Kemajuan
Kemajuan (kemadjoean) atau progress merupakan istilah penting dalam wacana sosial-intelektual kaum pribumi di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Takashi Shiraishi menjelaskan bahwa kata-kata yang bermakna ‘kemajuan’ banyak dibicarakan dalam keseharian kaum pribumi yang saat itu belum menjadi ‘Indonesia’. Studi-studi yang membahas mengenai kemajuan ini masih sangat sedikit, sementara studi mengenai kolonialisme sering melupakan dan melewatkan wacana yang memiliki makna luas tersebut (Holy Rafika Dhona, 2015).
Wacana kemajuan berkembang di tengah kelompok sosial baru yang lahir pada awal abad ke-20, disebut sebagai “intelegensia bumiputera” atau “kaum muda“ yang memiliki karakteristik berbeda dengan kelompok sosial lain yang telah ada sebelumnya (MH Fachrurozi, 2021). Istilah ‘kaum muda’ digunakan untuk kelompok intelegensia atau disebut ”bangsawan pikiran”, nama untuk generasi baru dari orang-orang Hindia Belanda yang terdidik secara modern dan ikut serta dalam gerakan menuju kemajuan, berlawanan dengan istilah ’bangsawan usul’ yang dikaitkan dengan “kebangsawanan yang lama” atau bangsawan ”kaum tua/kaum kuno” (Yudi Latif, 2012 ).
Tokoh penting dalam pengarusutamaan “kemajuan” ini adalah Abdul Rivai, yang menjadi tokoh pionir di antara para tokoh intelegensia bumiputera di Hindia Belanda saat itu (MH Fachrurozi, 2021). Abdul Rivai adalah seorang dokter alumni STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia, yang ditugaskan di Deli, Sumatera pada 1894. Pada tahun 1908 dia berupaya merintis gerakan kemajuan bagi rakyat Hindia Belanda. Melalui majalah Bintang Hindia, yang diterbitkan bersama seorang dari pemerintah kolonial Belanda pada 1902, Abdul Rivai mengambil kesempatan untuk menunjukkan jiwa kosmopolitan melalui tulisan-tulisannya (Fuad Noorzeha dan John Abraham, 2021). Abdul Rivai menyuarakan ide tentang kemajuan moral dan sosial kaum Pribumi, seraya mempopulerkan istilah “bangsa Hindia” dan “anak Hindia”, yang menumbuhkan rasa kebangsaan di kalangan bumiputera. Kemudian, saat wacana nasionalisme semakin matang, istilah “bangsa Hindia” berubah menjadi “bangsa Indonesia” (Raditya, 2018).
Wacana kemajuan ini sesungguhnya tidak terlepas dari dampak positif kebijakan Politik Etis (Etische Politiek) atau politik balas budi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 17 September 1901. Politik Etis mengawali sejarah dimulainya era pergerakan nasional di Indonesia (Nagazumi, 1989: 27). Kebijakan Politik Etis ini dianggap sebagai keputusan radikal yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk mensejahterakan kaum pribumi dalam bidang pertanian (Irigasi), otonomi desentralisasi (Imigrasi) dan pendidikan (Edukasi).
Gerakan inilah yang kemudian menjadi jalan untuk lahirnya gerakan kebangkitan nasional, yang diawali dengan lahirnya organisasi Boedi Oetomo. Tidak hanya itu saja, organisasi-organisasi kepemudaan lainnya pun lahir di wilayah Sumatera dan Jawa seperti Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, Indische Partij (IP), Nahdlatul Ulama (NU), PSII, dan lainnya, yang kemudian mempersatukan diri dalam gerakan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 (Fuad Noorzeha dan John Abraham, 2021).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Fachrurozi, Miftahul Habib. “Abdul Rivai: Potret Intelegensia Bumiputra Pada Awal Abad Kedua Puluh”. ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah”. Volume 17, No 1, Maret 2021
Fuad Noorzeha, Fuad dan John Abraham Ziswan Suryosumunar, 2021. “Pendidikan Kewarganegaraan: Nasionalitas, Demokrasi, Integrasi Kebangsaan”, Aceh : Yayasan Muhammad Zaini
Latif, Yudi . 2012. “Inteligensia Muslim dan Kuasa Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20”. Jakarta : Yayasan Abad Demokrasi
Nagazumi. Akira. 1989. “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Raditya, Iswara N. 2018. “Abdul Rivai, Agen Ganda Pribumi Belanda”. Tirto.id.
Rafika Dhona, Holy. “Wacana Kemadjoean Di Kelompok Etnis Sunda Awal Abad 20”, UNY: Jurnal Informasi Kajian Ilmu Komunikasi. Volume 45. Nomor 2, Desember 2015