Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar)

From Ensiklopedia

Supersemar, singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret, berisi perintah Presiden Sukarno pada Mayor Jenderal Soeharto agar mengambil tindakan yang berkaitan dengan situasi Indonesia setelah peristiwa G-30S. Supersemar memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto untuk mengambil semua langkah yang diperlukan guna menjamin keamanan dan ketenangan, stabilitas pemerintahan, dan secara tidak langsung mentransfer otoritas eksekutif penuh pada Soeharto (Cribb dan Kahin 2004: 419).

Pada tanggal itu, paginya Sukarno mengadakan pertemuan kabinet di Jakarta, sementara para mahasiswa-demonstran memadati jalan-jalan menuntut Tritura (Pembubaran PKI, Pembersihan Kabinet dan Unsur-unsur PKI, dan perbaikan ekonomi). Sukarno mendapat informasi bahwa pasukan tak dikenal (sebenarnya pasukan penyerang) tengah mengepung istana. Maka dia segera naik helikopter menuju Bogor, ditemani Subandrio dan Chaerul Saleh. Malam itu tiga jenderal (M. Yusuf, Amir Mahmud dan Basuki Rachmad) bertindak sebagai utusan Soeharto pergi ke Bogor dan membujuk Sukarno untuk menandatangani sebuah dokumen yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban, menjalankan pemerintahan, dan melindungi Presiden atas nama Revolusi (Aman 2015: 78).

Pada esok harinya Soeharto bertindak cepat. Lewat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret, ia segera melarang dan membubarkan PKI dengan organisasi sayapnya. Soebandrio dan 14 menteri ditangkap termasuk Chairul Saleh pada 18 Maret 1966. Kemudian Soeharto memperbaharui Kabinet Dwikora dan lembaga legislatif dalam hal ini MPRS dan DPRGR dari orang-orang yang dianggap terlibat G-30 S atau terindikasi komunis. PKI keanggotaannya digugurkan, peran dan kedudukan MPRS dikembalikan menjadi di atas presiden sesuai UUD 1945 (Komarudin dan Raman 2020: 116).

Sidang Umum IV MPRS pada 20 Juni – 5 Juli 1966 mengesahkan dan mengukuhkan Supersemar, mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah, menetapkan Kebijakan Politik Luar Negeri Bebas Aktif, Pembentukan Kabinet Ampera, peninjauan kembali Tap MPRS yang bertentangan dengan UUD 1945, sumber tertib hukum dan tata urutan perundang-undangan, serta pembubaran PKI dan pernyataan PKI dan ormasnya sebagai organisasi terlarang di Indonesia (Aman 2015: 78-81; Abdullah 2009: 357-358).

Meski masih punya pengaruh politik, perlahan namun pasti posisi Presiden Sukarno dilemahkan. Pada 10 Januari 1967 dirinya menulis kepada MPRS, melampirkan “Nawaksara” dengan menjelaskan versinya tentang peristiwa G 30 September 1965. Sukarno menyatakan penculikan dan pembunuhan para jenderal tersebut merupakan sebuah kejutan yang tak terduga baginya, dan ia sendiri tidak bertanggung jawab atas masalah moral dan ekonomi bangsa. Kemudian hal itu menyulut demonstran menyerukan Sukarno untuk digantung (Hughes 2002). Pada akhirnya di tanggal 22 Februari 1967 Presiden Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Mayjen Soeharto untuk mengatasi polemik dan konflik yang memuncak ketika itu (Komarudin dan Raman 2020: 116-118).

Dengan Supersemar, Soeharto dan pendukungnya menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang marah tapi tak mampu berbuat apa-apa. Pada 12 Maret 1966, PKI dan semua organisasi masanya dilarang. Pada 18 Maret 1966 Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri lainnya ditahan; salah satu anggota kabinet yang menjadi sasaran tentara, Surachman, lolos tapi akhirnya terbunuh di Blitar Selatan pada tahun 1968. Chaerul Saleh mati dipenjara pada tahun 1967. Orang-orang beraliran Sukarno moderat tidak ditahan; orang-orang seperti Idham Chalid, Leimena, dan Roeslan Abdulgani tetap berada dalam kabinet baru yang dilantik pada 27 Maret 1967. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Adam Malik. Dua nama terakhir ini menjadi pendukung dari kalangan sipil yang paling terkemuka. Pembersihan tentara dan birokrasi dimulai. Sekitar 2600 pasukan Divisi Diponegoro dibebastugaskan, diskors, dipecat, atau ditertibkan, dan banyak lainnya kemudian ditahan. Sebagian perwira tentara anti-PKI tetapi tidak pro-Sukarno dipindahkan dari komando strategis pada bulan Mei (Ricklefs 2008: 598-599).

Sejarah mencatat bahwa Soeharto menggunakan Supersemar untuk berbagai hal atas nama Sukarno tanpa melaporkan segala sesuatunya kepada Sukarno. Supersemar ini menjadi surat sakti yang mengantarkan Soeharto menjadi Presiden secara de facto walaupun belum diangkat secara de jure. Berbekal Supersemar ini Soeharto sukses menghapuskan PKI dan membantai hingga ke akar-akarnya bersama dengan orang-orang yang terlibat atau berhubungan dengan PKI. Hal ini sekaligus juga mengubah haluan politik nasional.

Kehadiran Supersemar ini melahirkan seorang jenderal Angkatan Darat bernama Mayjen Soeharto yang sekaligus menjadi Presiden kedua Republik Indonesia, serta menandai awal dari Orde Baru. Masa Orde Baru dimulai pada saat pengangkatan Soeharto menjadi presiden lewat Supersemar. Melalui Supersemar, memungkinkan Soeharto untuk menekan PKI dan membersihkan birokrasi pemerintah, Soeharto dilantik sebagai presiden pada Maret 1967, kemudian pada bulan Maret 1968 dirinya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai presiden. Setelahnya ia menyerukan Pemilihan Umum pada tahun 1971, dipilih kembali oleh MPR baru pada 1972, ia terus bertahan dan selalu terpilih kembali setiap lima tahun hingga tahun 1998 (Cribb and Cahin, 2004: 409).

Penulis: Akhmad Yusuf
Instansi: Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Adam, Asvi Warman. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Ahmad, Tsabit Azinar. Sejarah Kontroversial di Indonesia: Perspektif Pendidikan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

Aman, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan 1945-1998, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.

Baskara T. Wardaya, SJ. Membongkar Supersemar: Dari CIA Hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galangpress Publisher, 2007.

Djarot, Eros. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita, 2006.

Hana. Fadlia., dkk. Yang Kelewat di Buku Sejarah, Jakarta: Tim Pamflet Generasi, 2016.

Hughes, John, The End of Sukarno – A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild, Archipelago Press, 2002.

Komarudin, Ujang., Raman, Asrul. Sistem Sosial dan Politik Indonesia, Jakarta: Enlights, PT. Pencerah Generasi Bangsa, 2020.

Pambudi, A.. Supersemar Palsu. Jakarta: Media Pressindo, 2009.

Pusat Data dan Analisa Tempo. Aneka Macam Versi Supersemar. Jakarta: Tempo Publishing, 2019.

Pusat Data dan Analisa Tempo. Detik-detik Pertemuan Pimpinan ABRI/TNI Bertemu Presiden Sukarno Menjelang Supersemar. Jakarta: Tempo Publishing, 2019.

Schwarz, Adam. A Nation In Waiting: Indonesia's Search For Stability. N.p.: Taylor & Francis, 2018.

Simatur, Zulfa. Surat-Surat yang Mengubah Dunia: Dari Surat Kubilai Khan Sampai Surat Einstein. N.p.: VisiMedia, (n.d.).

Sjahdeini, Sutan Remy. Sejarah Hukum Indonesia: Seri Sejarah Hukum. Bandung: Kencana, 2021.

Suparjan, Edy. Pendidikan Sejarah untuk Membentuk Karakter Bangsa. Yogyakarta: Deepublish, 2019.

Wardaya, F. X. Baskara Tulus. Membongkar Supersemar! dari CIA hingga kudeta merangkak melawan Bung Karno. Jakarta: Buku Kita, 2009.