Kariadi

From Ensiklopedia

Kariadi lahir di Malang pada 15 Oktober 1905 dari seorang ibu asal Yogyakarta dan seorang ayah bernama Kertoleksono asal Singosari-Malang. Kariadi merupakan anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya seorang lelaki bernama Kariono. Sejak kecil Kariadi dan Kariono ditinggal meninggal oleh kedua orang tuanya. Setelah itu, ia dibesarkan oleh paman dari pihak ayahnya. Sebagai anak pribumi, Kariadi sangat beruntung bisa sekolah di HIS yang merupakan sekolah khusus anak orang Eropa. Kesempatan tersebut ia peroleh karena pamannya tinggal di lingkungan keluarga wedana. Kariadi sekolah di Hollandsch Indische School (HIS) Malang selama tiga tahun, kemudian melanjutkan ke HIS Sidoarjo-Surabaya selama empat tahun. Pada tahun 1920 Kariadi lulus dengan mendapat Diploma. Kariadi melanjutkan sekolah ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya tahun 1921 dan lulus Desember 1931, menjadi lulusan ke-99 (Lubis, 2007: 5-6).

Ketika sekolah di NIAS, Kariadi tinggal di rumah dr. Sardjono. Di sana ia berkenalan dengan Soenarti, putri dari pemilik rumah yang lahir pada 5 Juli 1908 di Banyulincir, Palembang. Ketika Kariadi lulus dari NIAS Surabaya, Soenarti yang sekolah di STOVIA masih harus menyelesaikannya selama 2 tahun. Pada Juni 1933 Soenarti lulus sebagai dokter gigi pertama di Hindia Belanda (Lubis, 2007: 9).      

Kariadi memulai karirnya sebagai asisten dr. Soetomo di CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting) Surabaya. Setelah itu ia ditugaskan ke Manokwari, Papua saat ini. Selama di Manokwari kiprah dan jasa Kariadi sebagai seorang dokter dimulai. Ia pernah bertugas ke Ambon untuk menangani pasien dengan penyakit difteri pada Agustus 1932. Di sana ia menyuntikkan serum pada dirinya sendiri dan pada orang-orang di sekitar pasien agar tidak ikut terserang difteri. Selain itu, ia juga melakukan beberapa kali operasi kepada pasiennya di Manokwari dengan hasil yang memuaskan. Kariadi juga melakukan pengamatan di Danau Anggi dan menemukan nyamuk jenis baru. Penemuannya ini sejalan dengan penelitian yang sedang dilakukannya tentang penyakit filariasis (penyakit kaki gajah). Akan tetapi, nyamuk yang ditemukan Kariadi diberi nama atasannya yang merupakan orang Belanda (Lubis, 2007: 6-8). Walaupun begitu menurut atasannya Kariadi adalah dokter terbaik diantara 14 dokter lainnya (Agusni, 2016: 163).

Pada 1 Agustus 1933 Kariadi dan Soenarti berencana menikah, namun saat hari pernikahan sudah dekat terjadi wabah malaria di Manokwari. Kariadi akhirnya memutuskan untuk tetap menjalankan tugasnya di Manokwari. Pernikahan tetap dilangsungkan pada tanggal tersebut, hanya saja pengantin pria diwakilkan dengan sebilah keris. Pernikahan berlangsung di kediaman dr. Sardjono di Plampitanstraat No. 7 Surabaya dengan mas kawin berupa uang sebesar f.300. Pernikahan mereka dikarunia tiga orang anak yaitu: Numaya Kartini Kariadi lahir di Manokwari 5 November 1934, Kartono Kariadi lahir di Martapura 11 Mei 1937 yang lebih dikenal dengan Ir. Kartono Kariadi, S.Tex., dan Sri Hartini yang memiliki nama panggilan Meity lahir di Martapura 26 November 1940 dan lebih dikenal dengan Prof. Dr. Sri Hartini KS Kariadi, dr.,Sp.PD-KEMD (Lubis, 2007: 11).

Setelah bertugas di Manokwari selama tiga tahun, Kariadi ditugaskan ke Kroya-Banyumas. Saat di Kroya, tahun 1936 Kariadi mengangkat dua orang anak yang merupakan keponakannya dari Kariono yang ditinggal meninggal. Dua orang anak tersebut bernama, Supini, lahir 1 Juli 1928, dan Haryono, lahir pada tahun 1930. Setelah dua tahun di Kroya, Karyadi ditugaskan ke Martapura. Di sana kegiatan Karyadi tidak hanya sebagai dokter di rumah sakit milik pemerintah, tapi juga sebagai dokter di beberapa onderneming (Perkebunan), yaitu Danau Salak, Maloeka, Binglo, Banzai, dan Kaneko. Selain sebagai dokter, Karyadi juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Ia bahkan diangkat sebagai Raad Bandjar (Dewan Banjar) hingga tahun 1941 (Lubis ,2007: 12, 22).

Sebagai seorang dokter yang melakukan beberapa penelitian Kariadi menulis hasilnya dalam beberapa artikel pada masa Hindia Belanda yang dimuat dalam majalah kedokteran Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1936, 1937, 1938, dan 1941 dengan judul: Enkele Ervaringen met Chinine en atebrine en bij de behandeling van Chronische Malaria in verband met het Optreden van Zwartwaterkoorts te Manokwari, Filariasis, Orienteerend Filiarisis, H. Hyrcanus “X” en Filariasis Malaya te Martapoera (Lubis, 2007: 13).

Ketika Kalimantan dikuasai Tentara Jepang situasi menjadi kacau, banyak orang mengungsi atau kembali ke Jawa. Banyak pejabat pribumi yang juga ikut mengungsi, sehingga Kariadi mengurusi warga dan tugas pejabat pribumi selama tiga bulan. Karena situasi dianggap tidak aman, maka ia mengungsikan keluarganya ke Malang. Kariadi menyusul ke Malang pada 15 Mei 1942 saat masa tugasnya di Martapura berakhir. Setelah beberapa bulan tinggal di Malang, pada 1 Juli 1942 Kariadi ditugaskan menjadi Kepala Laboratorium Malaria di Rumah Sakit Rakyat (Purusara) Semarang, pada masa Jepang bernama Chuo Simin Byoing, dan pada masa Hindia Belanda bernama CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenrichting). Sementara itu, keluarganya tinggal di rumah dinas Jalan Kaligarang No.8 (Lubis, 2007: 22-23).

Pada Juli 1942 Kariadi diangkat menjadi Kepala Jawatan Pemberantasan Malaria Jawa Tengah karena pengalaman dan penelitiannya tentang malaria. Tahun 1944 Kariadi berhasil membuat pengganti cedar olie atau immersion oil minyak dengan bahan langka yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik spesimen darah dengan pembesaran 800-1.000 kali. Karena bahan minyak tersebut sulit ditemukan, maka Kariadi mencoba membuatnya dari bahan yang mudah didapat yaitu daun kenanga dan diberi nama Minyak Semarang. Dengan izin dari Iji Hookoo Kai nama minyak itu diganti menjadi Oleum PromicriscopieKar (Lubis, 2007: 24).

Pada masa Pendudukan Jepang Kariadi menulis sebuah artikel di surat kabar Berita Ketabiban, terbit pada 24 Desember 1942 dengan judul “Index Penoelaran Jang Amat Tinggi Dari A. Subpictus (Grassi 1899) (Myzomia Rossi)”. Dari tulisanya itu ia dibebaskan dari keharusan ujian doktoral dari Sekolah Kedokteran Tinggi (GHS) di Jakarta (Lubis, 2007: 24).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Semarang terjadi ketegangan antara tentara Jepang dengan tentara dan laskar Indonesia karena tentara Jepang menolak untuk menyerahkan senjatanya. Sehingga pada suatu malam tentara Jepang menggencarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang sedang menjaga sumber air minum Reservoir Siranda di Candilima, Reservoir yang menjadi sumber air minum warga Semarang. Kedelapan anggota polisi istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Saat itu juga mulai tersebar kabar bahwa tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Pimpinan Rumah Sakit Purusara menelepon Kariadi ke rumahnya dan meminta untuk memeriksa Reservoir Siranda tersebut, karena ia adalah Kepala Laboratorium Purusara (Lubis, 2007: 38).

Saat Kariadi akan pergi membawa sampel air dari reservoir tersebut istrinya mencegah karena situasi yang sangat di Semarang sangat genting dan berbahaya. Akan tetapi, Kariadi berpendapat jika kabar itu benar maka bisa membahayakan nyawa banyak orang di Semarang. Dalam perjalanan menuju reservoir tepatnya baru sampai di Jalan Pandanaran, mobil Kariadi yang dikemudikan Yanto, seorang murid SMT (Sekolah Menengah Teknik) dan merupakan anggota tentara pelajar, dicegat oleh tentara Jepang. Mereka dipukul lalu ditembak. Kariadi masih sempat dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi saat di kamar bedah keadaannya sudah sangat gawat karena lukanya sangat parah sehingga ia tidak dapat diselamatkan lagi. Pada saat itu juga keadaan Purusara tidak terkendali, ada karyawan Purusara yang ditembak kakinya, serta korban-korban dari tempat lain terus berdatangan sehingga rumah sakit penuh sesak (Lubis, 2007: 39-41).

Kabar kematian Kariadi telah disampaikan kepada keluarganya sejak malam hari, namun hingga besok pagi mereka belum bisa datang ke rumah sakit untuk melihat jasadnya karena di luar rumah suara tembakan terdengar terus menerus. Karena kesibukan yang luar biasa dan situasi yang sangat gawat, jenazah Kariadi baru bisa dimakamkan pada 17 Oktober 1945. Anak-anak Kariadi hadir di pemakaman tersebut, namun istrinya tidak ikut hadir karena merasa tidak sanggup menyaksikannya. Pemakaman berlangsung dengan khidmat meskipun terganggu dengan suara tembakan, karena meninggalnya Kariadi menjadi pemantik Peristiwa Lima Hari di Semarang (Lubis, 2007: 40-44).

Meninggalnya Kariadi diberitakan beberapa kali dalam Surat Kabar “Merdeka” yang terbit pada 22 dan 27 Oktober 1945. Selain itu Pemerintah RI juga lewat Jawatan Penerangan mengumumkan untuk menaikkan bendera setengah tiang untuk menghormati para pahlawan yang gugur pada peristiwa Lima Hari di Semarang. Tanggal 5 November 1961, makam dr. Kariadi dipindahkan dari halaman Purusara ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Saat dipindahkan anaknya Sri Hartini yang merupakan mahasiswa kedokteran memeriksa tulang belulang ayahnya dan terdapat retakan membentuk celah di tengkorak ayahnya menunjukkan bekas pukulan benda tajam (Lubis, 2007: 41-45). Atas jasanya, Kariadi dianugerahi Satya Lencana Kebaktian Sosial oleh Pemerintah RI pada tahun 1968. Selain itu, berdasar SK Menteri Kesehatan tahun 1964 nama Purusara diubah menjadi RSUP Dokter Kariadi (Agusni, 2016: 163).

Penulis: Dini Nurlelasari


Referensi:

Agusni, Indropo (2016) Kiprah Dokter NIAS-Djakarta Ika Daigaku dalam Sejarah Republik Indonesa. Surabaya: Airlangga University Press.

Lubis, Nina Herlina (2007) Kajian Tentang dr. Kariadi Berdasarkan Beberapa Tulisan dan Kesaksian dalam Rangka Pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.