Gondokoesoemo
Mr. Djody Gondokusumo adalah Menteri Kehakiman pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo. Ia dilahirkan di Yogyakarta pada 7 Juli 1912. Sebelum berkarier di dunia politik, Djody Gondokusumo telah menyelesaikan pendidikan di Rechts-Hogescbool di Jakarta. Karier politiknya dimulai ketika ia tergabung dalam Partai Rakyat Nasional (PRN) dan berhasil menjadi Menteri Kehakiman. Sebelumnya, Djody telah aktif di parlemen dan memperjuangkan kedaulatan penuh untuk Indonesia.
Pada Januari 1950, Djody Gondokusumo mengajukan mosi yang mendesak pemerintah agar bersiap melakukan negosiasi lebih lanjut dengan Belanda atas dasar penyerahan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat dan memberi waktu kepada Belanda untuk menjawab imbauan dari pemerintah Indonesia. Selain itu, Djody Gondokusumo juga menuntut pembatalan Statuta Serikat dan kembali kepada hasil Konferensi Meja Bundar (Feith, 2007).
Pertengahan 1950-an, Djody Gondokusumo yang merupakan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) mendirikan partai bernama Partai Rakyat Nasional (PRN). Selain Djody Gondokusumo, adapula Mr. Wongsonegoro, Prof. Ir. Hazairin, dan Prof. Ir. Rooseno yang mengundurkan diri dari PNI dan membentuk Partai Indonesia Raya. Meskipun tidak lagi tergabung dengan PNI, Djody Gondokusumo tetap mendapatkan kursi di Kabinet Ali Sastroamidjojo II, yaitu sebagai Menteri kehakiman (Setiono, 2008).
Namun, akhir karier Djody Gondokusumo tidaklah indah. Djody Gondokusumo harus menjalani hukuman karena menerima gratifikasi dari seorang pengusaha Hongkong bernama Bong Kim Tjhong. Djody ditangkap di hari yang sama ketika sebuah pesta diadakan di rumah Mohammad Hatta pada Jumat 12 Agustus 1955. Pesta tersebut digelar untuk menyambut kabinet baru Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Djody jelas tidak hadir dan hanya mengirimkan sebuah karangan bunga ucapan selamat (Seri TEMPO, 2021: 46).
Di waktu yang sama, Djody dijemput oleh Polisi Militer. Beberapa jam setelah penangkapan tersebut, kejaksaan segera menggeledah tempat tinggal Djody Gondokusumo di Jl. Kenari 22, Jakarta. Di sana, ditemukan uang kertas Rp 135. Setelah itu, satu per satu kaki tangan Djody Gondokusumo di Jawatan Imigrasi, PRN, dan Kementerian Kehakiman ditangkap oleh jaksa. Ada sekitar 10 orang yang ditangkap, termasuk jaksa yang bekerja di Jawatan Imigrasi. Dua minggu kemudian, rekening bank Djody Gondokusumo dibekukan (Seri TEMPO, 2021: 46).
Penangkapan Djody telah mengawali program yang dicanangkan oleh Burhanuddin Harahap, yaitu pemberantasan korupsi. Setelah Djody, berturut-turut banyak pejabat negara yang juga ditangkap karena penyalahgunaan wewenang. Pertama adalah Menteri Perekonomian pada kabinet yang sama. Ia adalah Isqaq Tjokrohadisurjo yang memberikan izin lisensi impor kepada relasi dekatnya. Sebagai imbalannya, mereka mengucurkan dana ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya adalah Jusuf Wibisono Menteri keuangan dari Partai Masyumi. Ia ditangkap karena penyalahgunaan wewenang pemberian lisensi kredit.
Rentetan kasus korupsi tersebut kemudian membuat pemerintah semakin berusaha untuk menguatkan program pemberantasan korupsi, sehingga pada Agustus 1959 didirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Diketuai oleh Sultan Hamengkubuwono IX, Bapekan berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh para pegawai pemerintahan (Triyana, 2017).
Penulis: Rafngi Mufidah
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Feith, Hebert 2007. The decline of constitutional democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.
Setiono, Benny. 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia
Seri TEMPO: Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959. 2021. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Triyana, Bonnie. 25 Maret 2017. Korupsi. Diakses dari https://historia.id/politik/articles/korupsi-vg1mX/page/1 pada 24 Oktober 2021.