Asmara Hadi, A.M. Sipahoetar dan Wikana. Antara tahun 1938 hingga 1941 Amir menjadi redaktur majalah kesusastraan Poedjangga Baroe dan mengisi tulisan terkait masalah politik internasional.
Pada 21 Mei 1939 dibentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi) dan Amir duduk di sekretariat. Dalam Kongres II Gerindo di Palembang tanggal 24-30 Juli 1939, Amir dipilih sebagai ketua. Kongres Gerindo memutuskan membuka kesempatan kepada penduduk Indonesia, termasuk etnis Tionghoa untuk duduk dalam pimpinan partai.
Pada 20-27 Juni 1940 Amir ditangkap dan ditahan terkait penyelidikan yang sedang dilakukan terkait peredaran buletin Menara Merah yang ditemukan dalam sebuah bis di Bandung. Ia dituduh mengadakan aksi rahasia terhadap pemerintah Belanda bersama Partai Komunis Indonesia. Pada tahun itu juga, Amir bekerja di kantor perdagangan luar negeri Department van Economische Zaken di bagian penelitian dan masalah ekspor. Di sini ia menerbitkan majalah mingguan Economisch Weekblad. Ia juga menjadi redaktur majalah Kritiek en Opbouw.
Menjelang masa akhir Hindia Belanda, saat Perang Pasifik meletus, Amir ditawarkan Charles van der Plas untuk menyusun jaringan perlawanan anti Jepang bila terjadi penyerbuan. Sejak pasukan Jepang mendarat, Amir bersembunyi dan berada dalam pergerakan bawah tanah dan masih menjalin kontak dengan Sukarno dan Hatta (Leclerc, Prisma, Desember 1982).
Pertengahan 1942 Amir muncul di Jakarta dan mengajar sosiologi, psikologi dan filsafat ketimuran kepada kaum muda di Angkatan Baru Indonesia, Jalan Menteng 31, Jakarta. Akhir Januari 1943 Amir ditangkap Kenpeitai dan ditahan hingga akhir 1944 di Penjara Cipinang (Jakarta) dan Kalisosok (Surabaya). Pada 29 Februari 1944 Amir dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Namun, hukuman tidak dilaksanakan dan diganti dengan hukuman seumur hidup. Antara Desember 1944 dan Oktober 1945 Amir mendekam di Penjara Lowokwaru, Malang. Sukarno mengangkat Amir sebagai Menteri Penerangan in absentia pada 4 September 1945. Amir bebas dari penjara pada Oktober 1945 dan kembali ke Jakarta untuk menjadi menteri.
Dalam pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 17 Oktober 1945, Amir menduduki kursi Wakil Ketua, sementara Sjahrir sebagai Ketua. Sebulan kemudian, tanggal 12-13 November 1945, dalam kongres Partai Sosialis Indonesia (Parsi) di Yogyakarta Amir menjadi Ketua.
Pada 14 November 1945 Amir menjabat Menteri Pertahanan dalam kabinet Sjahrir. Desember 1945 dalam konferensi di Cirebon Parsi dan Paras (Partai Rakyat Sosialis, yang didirikan Sjahrir pada 20 November 1945) dilebur. Partai baru itu bernama Partai Sosialis dan Amir menjadi salah satu pimpinan. Pada 3 Juli 19946 terjadi peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli. Beberapa pengikut Tan Malaka menculik atau mencoba menculik beberapa menteri dan pejabat tinggi termasuk Amir dan Sjahrir. Tujuannya memaksa Sukarno membentuk pemerintahan dengan Persatuan Perjuangan sebagai unsur pokok.
Pada 27 Juni 1947 pemerintahan Sjahrir jatuh. Sukarno menghendaki terbentuk suatu pemerintahan koalisi dan menunjuk tim formatur yang terdiri dari Amir, Gani (PNI), Setiadjit (Partai Buruh), dan Sukiman (Masjumi). Dalam kabinet baru, Amir sebagai Perdana Menteri; Gani dan Setiadjit menjadi wakil-wakil perdana menteri. Pada 8 Desember 1947 berlangsung perundingan gencatan senjata di atas kapal Renville. Amir menjadi ketua delegasi Indonesia. Pada Januari 1948 deklarasi menteri-menteri Sayap Kiri/Front Demokrasi Rakyat. Sukarno mengumumkan pengunduran diri pemerintahan Amir. Sukarno kemudian menunjuk Wakil Presiden Moh. Hatta membentuk pemerintahan baru.
September 1948 terjadi Peristiwa Madiun. Amir ditangkap di Kelambu, Purwodadi, kemudian dibawa ke penjara Kudus. Pada 19-20 Desember 1948 sebelas tahanan dieksekusi di Ngalihan, dekat Solo. Mereka yang dieksekusi ialah Amir, Suripno, Harjono, Maruto Darusman, Sardjono, semuanya anggota pimpinan sementara PKI; Oei Gee Hwat dari Badan Harian SOBSI; S. Karno dari pimpinan Pesindo; Djokosujono, eks kepala Biro Perjuangan di Kementerian Pertahanan; serta tiga orang tahanan lain yaitu Katamhadi, D. Mangku, Ronomarsono.
Penulis: Fauzi
Referensi
Hanifah, Abu (1977). "Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin," PRISMA, Nomor 8, Agustus, hal 86-100.
Klinken, Gerry van (2010). "Amir Sjarifoeddin dan Kharisma Nasionalis," dalam 5 Penggerak Bangsa yang Terlupa: Nasionalisme Minoritas Kristen. Yogyakarta: LKiS, hal 169-223.
Leclerc, Jacques (1982). "Amir Sjarifuddin 75 Tahun," PRISMA, nomor 12, Desember, hal 53-76.
_____________ (1996). Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi. Jakarta: Jaringan Kerja Budaya.
Purba, Yema Siska (2013). Amir Sjarifoeddin: Nasionalisme yang Tersisih. Yogyakarta, PolGov.