Hadisubeno Sosrowerdojo
Hadisubeno Sosrowerdoyo adalah Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) terakhir sekaligus Walikota Semarang yang menjabat pada 1951-1955. Ia merupakan lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Cirebon dan Algemene Middelbare School (AMS) di Semarang.
Pada 1 Juli 1951, Hadisubeno ditetapkan sebagai Walikota Semarang menggantikan Kusubijono Hadinoto. Sebagai seorang walikota, Hadisubeno dikenal sebagai sosok yang progresif. Langkah strategis yang dilakukannya adalah meneruskan pembangunan yang diwariskan pada pemerintahan sebelumnya. Hadisubeno memiliki perhatian pada kontrol terhadap performa jawatan dan bagian yang berada di bawahnya. Ia juga mempermudah perizinan bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Semarang, sehingga investasi dapat masuk dengan lancar. Selama masa pemerintahannya, tata kota terkait penggunaan lahan dan bangunan merupakan persoalan yang dihadapi. Hadisubeno merasa bahwa masyarakat Semarang perlu mengakses sarana pariwisata dan rekreasi, seperti museum dan wisata alam. Hadisubeno juga mengupayakan pendirian taman kota dan kebun binatang sebagai media rekreasi penduduk Semarang (Departemen Penerangan Indonesia, 1952: 69). Untuk merealisasikan itu, Hadisubeno telah menyediakan tanah untuk kebun binatang dan taman kota dalam jumlah yang terbatas. Hal itu karena masyarakat kota Semarang sedang berada dalam situasi kekurangan lahan pemukiman.
Tidak hanya taman dan kebun binatang, Hadisubeno juga memperhatikan kebutuhan masyarakat untuk datang ke pusat-pusat pameran yang menampilkan hasil karya seni, maket-maket perumahan rakyat, dan pameran industri. Selain sebagai sarana rekreasi, pameran tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada sektor terkait (Departemen Penerangan Indonesia, 1952: 80). Dengan gaya kepemimpinan yang progresif dan mengarah pada kemajuan masyarakat, berbagai bidang hiburan digiatkan, sehingga kehidupan berkesenian di Semarang juga berkembang. Puguh et al. (2017) memberikan contoh bahwa Hadisubeno memiliki impresi mendalam atas kesenian Ngesti Pandowo di Semarang dan meminta paguyuban Ngesti Pandowo untuk menetap di Semarang. Hadisubeno bahkan menyediakan tempat pementasan Ngesti Pandowo di belakang Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Ia merupakan Ketua Yayasan GRIS yang berhasil menghimpun dana untuk membeli Gedung Societeit de Harmonie milik seorang keturunan Belanda (Putri, 2013).
Bersama dengan itu, penting juga dicatat bahwa karir Hadisubeno tidak bisa lepas dari konstelasi politik di alam tubuh PNI, yang hampir dimusnahkan oleh Soeharto. Rencana tersebut diurungkan karena terdapat konflik di internal PNI terkait kebijakan NASAKOM. Konflik itu menyebabkan perpecahan PNI menjadi dua kubu, yaitu kubu Ali Sastroamidjojo yang setuju dengan kebijakan NASAKOM dan kubu Hadisubeno bersama Hardi yang bersikap antikomunis. Presiden Soeharto saat itu memilih Hadisubeno sebagai pimpinan PNI dan berupaya tetap mempertahankan organisasi itu. Memenangkan Hadisubeno bukanlah tanpa alasan. Soeharto diketahui memiliki hubungan sangat baik dengan Hadisubeno sejak akhir 1950-an, ketika Hadisubeno menjabat Walikota Semarang dan Soeharto merupakan Komandan Militer Jawa Tengah dengan markas besarnya di Semarang. Alasan lain adalah, Hadisubeno berprinsip bahwa keberadaan PNI harus mampu membina hubungan baik dengan Angkatan Darat (Crouch, 1971).
Hadisubeno memainkan peran untuk memobilisasi dukungan mayoritas di internal PNI dan mencari dukungan dari pihak militer. Propaganda yang dilakukan Hadisubeno antara lain, kepada para anggota PNI yang berorientasi patronase dan birokrasi, ia menjanjikan kerja sama dengan pemerintah. Melalui proses ini, akan dilakukan restrukturisasi keanggotaan PNI dan rehabilitasi anggota yang ditangkap atau diberhentikan karena dicurigai terlibat dalam peristiwa 1965. Selain itu, Hadisubeno juga mewacanakan akan mengembangkan daerah-daerah yang sebelumnya bukan merupakan basis masa PNI, misalnya Aceh yang telah “membuka diri untuk PNI (Hindley, 1970: 116-117).
Selain itu, Hadisubeno masih menempatkan Sukarno sebagai pimpinan tertinggi PNI, ia bahkan mendeklarasikan bahwa masih loyal terhadap Sukarno dan marhaenisme. Hadisubeno disebutkan pernah mengadakan serangan kepada para santri yang memiliki ideologi bertolak belakang dari Pancasila. Begitu Hadisubeno menjabat sebagai Ketua Umum, PNI langsung mengeluarkan sikap mendukung pemerintah. Selain itu, PNI juga akan meredam isu korupsi, mengkritik demonstrasi mahasiswa, dan mencalonkan Soeharto dalam pemilihan presiden berikutnya. Apa yang dilakukan oleh Hadisubeno menunjukkan bahwa PNI jelas berpihak pada rezim yang berkuasa. Namun demikian, sikap Hadisubeno itu tampak berbeda ketika menyerukan pernyataan yang mengagungkan Sukarno dan menyatakan sikap anti-Golkar (Janti, 2019). Hal itu menyebabkan ia semakin diawasi oleh pemerintah.
Penulis: Rafngi Mufidah
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Crouch, H. (1971). The Army, the Parties and Elections. Indonesia, 11, 177–191. https://doi.org/10.2307/3350749
Departemen Penerangan Indonesia (1952). Propinsi Djawa Tengah (t.t.t.): (t.p.)
Hindley, D. (1971). Indonesia 1970: The Workings of Pantjasila Democracy. Asian Survey, 11(2), 111–120. https://doi.org/10.2307/2642710
Janti, N. (2019, 29 September). PNI Pasca-Peristiwa 1965. Historia.id, diakses dalam https://historia.id/politik/articles/pni-pasca-peristiwa-1965-PG8lK/page/1
Puguh, D. R., Utama, M., dan Amaruli, R. J. (2017). Teater Kitsch Ngesti Pandowo di Kota Semarang Tahun 1950-an-1970-an (Ngesti Pandowo Kitsch Theater in Semarang 1950’s-1970’s). Mozaik Humaniora, 17(1), 1-25.
Putri, A. K. (2013). “Kontestasi Ruang Perkotaan: Kasus Alih Fungsi Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) ke Mal Paragon Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro.