Soekardjo Wirjopranoto

From Ensiklopedia
Soekardjo Wirjopranoto. Sumber: ANRI Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P04-0175


Soekardjo dilahirkan di desa Kesugihan, Cilacap, 5 Juni 1903. Ayahnya yang bernama Wirjodihardjo bekerja sebagai pegawai Jawatan Kereta Api milik negara (Staatspoorwegen), sedangkan ibunya yang berasal dari Purwokerto berasal keturunan ulama, Kiai Asmadi. Pada tahun 1910, Soekardjo memasuki pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) di kota Cilacap berkat bantuan bupati Cilacap pada waktu itu, R.M.A.A. Panji Cakrawardaya (1882-1927). Selanjutnya, pada tahun 1917, ia meneruskan ke Rechts School (sekolah hukum) di Batavia. Setelah lulus pada tahun 1923, Soekardjo bekerja di Pengadilan Negeri Purwokerto. Ia berpindah ke Magelang dan terus berlanjut ke Lumajang. Di kota yang ketiga ini, ia aktif di perkumpulan Jong Java. Berkat prestasinya dalam bekerja, ia dipromosikan menjadi Lid van de Rechter (anggota Majelis Hakim) yang berada di Malang (Hidayat dkk. 2002: 60- 61).

Pada tahun 1929, Soekardjo yang disemangati oleh jiwa pergerakan tinggi, keluar dari dinas pemerintah kolonial, masuk perkumpulan Boedi Oetomo Cabang Malang, dan mendirikan kantor pengacara Wisynu, serta menjadi pokrol di Raad van Justitie di Surabaya pada 1930 (Shadily, t.t.: 3933). Kemudian, Soekardjo diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada 1931 sebagai wakil Boedi Oetomo sehingga ia tinggal di Batavia.

Fraksi Nasional menjadi tempat Soekardjo bergabung sebagai anggota di bawah ketua, M.H. Thamrin. Anggota lainnya meliputi R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, Suangkupan, dan Moh. Nur. Pada 24 Desember 1935, Boedi Oetomo dan PBI (Partai Buruh Indonesia) berfusi menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Soekardjo berperan dalam pembentukan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dengan tagar Indonesia Berparlemen. Tagar tersebut merupakan bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia yang terjajah harus terwakili di dalam parlemen sehingga kepentingan-kepentingan rakyat dapat diperhatikan. Di sini, Soekardjo ditunjuk sebagai ketua departemen propaganda yang ikut serta dalam menyelesaikan berbagai urusan, seperti politik, umum, hubungan luar negeri, dan pers yang secara khusus dalam penerbitan Soeara Parindra sebagai majalah bulanan, serta memimpin Sarekat Pekerja (Koderi 2006: 268).

Kongres GAPI pada Desember 1939 berkeputusan: 1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan, 2. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, dan 3. Merah Putih menjadi bendera Indonesia. Soekardjo dari Parindra bersama Abikoesno Tjokrosujoso dari PSII, dan dr. Adnan Kapau Gani (Gerindo) menjadi pimpinan kolekti GAPI pada tahun 1940. Pada konferensi yang diselenggarakan pada 13-15 September 1941 telah diputuskan bahwa Kongres Rakyat Indonesia diubah menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang berkedudukan sebagai badan perwakilan rakyat, di mana Soekardjo menjadi pengurusnya. Di kemudian hari, Soekardjo menjadi sekretaris ketika Mr. Sartono terpilih sebagai ketua MRI dan Atik Suardi sebagai bendahara, serta salah satu keputusannya yang radikal adalah ia keluar dari Volksraad. Sebelumnya, Soekardjo telah mengusulkan agar Ketua PP Muhammadiyah, Mas Mansyur sebagai ketua MRI, tetapi ia menolak (Koderi, 2006: 268).

Bagi Soekardjo, mobilisasi dalam segala hal itu penting agar persatuan di antara bangsa Indonesia bisa mewujudkan tujuan bersama. Soekardjo yang juga berperan sebagai penasihat dalam Kongres Bahasa I di Surakarta, 26 Juni 1938, menyatakan bahwa bahasa Indonesia dapat mengangkat tinggi derajat nusa dan bangsa karena bahasa itu mencirikan bangsa. Selain berjuang di bidang hukum, Soekardjo juga aktif di bidang pers atau jurnalistik apa lagi perjuangan melalui partai politik dilarang oleh Jepang. Ia memimpin koran terbesar pada zaman Jepang, yaitu Asia Raya, sehingga ia diangkat sebagai Ketua Muda Jawa Shinbun Kai pada 1 Februari 1943. Selanjutnya, ia menjadi Ketua Muda Majelis Pertimbangan Poetera (1 Maret 1944) dan anggota Dokuritsu Zunbi Cosakai atau BPUPKI. Soekardjo pada zaman Jepang pernah berpidato, “bahwa penderitaan yang kita alami dewasa ini hendaklah kita anggap sebagai penderitaan seorang ibu pada waktu melahirkan anaknya, kita juga sebagai bangsa hendak melahirkan satu bangsa yang baru, muda dan kuat” (Pakpahan, 1979: 41).

Pada masa awal kemerdekaan, Soekardjo menjadi anggota Yayasan Dharma dengan menerbitkan majalah Mimbar Indonesia di Jakarta bersama Ir. Pangeran Mohammad Noor, Mr. Jusuf Wibisono, Gusti Mayur, S.H., H.B. Jassin, dan Djamaluddin Adinegoro (Shadily, t.t.: 3933; Notodidjojo 1987: 76). Majalah tersebut dipandang membahayakan keberadaan Belanda manakala mereka menduduki Jakarta setelah Agresi Militer I sehingga Soekardjo diusir dari Jakarta ke ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta (Koderi 2006: 269-270). Pada zaman kemerdekaan, Soekardjo hijrah sebagai anggota PNI.

Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir, Soekardjo ditetapkan sebagai juru bicara negara dan anggota KNIP, sedangkan pada masa Kabinet M. Natsir, Soekardjo berkedudukan sebagai duta besar Vatikan yang merangkap duta besar luar biasa di Italia, yang berlanjut sebagai Direktorat Asia Pasifik di Kementerian Luar Negeri pada 1953 (Shadily, tt: 3933). Jabatan duta besar kembali dipercayakan kepada Soekardjo oleh pemerintah RI di Republik Rakyat Cina (RRC) pada tahun 1956. Di samping itu, Soekardjo pada waktu yang sama merangkap sebagai kepala perwakilan diplomatik di Mongolia.

Dunia diplomatik menjadi karier Soekardjo karena ia ditugaskan sebagai wakil tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam perjuangan untuk merebut Irian Barat, Presiden Sukarno mencanangkan berkonfrontasi secara militer terhadap Belanda pada tanggal 19 Desember 1961 melalui Tri Komando Rakyat (Trikora). Peran Soekardjo yang penting adalah perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat ke wilayah Republik Indonesia dengan meminta dukungan kepada negara-negara lain sehingga pada tanggal 15 Agustus 1962 disepakati dan ditandatangani Perjanjian New York yang terkait penyelesaian konflik Indonesia-Kerajaan Belanda atas bantuan tokoh politik USA, Elsworth Bunker (Soejono & Leirissa 2010: 439; Koderi 2006: 270). Salah satu isi perjanjian tersebut adalah penyerahan Irian dari Belanda kepada PBB, dan selanjutnya penyerahan Papua oleh PBB kepada Republik Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.

Pada tanggal 23 Oktober 1962, Soekardjo wafat di New York sebagai akibat serangan jantung. Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata (Shadily, t.t.: 3933) Presiden Sukarno dengan SK No. 342/1962 tertanggal 29 Oktober 1962 telah menetapkan Soekardjo Wirjopranoto sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional (Hidayat dkk. 2002: 62), yang sebelumnya pada tahun 1961 telah menerima penghargaan Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 9 November 1999 menganugerahkan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Soekardjo Wirjopranoto (Koderi 2006: 270).

Penulis: Sugeng Priyadi


Referensi

Hidayat dkk., Syarif. 2002. Menggali Potensi eks-Karesidenan Banyumas: Seruling Mas 10 (1992-2002). Jakarta: Yayasan Seruling Mas.

Koderi, M. 2006. Wong Banyumasan: Kiprah dan Karyanya. Jakarta: Purbadi Publisher. Notodidjojo, Soebagijo Ilham. 1987. Adinegoro Pelopor Jurnalistik Indonesia. Jakarta: Haji Masagung.

Pakpahan, G. 1979. 1261 Hari di Bawah Sinar Matahari Terbit (6 Maret 2602-17 Agustus 2605): Indonesia Merdeka dalam Kandungan Ibu Sejarah. Jakarta: Marintan Jaya.

Shadily, Hassan. tt. Ensiklopedi Indonesia 7, edisi khusus. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve & Elsevier Publishing Projects.

Soejono, R.P. & R.Z. Leirissa. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI, edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.