Empat Serangkai
Empat Serangkai adalah julukan untuk empat tokoh pergerakan rakyat, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai H. Mas Mansur. Mereka mengambil sikap bekerjasama dengan Jepang dan mendesak didirikannya organisasi nasionalis murni dengan nama “Poesat Tenaga Rakyat”, disingkat “Poetera”. Pada tanggal 1 Maret 1942 terbentuk organisasi Poetera dengan Sukarno sebagai Pemimpin Besar dan Hatta sebagai Direktur Jenderal, sedangkan Ki Hajar Dewantara menjadi Kepala Bagian Pendidikan, dan Kyai Haji Mas Mansur menjadi Kepala Bagian Keselamatan Rakyat (Hatta 1982: 420; Chaniago 2020: 265).
Empat Serangkai memimpin Poetera secara kolektif. Mereka berempat selalu mengadakan hubungan dan pergaulan yang erat. Keserangkaian mereka digelari pertama kali oleh Soekardjo Wirjopranoto untuk melambangkan kesatuan segala aliran di dalam Pergerakan Nasional. Sukarno dan Hatta sebagai pemimpin politik, sedangkan Ki Hajar Dewantoro (dari Taman Siswa, ahli pendidikan) dan Kyai H. Mas Mansur pemimpin Islam terkemuka dari Muhammadiyah. Mereka menjadi inti dari pergerakan rakyat Indonesia yang baru dalam menyebarkan pemahaman ideologi, dan berupaya meningkatkan kemampuan rakyat (Noer, 1990: 201). Pada tanggal 9 Maret 1943, mereka dilantik menjadi pengurus Poetra di lapangan Ikada (lapangan Monas) Jakarta. Empat Serangkai di dalam organisasi Poetra menjalankan misi ganda. Bagi Jepang, Poetera menunjukkan mobilisasi kekuatan rakyat untuk kepentingan Jepang, atau peperangan Asia Timur Raya. Sebaliknya, bagi rakyat Indonesia, Poetera adalah pergerakan persatuan mewujudkan pemerintahan sendiri (Dham 1987: 294; Chaniago 2020: 267- 268; Kahin 1995: 135).
Secara organisatoris, tugas Poetera adalah memimpin rakyat untuk merasa wajib dan bertanggung jawab menghancurkan pengaruh Amerika, Inggris, dan Belanda; berperan serta mempertahankan Asia Timur Raya; mendidik rakyat mampu bertahan secara psikis dan fisik dari penderitaan yang ditimbulkan oleh perang; memberikan kesadaran dan saling pengertian antara rakyat Indonesia dan rakyat Jepang; serta mengintensifkan pembelajaran bahasa Jepang. Dalam bidang sosial-ekonomi, Poetera bertugas membina dan meningkatkan potensi masyarakat untuk kepentingan perang Asia Timur Raya (Dahm 1987: 297; Poesponegoro 2009: 33). Dalam garis tugas itulah, di bawah kepemimpinan Empat Serangkai, Poetera tidak hanya membuka jalan, bahkan merangsang kontak erat antara pemimpin nasionalis dan rakyat.
Selama tahun 1943, tidak kurang dari 10 cabang Poetera berhasil didirikan dan ada sepuluh cabang lagi yang akan didirikan di sejumlah kota dan keresidenan. Setiap cabangnya dipimpin oleh orang-orang pergerakan. Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai H. Mas Mansyur tampil sebagai tokoh utama mempersiapkan rakyat secara mental bagi kemerdekaan. Mereka mengusahakan perbaikan ekonomi, pemajuan kebudayaan, pendidikan, pelatihan wanita, propaganda, pemberitaan, olah raga, kesehatan, dan lain-lain (Noer 1990: 202). Mereka berhasil memanfaatkan segala fasiltas yang diberikan Jepang untuk menyebarluaskan ide-ide nasional, dan memperkuat strategi perjuangan. Karena dianggap lebih menguntungkan Indonesia, organisasi Poetera dianggap gagal dan dibubarkan oleh Jepang. Sejak 1 Januari 1944, organisasi Poetera dilebur dalam organisasi baru yang dikomandoi langsung oleh pemerintah militer Jepang, yaitu Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa).
Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Chaniago, Hasril, dkk. 2020. Baginda Dahlan Abdullah Bapak Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Dahm, Bernhard. 1987. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3S.
Hatta, Mohammad. 1982. Memoir. Jakarta Penerbit Tintamas Indonesia.
Kahin, George Mc. Turnan. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta-Jakarta: Sebelas Maret University Press-Pustaka Sinar Harapan.
Noer, Deliar. 1990. Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3S
Poesponegoro, Marwati Djoened (Eds.). 2009. Sejarah Nasional Indonesia VI. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.