Jam'iyatul Khair
Jam’iyatul Khair adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada tahun 1901 oleh para Sayyid dan Sheikh dari kelompok Hadrami yang menetap di Batavia (sekarang Jakarta). Kemudian, Organisasi tersebut memfokuskan pada bidang Pendidikan, di mana sejumlah sekolah dibentuk dalam rangka menjaga budaya Arab dan bahasa Arab, selain dengan mengirimkan pemuda ke negara-negara Islam untuk melanjutkan pendidikan mereka (De Jonge 1993: 81). Pada tahun 1905 organisasi ini baru mendapatkan pengakuan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda dengan syarat dilarang mendirikan lembaga pendidikan lain di luar Batavia. Hal ini dikarenakan pemerintah Belanda pengaruhnya dapat membangkitkan semangat jihad fi sabilillah (Hayaze 2021: 84)
Di awal pendiriannya, organisasi ini beranggotakan sekitar 70 orang dari para elit Hadrami. Pemimpin awal berasal dari kelompok sayyid, yaitu keluarga Shahab dan al-Mansyur. Kemudian, sejak 1906, ada juga pemimpin yang berasal dari non-Sayyid yaitu Shaykh Salim bin 'Awaq Balwa'I, 'Abdullah al-'Attas and 'Umar Manqush (Kesheh 1999: 36). Meskipun pendiri dan anggotanya mayoritas orang Arab, lembaga ini diperuntukkan untuk semua kalangan masyarakat Muslim Indonesia.
Alumni Jam’iyatul Khair dapat melanjutkan Pendidikan mereka di Turki dengan beasiswa yang dijanjikan oleh konsuler Turki Utsmani, yakni Kamil Bey. Untuk meningkatkan mutu Pendidikan, Jam’iyatul Khair mengundang banyak guru dari Timur Tengah (Subhan 2012: 111). Pada tahun 1912 tiga guru Arab direkrut, satu dari Sudan, satu dari Maroko, dan satu dari Hijaz. (De Jonge 1993: 81). Akan tetapi, di tengah perjalanannya Jam’iyatul Khair mengalami konflik karena dianggap adanya perbedaan diskriminasi antara gelar sayyid dan non-sayyid. Konflik inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya organisasi Islam lainnya, yakni Al-Irsyad.
Organisasi ini melahirkan banyak tokoh Islam, seperti tokoh gerakan pembaharuan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto dan H. Samanhudi (Sarekat Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jam’iyatul Khair (http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/Jamiatul-Khair?lang=id).
Sejak berdirinya sampai pada tahun 1915 Jamiat Khair tetap merupakan organisasi kecil. Pada tahun 1915 Jamiat Khair tercatat hanya memiliki 1000 orang anggota. Meskipun para alumninya banyak yang membuka sekolah serupa, tidak ada satupun yang bernaung di bawah Jamiat khair (Hasyim 2019: 169).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Christian Snouck Hurgronje. (1913). "De Islam in Nederlandsch-Indie" Seri II, No. 9 dari “Grote Godsdiensten". (Paarn Pollandia Drukkerij)
De Jonge, H. (1993). “Discord and Solidarity among the Arabs in the Netherlands East Indies, 1900-1942”. Indonesia, No.55, p.73–90.
Alatas, Ismail Fajri. (2021) “What Is Religiou Authority? Cultivating Islamic Communities In Indonesia”. Princeton University Press:
Kesheh, Natali Mobini. (1999). “The Hadrami Awakening Community and Identity in The Netherlands East Indie 1900-1942”. Cornell Southeast Asia Program Publications: USA
Hasyim, Abdul Wahid. (2019). “Jamiat Kheir dan Al-Irsyad: Kajian Komunitas Arab dalam Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad XX di Jakarta”. Al-Turas Vol. 25 No. 2. p. 163-176
Haryono, Muhammad. (2015). “Peranan Komunitas Arab dalam Bidang Sosial-Keagamaan di Betawi 1900-1942”. Al-Turas Vol. XXI No. 1.
Hayaze, Nabil A Kariem. (2021) .Hikayat Kapitein Arab di Nusantara. Garudawacha.
Nabhan, Hamid. (2022). Ziara Sejarah: Mereka yang dilupakan. Garudawacha.
Subhan, Arif. (2012). Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20: Pergerumulan antara Modernisasi dan Identitas. Kencana.