Mas Mansyur

From Ensiklopedia

K.H. Mas Mansyur adalah salah seorang pahlawan nasional yang berperan besar dalam proses pembaharuan Islam di Indonesia. Lahir di Surabaya, 25 Juni 1896, Mansur merupakan putra dari KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam di Jawa Timur. Ibunya, Raudhah, adalah seorang wanita kaya dan terpandang kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo, Surabaya.

Pendidikan pertama Mas Mansyur diterima dari ayahnya di Pesantren Sawahan, selain ia juga belajar ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) dan Sharaf (perubahan bentuk dan makna dari bahasa Arab) di pesantren Sidoresmo asuhan Kiai Mas Thoha. Pada 1906, saat berusia 10 tahun, Mansur dikirim belajar ke Pesantren Demangan di Bangkalan, Madura, pimpinan Kiai Haji Khalil yang masyhur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad 19 dan awal abad ke-20 karena keahliannya di bidang Nahwu dan Sastra Arab, Fiqh, serta Tasawuf. Di bawah bimbingan Kiai Khalil, Mansur mendalami Al-Qur'an dan kitab Alfiyah Ibnu Malik serta beberapa materi keislaman klasik-tradisional lainnya.

Mansur melanjutkan studi di Mekah sekitar empat tahun sebelum berpindah ke Mesir pada 1910. Di Perguruan Tinggi Al-Azhar, Kairo, Mansur belajar kepada Syaikh Ahmad Maskawih. Tidak semata persoalan agama, Mansur juga mengamati beragam perkembangan sosial-politik Mesir, baik melalui pidato tokoh setempat maupun dari tulisan-tulisan di media massa.

Gelombang gerakan pembaharuan dan kebangkitan nasionalisme Mesir memberikan beragam pengalaman dan pengetahuan bagi Mansur. Ia bertemu dengan Syekh Rasyid Ridha, murid Syekh Muhammad Abduh, dan membaca begitu banyak literatur agama dan sastra Arab, literatur umum, termasuk karya-karya filsafat dan sastra barat dalam edisi bahasa Arab. Mansur pernah aktif di dalam perhimpunan siswa-siswa Melayu, Jam’iyyatul Khairiyatul Malawiyah, dan turut mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Kairo pada 1912. Setelah kurang lebih 2 tahun belajar di Mesir, Mansur singgah ke Mekah sebelum akhirnya kembali ke tanah air pada 1915.

Setibanya di Indonesia, Mansur bergabung dalam Syarikat Islam yang dipimpin H.O.S. Cokroaminoto. Pengalaman hidup selama pergolakan sosial-politik di Mesir dan Mekah menjadi modal Mansur bergabung dalam gerakan kebangkitan nasional di tanah air. Karena dasar pengalaman itu pula Mansur dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar Sarekat Islam. Selain di Sarekat Islam, Mansur bergabung di organisasi Islam Muhammadiyah dan Persatuan Bangsa Indonesia.

Pada usia 20 tahun Mansur menikah dengan Siti Zakiyah, anak perempuan H. Arief yang tinggal tidak jauh dari rumah keluarga Mansur. Sambil tetap berorganisasi, Mansur menjalankan aktivitas dakwah; menjadi ustaz di Pesantren Mufidah, Surabaya, serta membentuk majelis diskusi Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran) pada 1916 bersama Abdul Wahab Hisboellah. Majelis ini menjadi ruang bertemu dan berdiskusinya ulama Surabaya membahas beragam persoalan keumatan. Bersama Abdul Wahab pula Mansur mendirikan Nahdlatul Wathan yang berfokus pada penguatan pendidikan dengan tiga madrasah penting: Khitab al-Wathan, Ahl al-Wathan di Wonokromo, Far’u al-Wathan di Gresik, dan Hidayah al-Wathan di Jombang yang kesemuanya bertujuan untuk menanamkan serta membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme. Mansur sepenuhnya sadar bahwa kesadaran cinta kepada tanah air harus tetap ditanamkan sejak dini melalui media pendidikan. Mengukuhkan lembaga pendidikan sebagai basis dakwah menjadi pilihan Mansur saat itu.

Aktivitas dakwah Mansur tidak hanya dilakukan melalui jalur organisasi dan pendidikan tapi juga media massa. Ia memanfaatkan jurnalistik sebagai media diseminasi pemikiran sekaligus syiar Islam kepada masyarakat. Dua majalah berbahasa Jawa dengan huruf Arab, Soeara Santri dan Djinem (1920) yang terbit dua pekan sekali menjadi ruang ekspresi Mansur dalam mencurahkan berbagai ide dan gagasan. Mansur memiliki visi literasi yang kuat, terlebih selama ia dipercaya sebagai redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.

Cita cita Mansur adalah membuka wadah literasi bagi masyarakat setempat, terlebih bagi kaum muda. Dengan berbagai pendekatan, Mansur mengajak kaum muda untuk mengekspresikan gagasan dalam bentuk tulisan, seperti yang ia praktikkan, menulis di Siaran dan Kentungan (Surabaya); Penganjur dan Islam Bergerak (Yogyakarta); Panji Islam dan Pedoman (Medan); serta Adil (Solo). Tidak saja artikel di majalah, Mansur juga menulis sejumlah buku, antara lain: Hadits Nabawiyah, Syarat Sahnya Menikah, Risalah Tauhid dan Syirik, serta Adab al-Bahts wa al-Munadharah.

Di Muhammadiyah, karir Mansur sangat sukses. Setelah dipercaya oleh Kyai Ahmad Dahlan untuk menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, pada 1928 Mansur ditetapkan sebagai Ketua Majlis Tarjih yang bertanggung jawab merumuskan pendirian Muhammadiyah atas persoalan-persoalan sosial-keagamaan (Djamil, 1995: 64-5). Dengan bantuan dan atas saran sahabatnya, dokter Sutomo, Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Mansur mendirikan poliklinik serta rumah rumah obat lengkap dengan dokter-dokternya.

Mansur sangat konsisten memperkuat peran Aisyiyah; menyadarkan tugas dan kewajiban perempuan dalam perjuangan hidup, baik bagi keluarga, negara, umat, maupun agama. Ia rutin berpidato di hadapan warga Aisyiyah, tidak hanya di Surabaya tapi juga di kota-kota lain. Gaya berpidato Mansur sangat menarik dan selalu mendapat sambutan hangat masyarakat.

Mansur dikenal sangat konsisten memajukan Muhammadiyah dengan berbagai ide-ide inovatif. Tak heran jika setelah terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah di Jawa Timur, Mansur dipercaya menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah ke-26 pada 1937. Sebagai konsekuensi atas hasil pemilihan tersebut, Mansur harus bersedia meninggalkan Surabaya dan pindah ke tempat Pengurus Besar di Mataram atau Yogyakarta. Didorong komitmennya yang besar kepada Muhammadiyah, Mansur bersama keluarganya pindah ke Yogyakarta dan tinggal di asrama Mualimin Muhammadiyah, di mana ia menjadi kepala asrama di sana.

Ketokohan dan komitmen Mansur kepada gerakan kebangsaan menjadikannya sosok teladan, inspirasi generasi muda Islam saat itu. Atas kiprah dan pengaruhnya yang cukup luas, pemerintah kolonial menawarinya posisi di Het Kantoor van Inlandsche Zaken sebagai kepala lembaga urusan agama, posisi yang akhirnya ia tolak. Mansur lebih memilih untuk turut serta dalam pendirian Majelis Islam Luhur yang di kemudian hari berubah menjadi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Berdiri pada 25 September 1937, MIAI bertujuan untuk membantu para ulama di seluruh Indonesia dalam berjejaring dan membangun hubungan satu sama lain, baik fisik maupun spiritual. Sebagai badan federasi bagi ormas Islam, MIAI mengkoordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam menghadapi politik Belanda, seperti menolak undang-undang perkawinan dan wajib militer bagi umat Islam.

Di MIAI peran Mansur cukup penting, utamanya sebagai tokoh penggerak organisasi. Selain aktif mengajak organisasi Islam untuk bergabung, Mansur juga merekrut banyak potensi muda yang ia kenal untuk terlibat di MIAI, organisasi yang dalam pandangannya menjadi tempat bermusyawarah untuk kepentingan agama Islam. Mansur selalu menegaskan bahwa MIAI merupakan perikatan Islam bukan suatu perikatan politik (Soebagijo, 1982:33). Namun demikian, MIAI tetap terbuka untuk bekerja sama dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang berdiri pada 21 Mei 1939 dengan tujuan mempersatukan semua partai politik Indonesia Raya di bawah payung demokrasi (Pringgodigdo, 1977: 145).

Pada dunia politik, Mansur terlibat dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII) yang berdiri pada awal Desember 1938 di Solo. Bersama dengan Farid Ma’ruf dan Abdulkahar Mudzakir, Mansur dipercaya sebagai Pengurus Besar PII. Di bawah kepemimpinan mereka, PII berhasil mendirikan cabang tidak saja di pulau Jawa tapi juga di Sumatra dan Kalimantan. Hingga 11 April 1940 terdata sebanyak 145 cabang PII yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia (Soebagijo, 1982:36). 

Pilihan Mansur untuk aktif mengembangkan PII bukan tanpa alasan. Dalam Kongres PII pertama di Yogyakarta pada 1940, Mansur menegaskan bahwa politik dan Islam tidak bisa dipisahkan, sebagaimana gula dan manis yang selalu bersatu. Begitu pula antara agama dan politik. Prinsip ini yang dipegang teguh Mansur.  Kemampuan dan karisma yang dimiliki Mansur menjadikan PII, seperti juga MIAI berkembang dengan sangat baik, meskipun di awal pendiriannya tidak sedikit yang meragukan eksistensi keduanya.

Posisi Mansur dalam organisasi keislaman semakin strategis seiring terpilihnya ia sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah untuk kedua kali pada Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta, 7-14 Januari 1941. Di bawah kepemimpinan Mansur, Muhammadiyah mendirikan sekolah dengan pola pendidikan barat, memperkuat fasilitas kesehatan, dan mengembangkan organisasi dengan prinsip modern. Ia memperoleh julukan “Bintang Timur Muhammadiyah” karena sumbasihnya dalam mengembangkan Muhammadiyah, khususnya ketika masih beraktifitas di Surabaya.

Di Muhammadiyah, Mansur melancarkan reformasi organisasi, dalam hal ini yang berorientasi salafiyah Ridhā. Perjumpaannya dengan Rasyid Ridha, murid Syeikh Muhammad Abduh, sewaktu masih belajar di Mesir, menginspirasinya untuk melakukan reformasi berorientasi salafiyah di Muhammadiyah. Kecuali bidang organisasi pendidikan dan panggilan untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah, serta membuka kembali pintu ijtihad, suara pembaharuan Muhammadiyah terutama mengikuti jalur yang ditetapkan Ridā dengan gerakan salafiyahnya. Hal ini menjadi ciri utama gerakan Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Mansur. Reformasi Muhammadiyah Mansur menjadi kian berada di bawah haluan gerakan salafiyah; bergerak dalam hal pemurnian praktik-praktik keagamaan, berdampak pada berkurangnya sifat kejawaan Muhammadiyah seperti saat pertama kali didirikan oleh kyai Ahmad Dahlan (Burhani, 2004; Burhanudin, 2017: 394).

Selama masa kepemimpinannya, Mansur merumuskan visi organisasi Muhammadiyah yang kemudian dikenal sebagai 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah, yaitu: 1) memperdalam masuknya iman; 2) memperluas paham agama; 3) memperbuahkan budi pekerti; 4) menuntun amalan intiqad; 5) menguatkan persatuan; 6) menegakkan keadilan; 7) melakukan kebijaksanaan. ketujuh doktrin ideologi resmi persyarikatan ini dikenal sebagai langkah ilmi, langkah-langkah yang masih memerlukan penjelasan dan keterangan lebih lanjut untuk melaksanakannya. lima langkah lain disebut sebagai ‘langkah amali’, langkah-langkah yang tidak memerlukan lagi penjelasan, tinggal dilaksanakan dan dipraktikkan, karena dianggap sudah jelas, terang dan nyata, yaitu: 8) menguatkan Majelis Tanwir; 9) mengadakan konferensi bagian; 10) mempermusyawarahkan putusan; 11) mengawaskan gerakan jalan; dan 12) mempersambungkan gerakan luar. Kedua belas tafsir tersebut diulas Mansur pada pengajian malam Selasa (Cursus Hoofdbestuur Moehammadijah dengan majelis-majelisnya) di Yogyakarta yang kemudian dibukukan oleh H.B. Muhammadiyah Majelis Taman Pustaka pada 1939. “Kemoedian pengharapan kami kepada Moehammadijah choesoesnja dan Bestuur-bestuur achashnja serta oemmat Islam oemoemnja dan pendoedoek Indonesia d’amnja, sesudah keterangan jang sedikit djelas akan “Langkah Moehammadijah ke 1938-1940” itoe soepaja mengindahkan dan men’amalkannja, serta berictiar akan berdjalannja, sebagaimana moestinja,” demikian seruan Mansur dalam pengantar buku (Mansur, 1939). 

Pada perkembangannya kemudian, 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah menjadi acuan utama Muhammadiyah, ditempel di dinding-dinding gedung Muhammadiyah, sekolah, balai kesehatan, serta di rumah-rumah anggota Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinan Mansur, Muhammadiyah sangat berkembang pesat, terlibat dalam banyak kerja sama, termasuk dengan pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya terkait dikeluarkannya prangko amal; menambah beberapa sen pada harga tiap prangko saat itu. Uang kelebihan itu dipergunakan untuk keperluan pembangunan tempat ibadah, gedung-gedung sekolah, rumah sakit, poliklinik, rumah yatim dan usaha-usaha sosial lain yang dikelola Muhammadiyah (Soebagijo, 1982: 42).

Secara garis besar Mansur berupaya mendukung prinsip-prinsip Islam dalam iman, akhlak, disiplin diri, keadilan, dan nasihat untuk meningkatkan peran organisasi dalam menjalankan misinya (Jainuri, 1999: 98-9). Visi pembaharuan Mansur sebagian besar adalah memberantas unsur-unsur politeisme (syirik) dalam praktik-praktik keagamaan yang menjadi penyebab kemunduran umat Muslim, dan karenanya menegaskan kembali gagasan teologis Islam tentang tauhid, sebagaimana dijabarkan dalam risalah kecil berjudul Risalah Tauhid dan Sjirik yang menjadi sumber utama ideologi reformis Muhammadiyah (Saleh, 2001: 120-36). Persoalan-persoalan seputar bid’ah (inovasi yang keliru) dan khurafat (takhayul) muncul sebagai tema utama pembaharuan, dan kemudian diperkuat dengan dukungan doktrin dari Majlis Tarjih (Federspiel, 1970: 64-9; Burhanudin, 2017: 395-6).

Pada era pendudukan Jepang, Mansur terlibat di beberapa organisasi kebangsaan yang strategis. Tercatat ia masih menjadi pengurus MIAI yang saat itu menjelma menjadi sebuah organisasi besar. Karena alasan itu para tokoh MIAI mulai mendapat pengawasan dari pemerintah Jepang, termasuk Mansur. Jika awalnya Jepang berpikir MIAI adalah golongan yang mudah dirangkul, pergerakan MIAI yang begitu aktif namun kurang menguntungkan Jepang membuat organisasi ini dibubarkan pada Oktober 1943 dan digantikan dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sejak November 1943.

Mansur masih dipercaya sebagai pimpinan Masyumi bersama dengan K.H Hasyim Asy’ari, K.H Farid Ma’ruf, K.H. Hasyim, Karto Sudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainul Arifin. Menyadari Masyumi didirikan untuk tujuan kolonial Jepang, terutama untuk memperoleh dukungan politik dari tokoh-tokoh Muslim, Mansur dengan berbagai aksi dan pemikirannya berupaya memperkuat peran strategis Masyumi dalam meningkatkan peran politik ulama.

Strategi ini pula yang dilancarkan Mansur ketika ia bersama dengan Sukarno, Moh. Hatta, dan Ki Hajar Dewantara (dijuluki sebagai ‘Empat Serangkai’) terlibat dalam pendirian Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) pada 16 April 1943, sebuah organisasi sosial yang bertujuan membangun dan menghidupkan kembali hal-hal yang dihancurkan Belanda. Meskipun didukung Jepang, namun target Mansur adalah memperkuat barisan kelompok muda masyarakat Indonesia, selain untuk memperkuat jalinan komunikasi antar sesama rekan seperjuangannya, baik yang ada di daerah maupun yang tinggal di pusat ibukota. Faktanya, akibat tidak memiliki sumbangsih signifikan bagi pemerintah Jepang, PUTERA dibubarkan pada Maret 1944, dan selanjutnya digantikan dengan Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hooko-Kai).

Kehadiran Jawa Hooko-Kai tidak memperoleh respons yang baik dari masyarakat, khususnya kalangan kebangsaan. Bukan saja karena namanya yang ke-jepang-jepangan, tapi juga dianggap sebagai bentuk lain dari permohonan Jepang agar masyarakat bersedia berkorban untuk Jepang, sesuai istilah yang digunakan, ‘kebaktian’; masyarakat menyumbang padi dan beras untuk kepentingan peperangan, tenaga-tenaga muda dan kuat direkrut untuk membantu Jepang sebagai romusha yang sebagian besar ada di luar Jawa (Soebagijo, 1982: 91).

Dalam kondisi tersebut Mansur yang diberi tugas sebagai anggota pengurus Jawa Hooko-Kai lebih banyak memberikan perhatian kepada Masyumi dan Badan Keagamaan (Kantor Agama) yang dipimpin oleh Prof. Dr. Husein Jayadiningrat. Di Kantor Agama tersebut Mansur diberi amanah sebagai Shuumubu Komon, Penasehat Bagian Agama. Namun ia merasa beberapa hal yang ia kerjakan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Sebabnya banyak sikap dan tata cara Jepang yang berlawanan dengan kaidah-kaidah Islam (Soebagijo, 1982: 94).

Pada 7 September 1944 situasi militer sudah tidak menguntungkan Jepang sehingga terjadi pergantian kabinet dari Tojo menjadi Jenderal Koiso. Sebagai Perdana Menteri Baru, Jenderal Koiso memberikan janji “kemerdekaan” kepada bangsa Indonesia. Seiring posisi Jepang yang semakin terjepit pada 29 April 1945 muncul maklumat Gunseikan nomor 23, salah satunya perihal pembentukan sebuah badan yang bertujuan untuk menyelidiki usaha-usaha kemerdekaan Indonesia, yang selanjutnya disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mansur masuk menjadi bagian dari anggota BPUPKI yang beranggotakan sebanyak 62 orang.

Pada 29 Juli 1945 Mansur terlibat dalam peresmian Balai Muslimin, asrama yang akan digunakan oleh para mahasiswa Sekolah Tinggi Islam yang berdiri pada 8 Juli 1945. Mansur bertugas sebagai pembaca doa. Pertentangan batin yang dirasakan Mansur semakin bergejolak karena tidak hanya berdoa untuk kemaslahatan umat Islam dan Balai Muslimin, Mansur juga diminta untuk mendoakan kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Perasaan ini sering diutarakan Mansur kepada sahabatnya, Baswedan, bahwa ia mulai tidak lagi menaruh perhatian kepada hal-hal duniawi dan ingin segera kembali ke Surabaya (Soebagijo, 1982: 114).

Kondisi tersebut membuat Mansur sering jatuh sakit. Bahkan karena sebab sakit, Mansur tidak bisa terlibat dalam perayaan hari kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Sebagai upaya menyembuhkan penyakit yang dideritanya, Mansur kembali ke Surabaya, berkumpul bersama keluarga besarnya. Kekalahan Jepang, kemerdekaan Indonesia, kehidupan Surabaya yang tenang menjadi beberapa faktor yang membuat Mansur kembali merasakan ketenangan batin. Jiwanya tidak lagi tertekan, dan semua kembali berjalan seperti sedia kala. Seiring kesehatan jasmani dan rohani yang membaik, Mansur kembali berdakwah, menjadi khotib dan imam masjid, serta memberi pengajian dan pelajaran agama kepada masyarakat Surabaya.

Dalam gejolak revolusi yang melanda Surabaya, Mansur masih terlibat dalam beberapa aktivitas, seperti mendatangi kelompok pemuda yang bertugas dalam Palang Merah untuk memberi pidato ataupun pesan penyemangat. Mansur juga mendatangi tempat para kaum gerakan ilegal di bawah tanah berkumpul untuk membangkitkan semangat perjuangan mereka. Aktivitas Mansur lambat laun disadari Sekutu atau Belanda yang berhasil menduduki sebagian kota. Ia ditangkap dengan tuduhan “kolaborator” karena pernah bekerja sama dengan Jepang (Saleh Said, T.Th: 37). Mansur akan dibebaskan jika bersedia bekerja sama dengan Sekutu untuk menghentikan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Mansur dengan tegas menolaknya. Ia sempat beberapa kali ditahan dan segera dibebaskan kembali dalam keadaan tubuh yang sudah sangat lemah. Dalam kondisi lemah tersebut, Mansur tetap memberikan semangat kepada para pemuda, seperti yang pernah disampaikannya kepada salah seorang muridnya, Saled Said, “Republik akan menang, dan saya sangat optimis terhadap kekuatan pemuda” (Saleh Said, T.Th).

Oleh karena penyakitnya yang semakin parah Mansur dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Darmo, namun tak lagi tertolong dan wafat pada 24 April 1946 dalam status tahanan musuh. Jenazahnya dimakamkan di Gipo, dekat masjid Ampel, Surabaya. Atas segala pengabdiannya untuk Indonesia, pada 26 Juni 1964, K.H. Mas Mansur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan S.K Presiden nomor 162 tahun 1964 (Soebagijo, 1982: 126).

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

A.K. Pringgodigdo. 1977. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta.

Burhani, Ahmad Najib. 2004. “The Muhammadiyah’s Attitudes to Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension”, Leiden: MA Thesis, Leiden University.

Burhanudin, Jajat. 2017. Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana.

Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Federspiel, Howard M. 1970. “The Muhammadiyah: A Study of an Orthodox Movement in Indonesia”, Indonesia 10: 57-79.

Jainuri A. 1984. Muhammadiyah Gerakan Reformis Islam di Jawa Pada Awal Abad ke Dua Puluh. Surabaya. Bina Ilmu.

Mansur, K.M.H., 1939.  12 Tafsir Langkah Muhammadiyah. Yogyakarta: Peneleh.

_____________1949. Risalah Tauhid dan Sjirik. Surabaya Kursus Muhammadijah Tjabang Surabaja

_____________1957. Risalah Tauhid dan Sjirik. Surabaya: Peneleh.

Saleh, Fauzan. 2001. Modern Trends in Islamic Theological Discourses in 20th Century Indonesia, Leiden: E.J. Brill.

Soebagijo I.N. 1982. K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta. Gunung Agung.

Said, Saleh. T.Th. Kyai Mas Mansur: Membuka dan Menutup Sejarahnya. Surabaya: Usaha Penerbitan “Budi”