Abdul Rivai
Abdoel Rivai, biasa disingkat A. Rivai, adalah seorang jurnalis dan tokoh perintis pergerakan nasional. Ia lahir pada 13 Agustus 1871 di Palembayan, Agam, Sumatra Barat, dan meninggal pada 16 Oktober 1937 di Bandung. A. Rivai adalah anak seorang guru di Sekolah Melayu bernama Abdul Karim, sementara ibunya masih tergolong keluarga raja-raja di Moko-Moko, Bengkulu. Oleh orang tuanya dia disuruh belajar di Sekolah Raja seperti saudara tuanya Mohamad Lengah. Namun, dia lebih memilih untuk menuntut ilmu di Sekolah Dokter Djawa, sebuah pilihan yang kurang begitu disetujui orang tuanya. Meskipun demikian, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya dengan lulus dari Sekolah Dokter Djawa pada Maret 1895.
Setelah lulus, ia ditempatkan di Medan dan bekerja di sana selama beberapa tahun. Selama bekerja ia mengumpulkan uang sebagai bekal studi lanjutannya. Berbekal uang yang dikumpulkannya dan izin dari Pemerintah Kolonial, pada 1899 ia berangkat ke Belanda untuk memperoleh pendidikan medis lanjutan kepada Profesor Eijkman di Universitas Utrecht. Meskipun demikian, ia tidak bisa langsung masuk menjadi mahasiswa di sana, sebab keputusan Kementerian mengharuskan dirinya memiliki ijazah gymnasium sebagai syarat masuk. Dengan terpaksa ia harus menyiapkan diri dengan mengikuti kelas-kelas privat di Amsterdam. Rivai tercatat sebagai bumiputera pertama yang bisa mencicipi sekolah kedokteran di Belanda.
Selama menempuh pendidikan dokter di Belanda, Rivai sering menulis artikel di koran. Opini yang disampaikan yaitu tentang pentingnya pendidikan untuk kaum pribumi di Hindia-Belanda. Dalam sebuah seri artikel berjudul “Kepercayaan Orang Pribumi di Hindia”, terbit di koran Algemeen Handelsblad, ia berpendapat bahwa bumiputra berhak mendapatkan buku-buku berbahasa Melayu yang bermanfaat agar dapat mendorong bumiputra belajar dan berpikir. Sebab, menurutnya, pengajaranlah yang bisa membuat kaum bumiputra ke arah kemajuan. Artikel ini kemudian mengantarkan Rivai berpolemik dengan seorang pejabat pemerintah kolonial, A.A. Fokker, tentang ragam bahasa Melayu yang harus digunakan dalam buku-buku yang diterbitkan tersebut (Poeze, 2008: 35).
Di Belanda, Rivai berkegiatan sebagai jurnalis dan mendirikan surat kabar bernama Pewarta Wolanda pada 1899. Majalah ini dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan tentang Negeri Belanda di Hindia agar kedua bangsa ini bisa menjadi lebih dekat dan saling mengenal. Seluruh artikel di dalam majalah ini ditulis dalam Bahasa Melayu. Sayangnya, majalah ini tidak berusia lama, dua tahun setelahnya ia harus tutup karena hanya dikelola oleh satu orang saja dengan banyak pekerjaan, selain karena uang langganan banyak yang tidak dibayarkan (Poeze, 2008: 35). Bekerja sama dengan Henri Constant Claude Clockener Brousson (mantan tentara Belanda yang juga seorang jurnalis), ia kemudian mendirikan Bendera Wolanda, penggabungan antara Pewarta Belanda miliki Rivai dengan surat kabar Soerat Chabar Soldadoe milik Brousson. Meskipun demikian, usia Bendera Wolanda tidak berlangsung lama. Akibat artikel yang diterbitkan Bendera Wolanda yang dianggap sensitif, Rivai dan Brousson harus mundur dari kursi redaksi. Kepergian Rivai dan Brousson dari kursi redaksi Bendera Wolanda, membuat surat kabar tersebut melemah dan kemudian berhenti menerbitkan berita. Hal tersebut tidak membuat Rivai berhenti, atas relasi dan jejaring yang dimilikinya, Rivai berhasil mendapatkan bantuan dari Kementerian Urusan Jajahan Hindia-Belanda dan menerbitkan koran baru bernama Bintang Hindia yang terbit pertama pada Juli 1902.
Aktivitasnya sebagai seorang jurnalis tidak membuat dirinya lupa akan tujuan utama ke Negeri Belanda. Sepanjang tahun 1906, ia sempat tinggal di Paris untuk belajar di Institut Pasteur. Setahun kemudian, ia menempuh ujian doktoral dan mengikuti kuliah semi-arts. Karena ia tidak punya banyak waktu, sebab ingin segera kembali ke Hindia, akhirnya ia pergi ke Universitas Gent di Belgia untuk minta persetujuan mengajukan promosi. Di sana, gelar doktor bisa diperoleh lewat ujian terbuka, tanpa menulis disertasi. Pada 23 Juli 1908 sidang fakultas dilangsungkan (Poeze, 2008: 560).
Sebagai seorang dokter yang juga memiliki perhatian terhadap nasib kaum sebangsanya, Rivai juga terlibat aktif dalam kegiatan politik. Kritik terhadap pemerintah kolonial kerap ia sampaikan melalui tulisan-tulisannya di media massa. Selain itu, pada tahun 1918 ia terpilih menjadi anggota Volksraad dari partai Insulinde, sebuah peristiwa yang menyisakan banyak perdebatan menyangkut persoalan status hukum, ras dan etnisitas. Rivai terpilih menduduki kursi pribumi, tetapi sebetulnya ia sendiri telah menjadi warga negara Belanda. Ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang pribumi tetap menjadi pribumi sekalipun telah menjadi warga negara Belanda, sementara yang lain mengatakan bahwa seharusnya Rivai mengundurkan diri dari posisinya (Pols, 2019: 50).
Terlepas dari perdebatan tersebut, Rivai tetap menduduki posisinya, dan dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen, ia menyuarakan pendapatnya untuk kepentingan kaum pribumi. Dalam pidato-pidatonya, ia kerap mengemukakan pentingnya pendidikan sebagai persoalan sosial yang mendesak. Selama ini, menurutnya, lembaga pendidikan hanya dibentuk untuk memenuhi kebutuhan birokrasi saja, bukan untuk memajukan penduduk lokal (ibid). Pada saat Pandemi Flu tahun 1918 menyerang, ia juga banyak mengkritik pemerintah kolonial, terutama departemen kesehatan yang tidak serius menangani persoalan ini. Lebih jauh, bahkan pemerintah kolonial menuduh masyarakat pribumi akibat penyebaran ini. Kritiknya ini membuat ia berpolemik dengan De Vogel yang pada saat itu menjabat kepala dinas kesehatan (Ravando, 2020: 4-6).
Di tahun berikutnya, Rivai terpilih kembali menjadi anggota Volksraad, tapi kali ini dengan kondisi dirinya yang penuh kekecewaan terhadap politik dan penyakit keras yang dideritanya. Di tahun itu pula ia pergi ke Paris untuk berobat. Pada 1926 ia kembali ke Eropa, ke Swiss, untuk berobat lebih lanjut. Dalam kunjungan untuk berobat ini ia menyempatkan bertemu dengan para pelajar Indonesia yang ada di Eropa seperti Moh. Hatta, Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, Abdul Madjid dan Arnold Mononutu. Pada masa tersebut, Rivai juga memberikan pertolongan kepada beberapa mahasiswa Indonesia yang sakit dan kesulitan biaya. Kondisi-kondisi mahasiswa Indonesia ditulis oleh Rivai dan diterbitkan di surat kabar Tjahaja Hindia, pimpinan Parada Harahap. Kumpulan artikel yang ia tulis di Bintang Timoer, tentang kondisi mahasiswa Indonesia kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Student Indonesia. Salah satu hal yang menarik dari buku Student Indonesia yaitu kondisi mahasiswa Indonesia yang diawasi oleh raadsman (penasihat Kementerian Urusan Jajahan) (Anwar, 2009: 5-6 ; Anwar, 2009: 18).
Rivai kembali ke Hindia-Belanda pada 1932 dan membuka klinik pengobatan di daerah Tanah Abang, Batavia. Sambil membuka praktik, sambil terus menulis artikel untuk beberapa surat kabar. Kondisi fisik yang sudah tidak muda lagi, berbagai penyakit pun mulai diderita. Rivai memutuskan untuk hijrah ke Bandung hingga kemudian wafat di kota tersebut. Rivai dianggap bapak jurnalistik Indonesia dan peletak dasar jurnalistik Indonesia. Aktivitas jurnalistiknya berkontribusi bagi Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya.
Penulis: Gani Ahmad Jaelani
Instansi: Universitas Padjadjarana
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Anwar, Rosihan. 2009. Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Anwar, Rosihan. 2009. Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Poeze, Harry A. 1989. “Early Indonesian emancipation; Abdul Rivai, van Heutsz and the Bintang Hindia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 145, No. 1, hal. 87-106
Poeze, Harry A. 2008. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: KPG.
Pols, Hans, 2019, Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Ravando, 2020, Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1918-1919. Jakarta: Kompas