Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM)
Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, atau disingkat NASAKOM merupakan jargon politik yang dicetuskan oleh presiden Sukarno dan mengemuka pada masa Demokrasi Terpimpin. Dalam pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa NASAKOM memang muncul setelah Indonesia merdeka, namun konsepsinya telah dirumuskan jauh sebelum masa kemerdekaan (McIntyre 2005, 75). Konsepsi NASAKOM telah ditulis oleh Sukarno muda pada 1926 dalam sebuah artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Agustina 2020, 57-64).
Perumusan NASAKOM didasarkan pada prinsip perjuangan masyarakat dengan berbagai ideologi yang hampir semuanya bersifat anti-kolonialisme. Namun demikian, mereka masing-masing berjuang sendiri sehingga menurut Sukarno tidak memberikan banyak pengaruh. Tujuan Sukarno merumuskan ide NASAKOM adalah sebagai jalan keluar penyatuan ideologi Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang berkembang di tengah masyarakat (Ranoh 1999, 42).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, NASAKOM telah menjadi salah satu idelogi utama yang secara praktis mendapat bentuk kelembagaan dalam wadah Front Nasional. Sebuah lembaga yang beranggotakan orang-orang dari unsur nasionalis, agama, dan komunis (Ranoh 1999, 44). Sukarno berusaha mengkampanyekan jargon “NASAKOM bersatu” hingga kemudian berkembang menjadi “NASAKOM jiwaku”. Hal itu karena menurut Sukarno “NASAKOM bersatu” hanya akan mempersatukan berbagai aliran yang melingkupi berbagai partai politik, yaitu partai Nas untuk Partai Nasional Indonesia (PNI), Partindo, dll, A untuk Nahdlatul Ulama atau partai Katholik dan Protestan, serta Kom untuk partai-partai berhaluan sosialis-marxis. Adapun “NASAKOM jiwaku” menurut Sukarno memiliki arti yang lebih luas yaitu melingkupi seluruh lapiran masyarakat, pegawai pemerintah, dan juga tentara mulai dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, hingga Angkatan Udara (Rahardjo, Sudarso, dan Suko 2010, 214; Ricklefs 2012, 556).
Dalam berbagai kesempatan, Sukarno aktif berkampanye tentang NASAKOM. Ia menyatakan bahwa NASAKOM merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Bagi mereka yang setuju dengan Pancasila maka harus setuju pula dengan NASAKOM. Begitu pula jika setuju dengan UUD 1945 maka juga harus setuju dengan NASAKOM (Aritonang 2004, 332). Adapun reaksi berbagai kelompok berbasis agama terhadap NASAKOM beragam. NU yang setuju dengan penerapan Demokrasi Terpimpin secara umum tidak menentang NASAKOM. Begitu pula dengan kalangan Kristen (baik Protestan maupun Katholik) yang juga menyambut positif. Sambutan paling positif tentunya datang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Adapun NASAKOM tampaknya tidak mudah diterima oleh partai berhaluan Islam ortodoks, yaitu Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Suatu kritik muncul ketika musuh Indonesia telah berubah. Artinya, ketika bangsa Indonesia telah terbebas dari koloniaslime, NASAKOM dianggap tidak lagi relevan dan hanya menjadi semboyan politik. Berkaitan dengan hal itu, Sukarno menggeser arti NASAKOM menjadi alat untuk memelihara keseimbangan negara (bukan lagi sebagai alat melawan kolonialisme) (Ranoh 1999, 44).
Penulis: Rafngi Mufidah
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Agustina, Ema, 2020. “Soekarno, Nasakom, dan Buku di Bawah Bendera Revolusi sebagai Materi Pelajaran Sejarah SMA.” Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah 3(1): 57-64.
Aritonang, Jan S., 2004. Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Indonesia: BPK Gunung Mulia.
McIntyre, Angus, 2005. The Indonesian Presidency: The Shift from Personal Toward Constitutional Rule. United Kingdom: Rowman & Littlefield Publishers, 2005.
Rahardjo, Iman Toto K., Sudarso, & Suko, 2010. Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia-Founding Father House.
Ranoh, Ayub, 1999. Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno. Indonesia: BPK Gunung Mulia.