Jong Islamieten
Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam) atau JIB berdiri atas aspirasi Raden Sjamsoeridjal. Terinspirasi pidato H. Agus Salim ketika Sjam masih di Jong Java, ia mengusulkan pembaruan agar perlu diadakan kursus agama Islam bagi anggota Jong Java, mengingat agama Islam adalah agama yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sjam juga menambahkan agar kaum terdidik dapat memahami lebih dalam agamanya sendiri (Rahman dkk. 2006: 8).
Usulan Sjamsoeridjal didukung oleh beberapa tokoh Muslim lainnya yang berpengaruh di kemudian hari, seperti Kasman Singodimedjo, Supinah Moeso Al Machfoeld (Gus Muso), dan Soehodo. Alasan mereka mendukung gagasan Sjam lantaran Islam menjadi salah satu entitas yang mempersatukan para pemuda di seluruh Nusantara (Rahman dkk. 2006: 9). Namun demikian, gagasan Sjam tidak didukung oleh suara mayoritas.
Agar keadaan di Jong Java tetap kondusif, Sjam memilih untuk mundur dan mendirikan perhimpunan baru. Dukungan terhadap gagasannya untuk membentuk persarikatan bagi para pemuda Muslim juga datang dari tokoh-tokoh senior seperti H.O.S Tjokroaminoto, A.M. Sangaji, Achmad Dahlan, dan Achmad Soerkati. Tokoh pemuda Muslim saat itu seperti Mohammad Roem, M. Natsir, Prawoto, dan Jusuf juga masuk ke dalam barisan yang mendukung ide Sjam (Roem 1977: 247).
Rapat-rapat pendahuluan dilaksanakan di sebuah sekolah Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Pada 31 Desember 1924, sebuah nama kemudian disepakati untuk organisasi yang digagas oleh Sjamsoeridjal, yakni Jong Islamieten Bond (JIB). Tjokroaminoto turut menghadiri pendirian organisasi itu yang berlangsung dalam sebuah ruangan dengan diterangi cahaya lampu teplok (Rahman dkk. 2006). Setelah mendapat restu dari Tjokroaminoto, JIB secara formal diresmikan pada 1 Januari 1925 (van Miert 1996).
Kehadiran JIB disambut gembira oleh banyak tokoh Muslim, salah satunya H. Agus Salim. Ini misalnya terlihat dalam tulisannya yang dimuat pada koran Hindia Baroe, 9 Januari 1925 (Rahman dkk. 2006: 13). Dalam koran itu, Agus Salim menulis:
- “Patut sekali kelahiran Jong Islamieten Bond ini kita sambut dengan gembira, suka dan syukur, sambil mengucap kepada Allah yang memberi sifat kepada alam dan manusia, sehingga kebajikan yang nyata mesti terkenal sendirinya daripada yang kekeliruan yang nista.”
Jong Islamieten Bond pun melakukan rekrutmen anggota. Tentu saja ada kekhawatiran bahwa JIB akan menarik anggota-anggota Jong Java, mengingat pendirinya pernah menjadi bagiannya. Namun, hal tersebut terbantahkan lantaran mereka yang bergabung dari Jong Java ke JIB ternyata tidak serta merta keluar dari Jong Java. Selain itu, kampanye yang dilakukan JIB sepanjang 1925 berhasil menarik anggota paling tidak sebanyak 1,000 orang. Ini semua merupakan akumulasi dari JIB cabang Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang, dan Surabaya (van Miert 1996).
Tahun awal setelah berdiri merupakan masa konsolidasi yang perlu dilalui oleh JIB. Sampai bulan November 1925 saja, ketika Kongres Pemuda Pertama dilaksanakan di Lux Orientis Le Droit Humain Batavia, pengurus JIB yang definitif saja belum pernah terbentuk. Hanya posisi ketua yang saat itu sudah jelas, yakni Raden Sjamsoeridjal dan Wiwoho Poerbohadijojo sebagai wakil ketua (Rahman dkk. 2006: 16). Barulah setelah Kongres Pemuda pertama, JIB melakukan kongresnya satu bulan setelahnya. Disepakati bahwa ketua merangkap sekretaris adalah Raden Sjamsoeridjal, Wiwoho Purbohadijodjo sebagai wakil ketua, dan P. Hadisuwignjo sebagai bendahara. Untuk anggota, ada delapan nama yang tercantum, yakni Sjahbuddin Latief, Kasman Singodimedjo, Sugeng, Mohammad Kusban, H. Hasjim, Pusposukardjo, M. Sapari, dan Baron.
Kongres pertama JIB juga menyepakati tujuan-tujuan organisasi (Het Licht 1931). Pertama, mempelajari dan mendorong hidupnya kembali agama Islam. Kedua, memupuk dan menumbuhkan simpati terhadap pemeluk agama Islam dan pengikutnya disamping toleransi terhadap golongan lain. Ketiga, menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam, darmawisata, olah raga, dan seni dengan menggunakan agama Islam sebagai alatnya. Lalu, keempat, meningkatan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan menahan diri dan sabar.
Pada perjalanan setelahnya, banyak dinamika yang dilewati oleh JIB. Selain mengikut Kongres Pemuda Pertama pada 30 April – 2 Mei 1926, JIB juga mengikuti konfrensi lanjutan, yakni Nationale Conferentie untuk mendiskusikan soal fusi organisasi pemuda (Kongres Pemuda Indonesia dan Yayasan KAWEDRI (Jakarta 1993, 23). Fusi pemuda ini yang kemudian melahirkan Indonesia Muda yang berdiri pada 1930, terdiri dari Jong Java, Pemuda Indonesia, dan Jong Sumatranen Bond. Namun, JIB menolak berfusi dengan organisasi pemuda lainnya sebagaimana hasil Kongres Ketiga JIB pada 23-27 Desember 1927 (Reksodipuro 1974: 231). Alasannya karena fusi dan pandangan Indonesia tidak menjadi persoalan di internal JIB dan kesatuan Indonesia sebaiknya dicapai dengan cara-cara Islami (Rahman dkk. 2006: 33). Selain itu, JIB juga turut tercatat ikut pada Kongres Pemuda Kedua dan Sumpah Pemuda pada 1928.
Meski baru tiga tahun berdiri, perkembangan JIB cukup pesat. Di tahun 1928, JIB berhasil mendirikan cabang di Semarang, Tegal, Pekalongan, Banjarmasin, Makasar, dan Palembang. Bahkan cabang Medan yang sempat dibubarkan kembali dibentuk (Rahman dkk. 2006: 13). Setidaknya ada 20 cabang dengan total anggotan mencapai 2,000 orang. Jumlah ini setara dengan anggota Jong Java yang notabene perkumpulan pemuda tertua dan terbesar di Hindia Belanda kala itu.
Salah satu program penting yang dimiliki oleh JIB adalah Islam Studie Club. Dalam klub ini, anggota-anggota JIB mendiskusikan masalah-masalah mutakhir yang penting seperti misalnya “Islam dan Kebebasan Berpikir”, “Poligami dan Islam”, “Perang dan Etika di dalam Islam”, “Peranan dan Kedudukan Wanita di dalam Islam”, “Islam dan Nasionalisme”, dan semacamnya (Rahman dkk. 2006, 23).
JIB juga mempunyai terbitan sendiri bernama surat kabar Annur (Het Licht). Selain itu, JIB juga memiliki organisasi underbouw Bernama Pandu Indonesia (Natipij), salah satu organisasi pertama yang menggunakan bahasa Indonesia secara utuh. Peran JIB juga terlihat dalam sektor pendidikan. Pada 1931, misalnya, organisasi ini mendirikan HIS di Tegal, Tanah Tinggi, dan Batavia. Tahun 1932 bisa dibilang menjadi masa puncak JIB dengan jumlah anggota mencapai 4,000 orang yang tersebar di 55 cabang. Mereka tersebar hampir di seluruh kepulauan Nusantara, dari Aceh sampai Ambon (Rahman dkk. 2006: 55).
Meski demikian, tak lama berselang menjadi tahun-tahun kemunduran bagi JIB. Semua berawal dari konflik internal di kalangan mereka. Pada Kongres ke-8 bulan Juni 1933, Ketua JIB saat itu, Kasman Singodimedjo, mendapat serangan dari pengurus organisasi JIB dari berbagai daerah karena dianggap tidak menjalankan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga JIB (Rahman dkk. 2006: 71). Kritik utama ini datang dari Natipij yang menganggap pendirian HIS sudah tidak sesuai dengan kebijakan organisasi. Namun, Kasman menyangkalnya dan mengupayakan sebuah solusi, yakni dengan mengaktifkan kembali Badan Studi Oraganisasi yang sempat dinon-aktifkan. Inilah yang membuat Kasman terpilih lagi menjadi ketua. Hanya saja, ini tidak menghentikan laju kemunduran JIB.
Setelah tahun 1935, JIB berusaha bangkit. Pada Kongres ke-11 pada 1938 di Yogyakarta, Soenardjo Mangoenpospito, Ketua JIB saat itu melaporkan adanya penambahan jumlah cabang, yang pada tahun 1935 tinggal 12. Tahun 1941 menjadi nafas terakhir bagi JIB. Jumlah saat JIB saat itu memang bertambah menjadi 20, 14 cabang Natipij, dan 12 cabang JIB Dames Afdeling (Keputrian). Namun begitu, jumlah ini masih jauh dari total masa kejayaan JIB yang mampu memiliki 55 cabang.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Het Licht. 1931. “Anggaran Rumah Tangga Jong Islamieten Bond.” Het Licht: 287–91.
Kongres Pemuda Indonesia, Perpustakaan Nasional (Indonesia), dan Indonesia) Yayasan KAWEDRI (Jakarta, ed. 1993. Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama: diadakan di Weltervreden dari 30 April sampai 2 Mei 1926. Jakarta: Kerjasama Perpustakaan Nasional RI dengan Yayasan KAWEDRI.
van Miert, Hans. 1996. “The ‘Land of the Future’: The Jong Sumatranen Bond (1917-1930) and Its Image of the Nation.” Modern Asian Studies 30(3): 591–616.
Rahman, Momon Abdul dkk. 2006. Jong Islamieten Bond: Pergerakan Pemuda Islam 1925-1942. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.
Reksodipuro, Subagio. 1974. 45 Tahun Sumpah Pemuda. Jakarta: Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta.
Roem, Mohammad. 1977. 2 Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.