Iswahyudi

From Ensiklopedia
Iswahyudi. Sumber: Repro dari Awal Kedigantaraan di Indonesia


Raden Iswahyudi adalah salah satu perintis penerbangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Ia lahir di Surabaya pada tanggal 15 Juli 1918. Pada awalnya Iswahyudi mengenyam pendidikan Sekolah Dokter di Surabaya, namun tidak selesai karena ia lebih suka ikut sekolah penerbang. Pada tahun 1941, Iswahyudi pun masuk ke Militaire Luchtvaart Opleiding School, sebuah sekolah penerbang Belanda yang terletak di Kalijati, Jawa Barat (Ajisaka, 2008: 127). Iswahyudi mengikuti pendidikan untuk menjadi Adspirant Officier Kortverband Leerling Vlieger Brevet (Soewito dkk., 2008: 42).

Saat Jepang menduduki Jawa, beberapa kader penerbang yang telah dilatih oleh Belanda diungsikan ke Eropa dan Australia untuk mendapat pendidikan lanjutan dan rencananya akan diikutsertakan dalam operasi militer selanjutnya. Mereka diungsikan secara terpisah, ada yang melalui laut ada pula yang melalui pesawat udara. Iswahyudi termasuk di antara salah satu penerbang yang diungsikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Australia (Safwan, 1982: 2). Karena tidak suka akan hal itu, Iswahyudi kemudian berusaha kembali ke Jawa dengan perahu karet, namun kemudian ditangkap oleh Jepang. Setelah Jepang kalah perang, Iswahyudi memilih bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TKR) Jawatan Penerbangan dan menjadi salah satu penerbang pertama (Ajisaka, 2008: 127).

Saat Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia, lapangan terbang Maguwo menjadi pusat pelatihan Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara. Pada awalnya telah dibuka sekolah penerbang di Pangkalan Udara Bugis, Malang yang pendidikannya terbatas pada pengetahuan umum mengenai penerbangan. Selanjutnya tanggal 15 November 1945, di Maguwo didirikan sebuah Sekolah Penerbang di bawah pimpinan Adisucipto. Karena itu, kedua sekolah penerbangan ini pun disatukan agar menghasilkan para penerbang terlatih dalam waktu singkat. Pada 1 Januari 1946 untuk pertama kalinya dibuka kegiatan pendidikan dan latihan penerbangan latihan terbang diselenggarakan di lapangan terbang Maguwo. Iswahyudi bersama Iman Suwongso Wiryosaputro turut membantu Adisucipto untuk mengajar materi tentang ilmu penerbangan. Pelajaran teori itu diberikan pada siang dan malam untuk mengejar waktu, sedangkan pesawat latih yang digunakan adalah pesawat Cureng bersayap dua buatan Jepang (Soewito dkk., 2008: 40-45).

Pada tanggal 6 Januari 1946 diadakan latihan penerbangan perdana di Maguwo. Sudah tersedia 27 Pesawat Cureng bersayap dua yang siap diterbangkan. Delapan hari kemudian, pada 14 Januari giliran Iswahyudi yang mencoba menerbangkan pesawat. Saat latihan perdana itu, pesawat Cureng yang dikemudikannya hampir kecelakaan namun Iswahyudi berhasil mendarat dengan selamat di Pangkalan Udara Maguwo. (Soewito dkk., 2008: 26)

Kemudian pada 7 Februari 1946, Adisucipto bersama beberapa penerbang datang ke Pangkalan Udara Bugis untuk mengambil beberapa pesawat yang rencananya akan diterbangkan ke Maguwo. Pesawat-pesawat itu akan menjadi tambahan pesawat latihan bagi para siswa di Sekolah Penerbangan. Iswahyudi dan Iman Suwongso kemudian ditunjuk menjadi instruktur untuk pesawat Cureng. Berkat adanya tambahan pesawat dan teknisi yang tersedia, sekolah penerbangan di Maguwo dapat dipakai oleh oleh para siswa untuk latihan solo maupun terbang formasi. Pada 15 April 1946, beberapa penerbang berkeliling wilayah udara Yogyakarta, Surakarta, Madiun dan Malang (Soewito dkk., 2008: 28).

Selain berlatih terbang, para penerbang di Maguwo juga mendapatkan tugas Negara. Pada 23 April 1946, Iswahyudi dan kedua rekannya yaitu Adisucipto dan Iman Suwongso ditugaskan masing-masing untuk menerbangkan tiga buah pesawat Cacikawa 08, Cukiu. Ketiga pesawat itu membawa rombongan KSAU Suryadi Suryadharma dan Mayor Jenderal Sudibyo yang ditugaskan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk mengadakan perundingan dengan Sekutu dalam rangka pengembalian tawanan perang atau RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees). Penerbangan perdana menuju Lapangan Udara Kemayoran itu berjalan sukses, namun saat hendak kembali ketiganya tidak pulang bersamaan ke Maguwo (Soewito dkk., 2008: 29).

Pesawat Cukiu Tk-04 yang diterbangkan oleh Iman Suwongso mengalami kerusakan sehingga harus ditinggal di Kemayoran sementara penerbangnya terpaksa naik Kereta Api ke Yogyakarta, sedangkan pesawat Cukiu Tk-05 yang dikemudikan oleh Adisucipto berhasil mendarat di Maguwo dengan transit terlebih dahulu di Bandara Kalijati. Sementara Cukiu Tk-06 yang diterbangkan oleh Iswahyudi berhasil melanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda (Banten). Dari Gorda, Iswahyudi bermaksud melintasi selat Sunda menuju Lampung, namun gagal karena lapangan udara Branti rusak berat sehingga Iswahyudi pun kembali ke Maguwo. Selain itu, pada tanggal 10 Juni 1946 Iswahyudi menerbangkan salah satu dari lima buah Pesawat Cureng yang melakukan penerbangan formasi menuju ke lapangan Terbang Cibeureum Tasikmalaya. Mereka bertujuan untuk memeriahkan pembukaan Pangkalan Udara tersebut sekaligus mempromosikan sekolah penerbangan di antara para pemuda dan pelajar setempat (Soewito dkk., 2008: 31).

Ketika situasi politik memanas menjelang Agresi Militer Belanda I, para pimpinan AURI memutuskan untuk menyebar para penerbang beserta sebagian pesawat ke beberapa lapangan udara seperti Bugis, Maguwo, Maospati, Cibeureum dan Kalijati agar tidak dihancurkan Belanda dalam sekali serang (Soewito dkk., 2008: 86). Iswahyudi kemudian mendapatkan tugas untuk menjadi Komandan di Lanud Maospati Madiun dibantu oleh Wiweko Soepono dan Nurtanio, namun tidak lama kemudian ia dipindahkan sebagai Komandan di Pangkalan Udara Gadut di Bukittinggi. Ia menjadi salah satu wakil AURI di komandemen Sumatra bersama dengan Abdul Halim Perdana Kusuma. (Said dkk., 1995: 67)

Pada saat bertugas di Maospati, kegiatan Sekolah Penerbangan pernah vakum karena belum adanya penerimaan siswa baru. Sementara itu Iswahyudi bersama dua orang kadet senior yakni Abdulrachman Saleh dan Adisucipto untuk sementara ditarik dari wilayah tugasnya untuk dilatih menerbangkan Pesawat Dakota VT-CLA oleh Mr. Patnaik seorang pengusaha India (Kalinga Airlines) yang bersimpati pada Republik Indonesia (Soewito dkk., 2008: 86).

Pada awal Desember 1947, AURI menambah kekuatan udara dengan membeli pesawat Avro Anson pesawat bermesin ganda buatan Inggris hasil barter emas seberat 12 kilogram sumbangan rakyat Sumatra. Pesawat itu milik seorang Eropa bernama H. Keegan dengan nomor register Australia VH-BDP. Setelah mendapatkan persetujuan dari perwakilan AURI di Singapura maka pesawat itu diberi nomor RI-003. (Subdisjarah Diswatpersau, 2004: 249). Kemudian pada akhir Desember 1947, Iswahyudi dan Abdul Halim Perdana Kusuma mulai menerbangkan pesawat Avro Anson RI-003. Pesawat itu diterbangkan sendiri oleh pemiliknya, H. Keegan dari Songkhla Thailand langsung menuju ke Bukittinggi. Iswahyudi dengan instruktur H. Keegan belajar menerbangkan pesawat itu dan dalam waktu singkat dapat menguasainya. (Soewito dkk., 2008: 187)

Pesawat Avro Anson RI-003 kemudian berhasil menembus blokade Belanda menuju Songkhla yang bertujuan untuk pengadaan pesawat lainnya sekaligus mengantar pulang H. Keegan. Di Songkhla, mereka mengangkut persenjataan dan peralatan perang. Saat pulang rencananya mereka terlebih dahulu mendarat di Singapura sebab Abdul Halim Perdanakusuma akan memberikan beberapa instruksi kepada anggota perwakilan AURI disana. Namun nahas sebelum dapat mencapai Singapura, pesawat tersebut jatuh di Tanjung Hantu Malaysia dan menewaskan kedua penerbang itu. Diperkirakan pesawat tersebut tercebur ke laut dikarenakan cuaca buruk, selain itu karena penerbangan dilakukan sangat rendah untuk menghindari sergapan radar Belanda (Subdisjarah Diswatpersau, 2004: 249).

Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Sejarah TNI angkatan Udara Jilid I (1945-1949) (2004). Indonesia: Subdisjarah Diswatpersau

Ajisaka, Arya (2008). Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.

Soewito, Dra. Irna H.N. Hadi dkk (2008) Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Safwan, Mardanas (1982) Iswahyudi, Jakarta: DEPDIKBUD.

Said, Julinar dkk (1995) Ensiklopedia Pahlawan Nasional, Jakarta: Dirjen Kebudayaan.